Kupang (ANTARA News) - Aktivis buruh migran yang tergabung dalam Komunitas SantEgidio Kupang, Nusa Tenggara Timur, mengapresiasi keputusan Kejaksanaan Agung menunda eksekusi terpidana mati kasus narkoba, Mary Jane Fiesta Veloso, asal Filipina.

"Perjuangan dan doa banyak orang telah menyelamatkan ibu dua anak itu dari ancaman hukuman mati bersama delapan orang terpidana mati lainnya yang telah dieksekusi pihak eksekutor pada Rabu dini hari sekitar pukul 00.25 WIB di Nusakambangan Cilacap, Jawa Tengah," kata Moderator Komunitas SantEgidio Kupang Romo Yanuar Kado di Kupang, Rabu.

Ia menilai sikap Jaksa Agung H.M. Prasetyo sebagai tepat dan bijaksana serta mendengarkan dengan baik aspirasi publik, sekaligus untuk mencegah perbuatan melanggar hukum ketika hendak menegakkan hukum.

"Langkah dan keputusan pemerintah melalui Jaksa Agung ini patut diapresiasi karena menunda eksekusi mati terhadap Mary Jane Veloso yang diduga kuat merupakan korban sindikat narkoba internasional," katanya.

Ia menggatakan pada akhirnya, fakta-fakta hukum menunjukkan bahwa terpidana mati itu harus juga menjalankan hukuman mati adalah lain soal lagi.

Namun, katanya, untuk Rabu ini korban masih bisa menjalani proses hukum lagi untuk membuktikan tuduhan-tuduhan bahwa dia merupakan korban sindikat.

Mary Jane merupakan perempuan asal Filipina yang miskin dan berniat menjadi buruh migran ke Malaysia. Dia tertipu menjadi korban perdagangan manusia hingga tertangkap di Yogyakarta.

Oleh karena itu, para anggota Komunitas SantEgidio Kupang menggelar aksi 1.000 lilin untuk kehidupan di Jalan El Tari Kupang, Selasa (28/4) malam, untuk menyelamatkan Mary Jane Fiesta Veloso.

Dia menyatakan bersyukur kepada Tuhan bahwa aksi doa dan harapan itu terwujud dengan penundaan eksekusi mati terhadap Mary Jane.

SantEgidio merupakan komunitas awam Katolik internasional yang lahir di Roma, 7 Februari 1968, setelah Konsili Vatikan II. Anggota komunitas itu tersebar di sekitar 85 negara.

"Bagi komunitas itu, jalan untuk menuju penghapusan hukuman mati secara universal memang masih panjang karena dibutuhkan suatu tindakan yang gigih dan terus-menerus untuk terlaksananya pembelaan terhadap hak asasi manusia," kata seorang anggota Komunitas SanEgidio Kupang dalam orasinya.

Ia menyebut hukuman mati sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

"Hukuman mati adalah pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia. Hukuman mati merupakan bentuk hukuman paling ekstrem. Begitu dieksekusi, hukuman ini langsung bersifat final dan tidak akan diubah lagi. Hukuman mati sangat merendahkan harkat dan martabat terpidana mati. Terpidana mati diperlakukan sebagai objek tereliminasi oleh negara," kata sang orator.

Pada kesempatan sebelumnya, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendatangi Kejaksaan Agung guna memberikan surat tanda terima Pengajuan Kembali (PK) II Mary Jane ke PN Sleman Yogyakarta.

"Kami datang ke sini untuk memberikan surat tanda terima pengajuan PK Mary Jane yang kedua ke PN Sleman Yogyakarta," kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Yunianti Chuzaifah di depan Gedung Kejagung di Jakarta, Senin (27/4).

Menurut Yunianti, pihak Kejaksaan Agung dalam hal ini Jaksa Agung H.M. Prasetyo harus mempertimbangkannya.

"Ada informasi pelaksanaan eksekusi akan dilakukan Selasa, (28/4). Jadi kami meminta Jaksa Agung untuk mempertimbangkan dan menunda pelaksanaan eksekusi terhadap Mary Jane dengan memberikan kesempatan Mary Jane untuk mengajukan PK kedua," kata dia.

Dengan PK II itu, katanya, bisa melihat kembali putusan hukuman mati yang dijatuhkan terhadap Mary Jane.

"Kita juga meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk tidak mengeksekusi terpidana mati asal Filipina Mary Jane Veloso," kata dia.

Informasi yang dihimpun, Maria Kristina Sergio, tersangka perekrut Mary Jane Veloso yang batal menghadap regu tembak di Nusakambangan karena menjadi kurir narkoba, telah menyerahkan diri kepada polisi Filipina, Selasa (28/4).

Menurut laporan CNN, yang mengutip keterangan dari kelompok hak-hak migran di Filipina, yaitu Migrante, Sergio menyerahkan diri ke Kantor Polisi Cabanatuan City.

Polisi Filipina sebelumnya sudah menuntut Sergio dan dua orang lainnya atas penipuan, perekrutan tenaga kerja ilegal, dan perdagangan manusia.

Dalam sebuah wawancara dengan CNN Newsroom Filipina pada Selasa, Chriz Valdez, staf di Migrante, mengatakan Sergio menyerahkan diri bersama pasangannya, Julius Lacanilao, yang juga menghadapi tuduhan perekrutan tenaga kerja ilegal. Pasangan tersebut, menyerahkan diri sekitar pukul 10.00 waktu setempat.

Valdez mengatakan Sergio telah menyerahkan diri, tetapi dia mengatakan bahwa dirinya tidak bersalah atas semua tuduhan.