Organisasi perempuan terus lawan Islam konservatif
19 April 2015 17:22 WIB
Dokumenasi panitia merapihkan bendera negara peserta KAA yang akan diletakan di meja peserta di Balai Sidang Jakarta, Sabtu (18/4/15). Konferensi Asia-Afrika ke-60 berlangsung pada 18-24 April 2015 di Jakarta dan Bandung. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Jakarta (ANTARA News) - Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) bersama dengan organisasi perempuan di negara-negara Asia Afrika terus melawan praktik Islam konservatif yang dinilai merintangi hak-hak perempuan.
"Sekarang ini kita sedang menjalin komunikasi dengan teman-teman yang ada di negara-negara Asia Barat dan Afrika Utara, membicarakan bagaimana tren Islam konservatif justru merintangi hak-hak perempuan misalnya perkawinan anak-anak semakin dilegalkan yang membuat jumlah anak perempuan putus sekolah jadi bertambah," ujar Sekjen KPI, Dian Kartikasari, saat dihubungi di Jakarta, Minggu.
Menurut dia, dalam gerakan perempuan ada tren bahwa negara dan kekuatan-kekuatan konservatif justru membuat mundur situasi perempuan baik itu dalam aspek sosial, ekonomi, maupun politik.
"Misalnya hak politik. Kita di Indonesia beruntung karena perempuan boleh ikut dalam pemilu. Tidak semua negara di Afrika mengizinkan kaum perempuannya memilih (dalam pemilu), dan itu yang sampai sekarang masih kami perjuangkan," tuturnya.
Pihaknya, bersama dengan organisasi perempuan seluruh dunia, juga aktif menjalin diskusi dengan tokoh-tokoh Islam untuk mengetahui dimana sebenarnya larangan atau faktor dalam hukum agamanya yang mensyaratkan bahwa perempuan tidak bisa memperoleh hak yang sama dengan kaum pria.
Perjuangan pemenuhan hak perempuan itu juga melingkupi pemenuhan hak perempuan dalam situasi konflik, perempuan penyandang disabilitas, anak perempuan, lansia perempuan, bahkan peran perempuan dalam hukum dan pemerintahan.
"Misalnya di beberapa negara Arab, perempuan tidak boleh jadi hakim. Alasannya ya kembali lagi ke persoalan agama," ujar Kartikasari.
Selain itu, katanya, dalam forum internasional seperti KAA, para aktivis perempuan ini bisa menguatkan upaya pelibatan antar warga untuk mendorong pemerintah negara tertentu memberlakukan kebijakan yang lebih memihak kaum perempuan.
"Seperti mendorong agar perempuan di Arab Saudi boleh berorganisasi karena selama ini tidak pernah ada organisasi perempuan di negara tersebut, berbeda dengan negara-negara lain seperti Palestina, Pakistan, Afrika Selaran, Afghanistan, dan India yang sudah bisa menyuarakan kepentingan perempuan melalui organisasi-organisasi mereka," tuturnya.
Ia berharap melalui KAA ke-60, ruang-ruang untuk menyuarakan kepentingan perempuan di negara-negara Asia Afrika semakin terbuka sehingga perempuan bisa lebih mendapat jaminan akan pemenuhan hak-haknya.
"Sekarang ini kita sedang menjalin komunikasi dengan teman-teman yang ada di negara-negara Asia Barat dan Afrika Utara, membicarakan bagaimana tren Islam konservatif justru merintangi hak-hak perempuan misalnya perkawinan anak-anak semakin dilegalkan yang membuat jumlah anak perempuan putus sekolah jadi bertambah," ujar Sekjen KPI, Dian Kartikasari, saat dihubungi di Jakarta, Minggu.
Menurut dia, dalam gerakan perempuan ada tren bahwa negara dan kekuatan-kekuatan konservatif justru membuat mundur situasi perempuan baik itu dalam aspek sosial, ekonomi, maupun politik.
"Misalnya hak politik. Kita di Indonesia beruntung karena perempuan boleh ikut dalam pemilu. Tidak semua negara di Afrika mengizinkan kaum perempuannya memilih (dalam pemilu), dan itu yang sampai sekarang masih kami perjuangkan," tuturnya.
Pihaknya, bersama dengan organisasi perempuan seluruh dunia, juga aktif menjalin diskusi dengan tokoh-tokoh Islam untuk mengetahui dimana sebenarnya larangan atau faktor dalam hukum agamanya yang mensyaratkan bahwa perempuan tidak bisa memperoleh hak yang sama dengan kaum pria.
Perjuangan pemenuhan hak perempuan itu juga melingkupi pemenuhan hak perempuan dalam situasi konflik, perempuan penyandang disabilitas, anak perempuan, lansia perempuan, bahkan peran perempuan dalam hukum dan pemerintahan.
"Misalnya di beberapa negara Arab, perempuan tidak boleh jadi hakim. Alasannya ya kembali lagi ke persoalan agama," ujar Kartikasari.
Selain itu, katanya, dalam forum internasional seperti KAA, para aktivis perempuan ini bisa menguatkan upaya pelibatan antar warga untuk mendorong pemerintah negara tertentu memberlakukan kebijakan yang lebih memihak kaum perempuan.
"Seperti mendorong agar perempuan di Arab Saudi boleh berorganisasi karena selama ini tidak pernah ada organisasi perempuan di negara tersebut, berbeda dengan negara-negara lain seperti Palestina, Pakistan, Afrika Selaran, Afghanistan, dan India yang sudah bisa menyuarakan kepentingan perempuan melalui organisasi-organisasi mereka," tuturnya.
Ia berharap melalui KAA ke-60, ruang-ruang untuk menyuarakan kepentingan perempuan di negara-negara Asia Afrika semakin terbuka sehingga perempuan bisa lebih mendapat jaminan akan pemenuhan hak-haknya.
Pewarta: Yashinta Pramudyani
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015
Tags: