Jakarta (ANTARA News) - Dunia selebar daun kelor. Begitu orang-orang berpribahasa guna menggambarkan betapa sempitnya buana. Itu pula yang Antara News rasakan saat mendapati satu tempat niaga bernuansa Indonesia di satu sudut di kota Jonnesburg, Afrika Selatan, yang jauhnya 8.500-an km dari Nusantara, akhir Maret lalu.

Nama tempat niaga itu, sebenarnya juga nama sebuah ruang pamer, adalah Derakera.

Di sini, nuansa Bali dan Jepara begitu kental dan menjadi bukti Indonesia memang ada di depan pelupuk mata negeri di ujung benua Afrika yang pernah menjadi tempat singgah para penjelajah dunia dari Vasco Da Gama sampai Abel Janszoon Tasman pada awal era kolonialisme silam sebelum mereka berlomba menaklukkan dunia sampai kemudian menjajah Asia dan Afrika.

Ranjang, meja, kursi, dan kabinet ditata rapi-rapi di ruang pamer ini. Tidak ada barang lain kecuali yang didatangkan dari Tanah Air, di antaranya dari Bali dan Jepara. Hampir semuanya menampilkan desain ukiran yang minimalis.

Orang-orang Afrika Selatan, menurut pengelola Derakera, sangat menyukai furnitur Indonesia.

Alasan "Derakera" memilih Indonesia sebagai pemasok adalah karena produk furnitur hand-mande Indonesia memang menjadi daya tarik terbesar bagi pembeli di negeri mendiang pejuang antidiskriminasi ras Nelson Mandela ini.

Tak hanya furnitur, barang-barang konsumsi produksi Indonesia lainnya juga diterima dengan baik di sini, termasuk permen jahe. Cuma ada yang agak memberatkan untuk produk-produk berglukosa karena Afrika Selatan menerapkan bea impor 37 persen untuk produk apa pun yang mengandung gula.

Untaian jenis produk buatan Indonesia yang disukai Afrika Selatan tak terputus di situ. Mi instan, saus, dan bumbu masakan khas Indonesia seperti yang dibuat produsen produk makanan terkemuka Indofood, juga sudah umum di negeri ini. Buktinya, beberapa supermarket Afrika Selatan dipajangi produk-produk seperti yang biasa ada di toserba-toserba Indonesia.

Namun, menurut Carlo Fei Tong, importir produk Indofood di Afrika Selatan, untuk memasukkan dan mengenalkan produk Indonesia ke negeri ini bukan perkara mudah, meski produk Indonesia cukup kompetitif di sini.

"Kami harus benar-benar meyakinkan mereka (pemilik supermarket) mengapa mereka butuh produk ini. Prosesnya tidak gampang untuk mendapat perhatian mereka," kata Carlo yang merupakan warga Afrika Selatan keturunan Hong Kong. Perusahaannya juga mengimpor produk makanan dari Hong Kong, Tiongkok, dan Thailand.

Tidak itu saja hambatannya. Ganjalan lain adalah aturan bea impor, pelabelan, dan pengawasan mutu yang ketat diberlakukan pemerintah Afrika Selatan.

Carlo bertestimoni, tidak sekali dua kali ia bermasalah dengan aturan itu, terutama soal pelabelan yang mengharuskannya "bekerja ekstra" untuk menyesuaikan label produk dengan ketetapan yang diharuskan.

Tantangan lain yang harus dihadapi Carlo adalah situasi keamanan di Afrika Selatan. Dia menunjuk tingkat kejahatan yang tinggi di negeri yang dulu diperintah rezim rasis Apartheid tersebut, dan ini membuat siapa pun cemas, termasuk importir seperti dia.

Beberapa waktu lalu Carlo bahkan harus merelakan satu mobil distribusinya dirampas perampok.

Masih kalah bersaing

Apa pun kendalanya, itu semua tidak menutup fakta bahwa betapa besar dan seksinya peluang pasar Afrika Selatan. Jika tidak begitu, maka tak mungkin orang-orang seperti Carlo Fei Tong yang tahu benar risiko berbisnis di Afrika Selatan mau bertahan dan mengembangkan sayap bisnisnya di sana.

Jika Carlo bisa, maka tidak ada alasan bagi pengusaha lain di Indonesia untuk sebisa Carlo di Afrika Selatan, apalagi beberapa kalangan menyebut Indonesia begitu akrab di telinga orang-orang Afrika Selatan.

Indonesia sendiri, menurut Duta Besar Indonesia untuk Afrika Selatan Suprapto Martosetomo, belum mengeluarkan semua kemampuan terbaiknya.

Dia lalu menyebut salah satu produk Indoneesia yang berprospek cerah di Afrika Selatan adalah furnitur seperti diniagakan oleh Derakera itu. Tetapi untuk produk ini, Indonesia belum bisa melewati dominasi Vietnam.

Ironisnya, meski tergolong pemain baru di Afrika Selatan, Vietnam bisa dengan cepat menguasai pasar, salah satunya produk furnitur.

"Saya lihat sendiri demikian agresifnya pengusaha Vietnam," katanya ketika di ruang kerjanya di Pretoria, akhir Maret silam.

Suprapto tak berlebihan dalam mengumbar betapa atraktifnya peluang bisnis dan perekonomian Afrika Selatan, selain saat membeberkan masih kurang tajamnya penetrasi bisnis Indonesia di Afrika Selatan.

Padahal, menyandang predikat perekonomian terbesar kedua di Afrika setelah Nigeria dan negara berpenghasilan menengah ke atas di benua hitma ini, Afrika Selatan adalah pasar yang begitu menjanjikan siapa pun, termasuk Indonesia.

Negara yang kini dipimpin Presiden Jacob Zuma ini tengah sibuk menawarkan peluang bisnis dan investasi, menantang siapa pun untuk menjamahnya.

Menurut catatan Indonesian Trade Promotion Centre (ITPC) Johannesburg, total perdagangan Afrika Selatan periode Januari-November 2014 sebesar 176,28 miliar dolar AS. Rinciannya, 83,42 miliar dolar untuk eskpor dan 92,87 miliar dolar lainnya impor.

Pada 2014, Tiongkok menjadi mitra dagang utama Afrika Selatan. Raksasa ekonomi kedua dunia itu menduduki ranking satu sebagai pemasok utama ke Afrika Selatan, disusul Jerman, lalu Saudi Arabia, Amerika Serikat, dan Nigeria. Indonesia sendiri menempati peringkat 27.

Yang agak ironis, meski berpostur paling besar di ASEAN, Indonesia masih kalah bersaing dari Thailand, Singapura, Malaysia, dan Vietnam.

Menurut data rilisan South African Revenue Service (SARS), pada level ASEAN, peringkat pertama ditempati Thailand, sementara Indonesia ada di urutan kelima, persis di bawah Vietnam.

Data Kementerian Perdagangan yang diolah dari Badan Pusat Statistik mencatat, tahun lalu nilai ekspor nonmigas Indonesia ke Afrika Selatan adalah 1,38 miliar dolar AS. Minyak kelapa sawit, karet dan produk karet, serta kendaraan bermotor adalah beberapa item andalan ekspor Indonesia ke Afrika Selatan, selain tentunya furnitur.

Suprapto Martosetomo yakin angka ekspor tersebut masih bisa ditingkatkan lagi karena ia percaya Indonesia baru mengeluarkan sedikit dari kemampuan-kemampuan terbaiknya.

Perkuat hubungan

Suprapto dan Kepala ITPC Johannesburg Pontas Parsaroan Tobing mencermati semua ini, termasuk situasi-situasi sulit di lapangan yang dihadapi para pengusaha seperti dikeluhkan Carlo Fei Tong itu.

Menurut Suprapto, pemerintah Indonesia dan Afrika Selatan harus mulai intensif membahas segala penghalang bagi peningkatan hubungan perdagangan kedua negara.

Afrika Selatan adalah pasar potensial yang sayang untuk dilewatkan sehingga apa saja yang menyulitkan atau membuat pengusaha Indonesia ragu memasuki pasar Afrika Selatan harus dibahas sampai solusi untuk mengatasinya ditemukan, kata Suprapto.

Ia mengharapkan forum komunikasi bilateral Joint Trade Comission (JTC) dapat segera digelar, untuk membahas langkah-langkah peningkatan hubungan ekonomi kedua negara.

JTC sendiri dibentuk pada April 2005. Forum ini sudah dua kali diselenggarakan, satu kali Afrika Selatan, satu kali di Indonesia.

Pontas juga menyadari bahwa agar produk Indonesia bisa bersaing, setidaknya dengan negara-negara ASEAN lainnya, maka kerja sama bilateral dua negara untuk mencapai kesepakatan penurunan tarif harus ditingkatkan.

"Thailand sudah menurunkan tarif, Malaysia juga ada tarif khusus. Ini perlu agar produk kita lebih kompetitif di Afrika Selatan," kata Pontas.

Ada forum lain yang bisa dimanfaatkan selain JTC. Itu adalah KTT Bisnis Asia Afrika pada 21-22 April 2015 yang menjadi acara pendamping peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika dan 10 tahun Kemitraan Strategis Baru Asia Afrika (NAASP).

Ajang ini akan menjadi tempat "saling berkenalan" bagi para pengusaha Asia dan Afrika, khususnya Indonesia dan Afrika Selatan.

Ketua Pelaksana KTT Bisnis Asia Afrika Noke Kiroyan mengatakan pertemuan itu bakal dihadiri 400 peserta, masing-masing 200 peserta dari Indonesia dan 200 peserta dari negara-negara Asia dan Afrika.

"Ada beberapa kepala negara yang akan menjadi keynote speaker (pembicara kunci) dalam acara ini. Ada baiknya kita dengar beberapa policy (kebijakan) dari beberapa kepala negara terkait upaya memajukan ekonomi di negaranya," ujar Noke.

Dua kepala negara telah memastikan siap menjadi pembicara kunci. Keduanya adalah Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma dan Presiden Ethiopia Mulatu Thesome.

KTT Bisnis Asia Afrika sendiri akan fokus membahas empat bidang ekonomi, meliputi infrastruktur, perdagangan, agribisnis, kemaritiman, dan kelautan.

Tak hanya itu, forum itu juga akan membentuk Dewan Bisnis Asia Afrika (Asia Africa Business Council) yang akan menjadi media peningkat hubungan bisnis antar negara-negara Asia dan Afrika.

Indonesia harus maksimal memanfaatkan momentum ini, khususnya dalam rangka memperkuat cengkeraman pasar-pasar atraktif nan luas yang sudah begitu akrab dengan Indonesia, seperti Afrika Selatan, demi sehatnya neraca perdagangan dan ekonomi nasional.