Perubahan iklim bisa dorong kepunahan seperenam spesies
1 Mei 2015 09:50 WIB
Seekor bison Amerika (Bison bison) menjilati anaknya yang baru lahir di padang rumput Cagar Alam Biosfer Janos di negara bagian Chihuahua, Meksiko, Jumat (16/5). Bison merupakan satu dari 300 spesies yang hampir punah di Meksiko dan menjadi dasar untuk pemulihan padang rumput Gurun Chihuahua. Bison merupakan bagian penting dari ekosistem karena mereka menjaga populasi spesies lainnya yang tinggal di cagar alam. (REUTERS/Jose Luis Gonzalez )
Oslo (ANTARA News) - Perubahan iklim bisa mendorong kepunahan sampai seperenam spesies tumbuhan dan hewan tanpa upaya nyata pemerintah memangkas emisi gas rumah kaca menurut hasil penelitian yang dipublikasikan di Amerika Serikat pada Kamis.
Menurut laporan di jurnal Science, spesies-spesies di Amerika Selatan, Australia dan Selandia Baru paling berisiko karena kebanyakan hidup di area-area kecil atau area yang sulit terhindar dari dampak gelombang panas, kekeringan atau peningkatan permukaan air laut.
Studi itu merata-rata 131 studi sebelumnya tentang perubahan iklim, yang memproyeksikan jumlah spesies yang bisa hilang akibat perubahan iklim berkisar antara nol sampai 54 persen spesies di seluruh dunia, yang terlalu luas jika digunakan untuk merancang kebijakan konservasi.
Secara keseluruhan, studi itu mendapati bahwa satu dari enam spesies bisa menuju kepunahan jika emisi gas rumah kaca tidak terpantau dan kenaikan suhu sampai 4,3 derajat Celsius di atas rata-rata temperatur pada masa pra-industri pada 2100, segaris dengan skenario Panel Perubahan Iklim Antar-Pemerintah Perserikatan Bangsa-Bangsa (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC).
"Mungkin yang paling mengejutkan adalah bahwa risiko kepunahan itu tidak hanya meningkat bersama kenaikan temperatur, tapi makin cepat," kata penulis hasil studi itu, Mark Urban dari Departemen Ekologi dan Biologi Evolusioner di University of Connecticut kepada kantor berita Reuters.
Kenaikan suhu yang sejauh ini 0,9 derajat Celsius telah menempatkan sekitar 2,8 persen spesies dalam risiko kepunahan menurut hasil studi itu.
Hasil studi itu hanya melihat perubahan iklim, satu dari banyak ancaman terhadap populasi alam liar yang juga meliputi perluasan kota-kota dan beralihnya hutan menjadi lahan pertanian yang menurut sejumlah ahli bisa memicu kepunahan yang lebih buruk dibanding ketika dinosaurus-dinosaurus mati 65 juta tahun lalu.
Sementara kehilangan habitat dan perburuan menjadi ancaman terbesar, perubahan iklim akan menjadi "pemicu kepunahan nomor satu dalam jangka menengah sampai panjang" menurut Marco Lambertini, direktur jenderal kelompok konservasi WWF kepada Reuters.
Jamie Carr, ahli spesies di International Union for Conservation of Nature (IUCN), menyebut hasil studi itu "perkiraan yang sangat baik" tapi menyatakan bahwa tidak mungkin memisahkan dampak pemanasan dari ancaman utama yang lain.
Sejauh ini, ia mengatakan, tidak ada spesies yang menjadi punah hanya karena perubahan iklim.
IUCN menyatakan pemanasan ikut berkontribusi pada kepunahan katak emas yang terakhir terlihat di satu puncak gunung Costa Rica tahun 1989.
Hasil studi yang dipublikasikan pada Kamis juga menemukan sedikit perbedaan dalam risiko yang dihadapi oleh kelompok-kelompok binatang berbeda.
Beberapa studi menduga burung-burung bisa terbang ke habitat baru saat iklim berubah sementara binatang-binatang dengan pegerakan lebih rendah seperti katak dan salamander mungkin paling menderita akibat perubahan iklim.
Menurut laporan di jurnal Science, spesies-spesies di Amerika Selatan, Australia dan Selandia Baru paling berisiko karena kebanyakan hidup di area-area kecil atau area yang sulit terhindar dari dampak gelombang panas, kekeringan atau peningkatan permukaan air laut.
Studi itu merata-rata 131 studi sebelumnya tentang perubahan iklim, yang memproyeksikan jumlah spesies yang bisa hilang akibat perubahan iklim berkisar antara nol sampai 54 persen spesies di seluruh dunia, yang terlalu luas jika digunakan untuk merancang kebijakan konservasi.
Secara keseluruhan, studi itu mendapati bahwa satu dari enam spesies bisa menuju kepunahan jika emisi gas rumah kaca tidak terpantau dan kenaikan suhu sampai 4,3 derajat Celsius di atas rata-rata temperatur pada masa pra-industri pada 2100, segaris dengan skenario Panel Perubahan Iklim Antar-Pemerintah Perserikatan Bangsa-Bangsa (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC).
"Mungkin yang paling mengejutkan adalah bahwa risiko kepunahan itu tidak hanya meningkat bersama kenaikan temperatur, tapi makin cepat," kata penulis hasil studi itu, Mark Urban dari Departemen Ekologi dan Biologi Evolusioner di University of Connecticut kepada kantor berita Reuters.
Kenaikan suhu yang sejauh ini 0,9 derajat Celsius telah menempatkan sekitar 2,8 persen spesies dalam risiko kepunahan menurut hasil studi itu.
Hasil studi itu hanya melihat perubahan iklim, satu dari banyak ancaman terhadap populasi alam liar yang juga meliputi perluasan kota-kota dan beralihnya hutan menjadi lahan pertanian yang menurut sejumlah ahli bisa memicu kepunahan yang lebih buruk dibanding ketika dinosaurus-dinosaurus mati 65 juta tahun lalu.
Sementara kehilangan habitat dan perburuan menjadi ancaman terbesar, perubahan iklim akan menjadi "pemicu kepunahan nomor satu dalam jangka menengah sampai panjang" menurut Marco Lambertini, direktur jenderal kelompok konservasi WWF kepada Reuters.
Jamie Carr, ahli spesies di International Union for Conservation of Nature (IUCN), menyebut hasil studi itu "perkiraan yang sangat baik" tapi menyatakan bahwa tidak mungkin memisahkan dampak pemanasan dari ancaman utama yang lain.
Sejauh ini, ia mengatakan, tidak ada spesies yang menjadi punah hanya karena perubahan iklim.
IUCN menyatakan pemanasan ikut berkontribusi pada kepunahan katak emas yang terakhir terlihat di satu puncak gunung Costa Rica tahun 1989.
Hasil studi yang dipublikasikan pada Kamis juga menemukan sedikit perbedaan dalam risiko yang dihadapi oleh kelompok-kelompok binatang berbeda.
Beberapa studi menduga burung-burung bisa terbang ke habitat baru saat iklim berubah sementara binatang-binatang dengan pegerakan lebih rendah seperti katak dan salamander mungkin paling menderita akibat perubahan iklim.
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015
Tags: