LAPK: Sumut darurat kejahatan sosial
23 April 2015 06:25 WIB
Ilustrasi. Petugas Polresta Tegal mengidentifikasi Tempat Kejadian Perkara (TKP) perampokan gerai handphone di Jalan AR Hakim, Tegal, Jateng, Selasa (3/2). Dalam waktu bersamaan dua gerai handphone terjadi perampokan dengan merusak pintu baja sekitar pukul 05.00 WIB dengan kerugian yang belum diketahui dan hingga saat ini masih dalam penyelidikan Polresta Tegal. (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah)
Medan (ANTARA News) - Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LPAK) menilai Provinsi Sumatera Utara telah menjadi daerah yang rawan kejahatan sosial dengan maraknya kejahatan jalanan yang terkesan makin berani dan tidak mengenal waktu.
"Keamanan nampaknya menjadi barang yang mahal bagi masyarakat Sumut," kata Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LPAK) Farid Wajdi di Medan, Rabu.
Sebenarnya, kata Farid, rasa aman adalah bagian penting dari perwujudan HAM yang paling fundamental bagi masyarakat, termasuk masyarakat Sumut.
Namun, salah satu hak dasar manusia tersebut terkesan kurang dapat dipenuhi akibat tindak kejahatan sosial yang mengalami tren kenaikan dalam beberapa waktu terakhir.
Kondisi itu dapat terlihat dari sejumlah aksi kejahatan sosial yang terjadi di berbagai tempat, mulai dari pencurian, penjambretan, hingga perampokan dengan korban yang tidak mengenal strata sosial.
"Dalam beberapa hari ini saja telah ada tiga korban rampok, seperti yang terjadi di Jalan S Parman yang dialami seorang wartawan, di Jalan Stasiun yang dialami keluarga anggota DPR RI, dan teranyar pada Rabu ini dialami seorang warga di Jalan Letda Sujono," katanya tanpa menyebutkan nama-nama korban.
Ironisnya, kata dia, aksi perampokan yang terjadi, seperti yang dialami salah seorang wartawan di Kota Medan itu justru berlangsung dalam keadaan warga masih ramai.
Dengan fenomena tersebut, terlihat indikasi jika para pelaku kejahatan sosial di Sumut semakin bernyali dalam melakukan kriminalitas.
"Dari berbagai jenis kejahatan yang terjadi, sepatutnya Sumut masuk dalam kategori darurat kejahatan sosial," katanya.
Menurut Farid, peristiwa kejahatan yang sering terjadi dan tidak mengenal waktu tersebut diyakini menimbulkan gejolak batin dan keresahan luar biasa bagi masyarakat Sumut.
Dampak serius yang muncul dari kondisi itu adalah tingginya eskalasi kasus main hakim sendiri (eigen rechting) dalam masyarakat dan sinisme terhadap hukum.
"Muncul analogi kalau hukum seringkali tumpul ke atas tapi sangat tajam ke bawah. Seolah-olah hukum hanya adil untuk rakyat jelata yang tidak mampu membayar para penegak hukum," kata mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) itu.
Di satu sisi, kata dia, secara sosiologis kejahatan merupakan masalah sosial yang selalu terjadi sepanjang riwayat hidup manusia.
Namun di sisi lain, manusia secara hakiki memiliki kebutuhan akan rasa aman untuk mendukung kelancaran berbagai aktivitas yang dibutuhkan.
Karena itu, menjadi faktor yang sangat penting bagi aparat keamanan untuk mengambil langkah-langkah deteksi dini, sekaligus merespon secara cepat dan tepat setiap peristiwa kejahatan yang terjadi.
"Tidak banyaknya kasus perampokan yang terungkap akan membuat para pelaku semakin berani menjalankan aksinya," ujar Farid.
"Keamanan nampaknya menjadi barang yang mahal bagi masyarakat Sumut," kata Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LPAK) Farid Wajdi di Medan, Rabu.
Sebenarnya, kata Farid, rasa aman adalah bagian penting dari perwujudan HAM yang paling fundamental bagi masyarakat, termasuk masyarakat Sumut.
Namun, salah satu hak dasar manusia tersebut terkesan kurang dapat dipenuhi akibat tindak kejahatan sosial yang mengalami tren kenaikan dalam beberapa waktu terakhir.
Kondisi itu dapat terlihat dari sejumlah aksi kejahatan sosial yang terjadi di berbagai tempat, mulai dari pencurian, penjambretan, hingga perampokan dengan korban yang tidak mengenal strata sosial.
"Dalam beberapa hari ini saja telah ada tiga korban rampok, seperti yang terjadi di Jalan S Parman yang dialami seorang wartawan, di Jalan Stasiun yang dialami keluarga anggota DPR RI, dan teranyar pada Rabu ini dialami seorang warga di Jalan Letda Sujono," katanya tanpa menyebutkan nama-nama korban.
Ironisnya, kata dia, aksi perampokan yang terjadi, seperti yang dialami salah seorang wartawan di Kota Medan itu justru berlangsung dalam keadaan warga masih ramai.
Dengan fenomena tersebut, terlihat indikasi jika para pelaku kejahatan sosial di Sumut semakin bernyali dalam melakukan kriminalitas.
"Dari berbagai jenis kejahatan yang terjadi, sepatutnya Sumut masuk dalam kategori darurat kejahatan sosial," katanya.
Menurut Farid, peristiwa kejahatan yang sering terjadi dan tidak mengenal waktu tersebut diyakini menimbulkan gejolak batin dan keresahan luar biasa bagi masyarakat Sumut.
Dampak serius yang muncul dari kondisi itu adalah tingginya eskalasi kasus main hakim sendiri (eigen rechting) dalam masyarakat dan sinisme terhadap hukum.
"Muncul analogi kalau hukum seringkali tumpul ke atas tapi sangat tajam ke bawah. Seolah-olah hukum hanya adil untuk rakyat jelata yang tidak mampu membayar para penegak hukum," kata mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) itu.
Di satu sisi, kata dia, secara sosiologis kejahatan merupakan masalah sosial yang selalu terjadi sepanjang riwayat hidup manusia.
Namun di sisi lain, manusia secara hakiki memiliki kebutuhan akan rasa aman untuk mendukung kelancaran berbagai aktivitas yang dibutuhkan.
Karena itu, menjadi faktor yang sangat penting bagi aparat keamanan untuk mengambil langkah-langkah deteksi dini, sekaligus merespon secara cepat dan tepat setiap peristiwa kejahatan yang terjadi.
"Tidak banyaknya kasus perampokan yang terungkap akan membuat para pelaku semakin berani menjalankan aksinya," ujar Farid.
Pewarta: Irwan Arfa
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015
Tags: