"Soft power", senjata Taiwan atasi isolasi politik
26 April 2015 20:20 WIB
Sejumlah pengunjung warga Taiwan menyaksikan pameran foto internasional "Kesan Indah Taiwan dan Rupa Asli Indonesia" yang merupakan kerjasama Radio International Taiwan (RTI) dengan Kantor Berita Indonesia Antara, di Taipei, tahun lalu. Pameran yang berlangsung selama delapan hari itu merupakan hasil karya wartawan foto Antara dan warga Indonesia yang tinggal di Taiwan ANTARA (FOTO/Benny S Butarbutar)
Taipei (ANTARA News) - Pemerintah Taiwan (Republik China) tampaknya menyadari betul bahwa menghadapi kekuatan raksasa Tiongkok Daratan (Mainland) secara politik dan ekonomi, apalagi militer, merupakan sebuah upaya sia-sia, ibarat cicak lawan buaya.
Dalam tataran hubungan diplomatik dunia, Taiwan memang selalu berada dalam posisi terpinggirkan dan hanya mempunyai 22 hubungan diplomatik negara kecil dan secara politis tidak diakui oleh negara-negara besar.
Isolasi politik tersebut tidak terlepas dari "Kebijakan Satu China" yang diterapkan oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Melalui kebijakan tersebut, setiap negara harus memilih untuk mengakui Tiongkok atau Taiwan secara politik. Memilih Taiwan berarti harus putus hubungan dengan Tiongkok, begitu sebaliknya.
Di Indonesia, karena tidak ada hubungan diplomatik, Taiwan mendirikan kantor perwakilan yang disebut Taiwan Economic and Trade Office (TETO) atau Kantor Ekonomi dan Dagang Taiwan di Kawasan Pusat Bisnis Senayan Jakarta.
Karena kemajuan ekonomi dan perdagangan Tiongkok yang hampir tidak dapat dibendung, satu pertanyaan yang harus dijawab oleh pengambil kebijakan di Taiwan adalah bagaimana mereka harus bersikap ketika menghadapi Tiongkok dalam percaturan dunia?
"Kami tidak ingin bersaing dengan Tiongkok karena kami menyadari itu sia-sia. Kekuatan dan pengaruh Tiongkok begitu besar dalam kekuatan politik dan ekonomi dunia," kata Joseph S.C. Hua, Direktur Jenderal Urusan Budaya dan Pendidikan Dewan Hubungan Dengan Tiongkok menjawab pernyataan Antara di Taipei, Sabtu (25/4).
Terlepas dari tidak adanya pengakuan terhadap keberadaan Taiwan yang berdaulat secara politik, masyarakat justru menikmati kemakmuran secara ekonomi berkat kemajuan di hampir sebagai bidang, terutama kemajuan teknologi dan perdagangan.
Sepanjang kemakmuran ekonomi bisa diwujudkan, masyarakat pun tampaknya tidak terlalu peduli dengan situasi politik yang dihadapi. Bahkan, sebanyak 84 persen warga lebih suka dengan status quo seperti saat ini.
"Sebanyak 84 persen warga Taiwan justru menikmati kondisi seperti sekarang ini, merdeka tidak, bergabung dengan Tiongkok pun tidak," kata Joseph.
Ketika ditanya lebih jauh sampai kapan kondisi status quo tersebut akan berlangsung, Joseph hanya mengangkat bahu dan menjawab, "Selama masyarakat menginginkannya."
Menyadari berada dalam posisi yang lemah bila harus berhadapan dengan Tiongkok, negara dengan penduduk 1,3 miliar, sementara Taiwan hanya 23 juta. Taiwan harus kreatif untuk menciptakan peluang agar mereka tetap bisa berperan secara global, lepas dari bayang-bayang Tiongkok.
Salah satu cara yang dinilai cukup ampuh untuk mengatasi keterasingan adalah dengan menerapkan kebijakan "soft power".
"Soft power" sebenarnya adalah sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Joseph Nye dari Universitas Harvard untuk mendiskripsikan kemampuan untuk menarik perhatian atau memengaruhi pihak lain secara sosial dengan persuasif dan tanpa paksaan.
Dalam satu dekade terakhir, istilah "soft power" makin sering digunakan di kalangan pemimpin politik dunia, termasuk presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyo yang secara halus meminta Presiden AS George W. Bush agar menggunakan "soft power" saat keduanya tertemu di Washington pada tahun 2006.
Ketika itu, Bush memang dikenal sangat keras dan cenderung kaku dalam menghadapi lawan-lawan politiknya dengan mengatakan, "Jika Anda tidak mendukung kami, berarti Anda mendukung teroris."
Seni dan Budaya
Manfred P.T. Peng, Direktur Jenderal Urusan Layanan Informasi Internasional, Kementerian Luar Negeri Taiwan dalam sebuah perbincangan dengan beberapa wartawan Asia Tenggara, termasuk Antara, menegaskan bahwa pemerintahnya sangat serius dalam mengembangkan konsep "soft power", terutama melalui saluran kerja sama seni, budaya, dan pendidikan.
"Saat ini sudah makin banyak mahasiswa asing, termasuk dari Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya, belajar di berbagai universitas di Taiwan. Kami berharap mereka bisa mempelajari dan menyelami gaya hidup masyarakat di sini," kata Manfred.
Pemberian beasiswa serta undangan kepada berbagai media sebagai bagian dari kebijakan "soft power" Taiwan selama ini menurut Manfred terbukti relatif cukup efektif. Makin banyak pemberitaan mengenai banyak hal tentang Taiwan di Indonesia, makin banyaknya warga Indonesia yang menjadikan Taiwan sebagai tempat untuk melanjutkan pendidikan, baik jenjang S-1 sampai S-3.
Saat ini terdapat sekitar 2.000 mahasiswa Indonesia dari berbagai jenjang pendidikan yang tersebar di berbagai kota di seluruh Taiwan, sebagian di antaranya khusus untuk belajar bahasa Mandarin, bisnis, dan desain.
Lin Pang Soong, Direktur Dewan Pusat Desain Taiwan, bahkan menantang para mahasiswa Indonesia yang berada di Tanah Air untuk mengikuti Kompetisi Internasional Desain yang digelar oleh pihaknya.
"Kompetisi ini menyediakan hadiah total sebesar 140.000 dolar AS untuk empat kategori, yaitu desain produk, desain visual, animasi digital, dan khusus merek dagang. Saya dengar di Indonesia banyak anak-anak muda yang berbakat," kata Lin Pang.
Keberadaan dan aroma Taiwan pun mulai terasa dalam bidang seni dan budaya, terutama di Asia. Bintang-bintang film, musik, dan televisi begitu digandrungi. Di Indonesia, boy band F4 melalui serial televisi Meteor Garden sangat digemari para remaja putri dan bahkan ibu-ibu rumah tangga pada akhir 1990-an. Pada masa jauh sebelumnya, penyanyi Teresa Teng juga sangat dikenal para penggemar musik Mandarin di Tanah Air.
Di dunia industri film, sutradara Ang Lee dan Tsai Ming-liang berhasil membentuk dan membawa Taiwan sebagai pusat kreativitas yang dinamis.
Saat mengundang berbagai media Asia Tenggara untuk berkunjung ke Taiwan minggu lalu, pemerintah Taiwan seperti ingin menunjukkan bahwa secara politik mereka memang berada dalam posisi tidak menguntungkan akibat kebijakan "Satu China". Akan tetapi, secara ekonomi mereka bahkan setara dengan negara makmur lainnya.
Dalam kehidupan sehari-hari pun, masyarakat setempat tampak sangat menikmati kemakmuran yang telah mereka raih. Gedung-gedung pemerintah, hotel, restoran, museum, galeri seni, taman kota, dan tempat-tempat umum lain dipenuhi oleh berbagai hasil karya seni serta rancangan yang artistik.
Dalam tataran hubungan diplomatik dunia, Taiwan memang selalu berada dalam posisi terpinggirkan dan hanya mempunyai 22 hubungan diplomatik negara kecil dan secara politis tidak diakui oleh negara-negara besar.
Isolasi politik tersebut tidak terlepas dari "Kebijakan Satu China" yang diterapkan oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Melalui kebijakan tersebut, setiap negara harus memilih untuk mengakui Tiongkok atau Taiwan secara politik. Memilih Taiwan berarti harus putus hubungan dengan Tiongkok, begitu sebaliknya.
Di Indonesia, karena tidak ada hubungan diplomatik, Taiwan mendirikan kantor perwakilan yang disebut Taiwan Economic and Trade Office (TETO) atau Kantor Ekonomi dan Dagang Taiwan di Kawasan Pusat Bisnis Senayan Jakarta.
Karena kemajuan ekonomi dan perdagangan Tiongkok yang hampir tidak dapat dibendung, satu pertanyaan yang harus dijawab oleh pengambil kebijakan di Taiwan adalah bagaimana mereka harus bersikap ketika menghadapi Tiongkok dalam percaturan dunia?
"Kami tidak ingin bersaing dengan Tiongkok karena kami menyadari itu sia-sia. Kekuatan dan pengaruh Tiongkok begitu besar dalam kekuatan politik dan ekonomi dunia," kata Joseph S.C. Hua, Direktur Jenderal Urusan Budaya dan Pendidikan Dewan Hubungan Dengan Tiongkok menjawab pernyataan Antara di Taipei, Sabtu (25/4).
Terlepas dari tidak adanya pengakuan terhadap keberadaan Taiwan yang berdaulat secara politik, masyarakat justru menikmati kemakmuran secara ekonomi berkat kemajuan di hampir sebagai bidang, terutama kemajuan teknologi dan perdagangan.
Sepanjang kemakmuran ekonomi bisa diwujudkan, masyarakat pun tampaknya tidak terlalu peduli dengan situasi politik yang dihadapi. Bahkan, sebanyak 84 persen warga lebih suka dengan status quo seperti saat ini.
"Sebanyak 84 persen warga Taiwan justru menikmati kondisi seperti sekarang ini, merdeka tidak, bergabung dengan Tiongkok pun tidak," kata Joseph.
Ketika ditanya lebih jauh sampai kapan kondisi status quo tersebut akan berlangsung, Joseph hanya mengangkat bahu dan menjawab, "Selama masyarakat menginginkannya."
Menyadari berada dalam posisi yang lemah bila harus berhadapan dengan Tiongkok, negara dengan penduduk 1,3 miliar, sementara Taiwan hanya 23 juta. Taiwan harus kreatif untuk menciptakan peluang agar mereka tetap bisa berperan secara global, lepas dari bayang-bayang Tiongkok.
Salah satu cara yang dinilai cukup ampuh untuk mengatasi keterasingan adalah dengan menerapkan kebijakan "soft power".
"Soft power" sebenarnya adalah sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Joseph Nye dari Universitas Harvard untuk mendiskripsikan kemampuan untuk menarik perhatian atau memengaruhi pihak lain secara sosial dengan persuasif dan tanpa paksaan.
Dalam satu dekade terakhir, istilah "soft power" makin sering digunakan di kalangan pemimpin politik dunia, termasuk presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyo yang secara halus meminta Presiden AS George W. Bush agar menggunakan "soft power" saat keduanya tertemu di Washington pada tahun 2006.
Ketika itu, Bush memang dikenal sangat keras dan cenderung kaku dalam menghadapi lawan-lawan politiknya dengan mengatakan, "Jika Anda tidak mendukung kami, berarti Anda mendukung teroris."
Seni dan Budaya
Manfred P.T. Peng, Direktur Jenderal Urusan Layanan Informasi Internasional, Kementerian Luar Negeri Taiwan dalam sebuah perbincangan dengan beberapa wartawan Asia Tenggara, termasuk Antara, menegaskan bahwa pemerintahnya sangat serius dalam mengembangkan konsep "soft power", terutama melalui saluran kerja sama seni, budaya, dan pendidikan.
"Saat ini sudah makin banyak mahasiswa asing, termasuk dari Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya, belajar di berbagai universitas di Taiwan. Kami berharap mereka bisa mempelajari dan menyelami gaya hidup masyarakat di sini," kata Manfred.
Pemberian beasiswa serta undangan kepada berbagai media sebagai bagian dari kebijakan "soft power" Taiwan selama ini menurut Manfred terbukti relatif cukup efektif. Makin banyak pemberitaan mengenai banyak hal tentang Taiwan di Indonesia, makin banyaknya warga Indonesia yang menjadikan Taiwan sebagai tempat untuk melanjutkan pendidikan, baik jenjang S-1 sampai S-3.
Saat ini terdapat sekitar 2.000 mahasiswa Indonesia dari berbagai jenjang pendidikan yang tersebar di berbagai kota di seluruh Taiwan, sebagian di antaranya khusus untuk belajar bahasa Mandarin, bisnis, dan desain.
Lin Pang Soong, Direktur Dewan Pusat Desain Taiwan, bahkan menantang para mahasiswa Indonesia yang berada di Tanah Air untuk mengikuti Kompetisi Internasional Desain yang digelar oleh pihaknya.
"Kompetisi ini menyediakan hadiah total sebesar 140.000 dolar AS untuk empat kategori, yaitu desain produk, desain visual, animasi digital, dan khusus merek dagang. Saya dengar di Indonesia banyak anak-anak muda yang berbakat," kata Lin Pang.
Keberadaan dan aroma Taiwan pun mulai terasa dalam bidang seni dan budaya, terutama di Asia. Bintang-bintang film, musik, dan televisi begitu digandrungi. Di Indonesia, boy band F4 melalui serial televisi Meteor Garden sangat digemari para remaja putri dan bahkan ibu-ibu rumah tangga pada akhir 1990-an. Pada masa jauh sebelumnya, penyanyi Teresa Teng juga sangat dikenal para penggemar musik Mandarin di Tanah Air.
Di dunia industri film, sutradara Ang Lee dan Tsai Ming-liang berhasil membentuk dan membawa Taiwan sebagai pusat kreativitas yang dinamis.
Saat mengundang berbagai media Asia Tenggara untuk berkunjung ke Taiwan minggu lalu, pemerintah Taiwan seperti ingin menunjukkan bahwa secara politik mereka memang berada dalam posisi tidak menguntungkan akibat kebijakan "Satu China". Akan tetapi, secara ekonomi mereka bahkan setara dengan negara makmur lainnya.
Dalam kehidupan sehari-hari pun, masyarakat setempat tampak sangat menikmati kemakmuran yang telah mereka raih. Gedung-gedung pemerintah, hotel, restoran, museum, galeri seni, taman kota, dan tempat-tempat umum lain dipenuhi oleh berbagai hasil karya seni serta rancangan yang artistik.
Oleh Atman Ahdiat
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015
Tags: