Jakarta (ANTARA News) - "100 Tahun Musik Indonesia" menjadi karya terakhir pengamat musik Denny Sakrie sebelum berpulang selama-lamanya.

Siapa sangka, Denny yang mengerjakan buku hingga malam terakhir sebelum wafat itu menulis tanpa fasilitas yang biasa dimiliki seorang penulis, laptop.

"Jangankan laptop, ngebagusin rumah aja nggak bisa," kata istri Denny Sakrie, Mike Hendrawati, disela diskusi buku "100 Tahun Musik Indonesia" di Pisa Cafe, Jakarta, Jumat.

Nama besar mendiang suaminya sebagai pengamat musik di media bukanlah jaminan bagi kondisi ekonomi keluarga mereka.

"Kita hidup sederhana banget kok," kata dia.

Sebelum wafat, ujar Mike, Denny sempat mendapatkan penghasilan yang terbilang besar sehingga akhirnya sempat merenovasi rumah mereka.

Demi memenuhi kebutuhan keluarga, kata Mike, koleksi piringan hitam (vinyl) almarhum pun kerap dijual.

"Kalau lagi menipis, (vinyl) ada di Jalan Surabaya dan Blok M Square," kata Mike, merujuk pada dua tempat yang biasa menjual barang-barang bekas, termasuk piringan hitam.

Denny Sakrie yang bernama asli Hamdhan Syukrie wafat pada 3 Januari 2015 pada usia 51 tahun akibat serangan jantung. Menurut penuturan sang istri, kecintaan sarjana ekonomi itu terhadap musik telah dimulai sejak belia.

"Waktu kecil dia sudah diajak nonton konser Koes Plus sama bapaknya," kata Mike.

Pria yang wajahnya kerap muncul di televisi sebagai pemerhati musik itu mulai menulis artikel tentang dunia yang dicintainya sejak SMP di Pedoman Rakyat dan Harian Fajar yang terbit di Makassar.

Pria kelahiran Ambon 14 Juli 1963 yang juga berkecimpung di dunia penyiar radio itu juga menjadi kontributor tetap untuk media seperti Tempo dan Rolling Stone Indonesia.

Editor in Chief Rolling Stone Indonesia Adib Hidayat mengenang almarhum sebagai kamus musik berjalan. Pada saat teknologi belum secanggih sekarang, Denny memiliki "artefak musik" yang lengkap.

"Mulai dari kaset, CD, vinyl, dan majalah musik lama," kata Adib.

Menurut Adib, Denny meramu referensi musik dengan informasi yang didapat langsung dari musisi menjadi sebuah catatan baru yang penting untuk sejarah musik Indonesia.

Sementara itu, rapper JFlow alias Joshua Matulessy mengenang Denny Sakrie sebagai pencinta musik sejati yang selalu siap "meminjamkan telinga untuk musisi".

Pada 2006, JFlow pernah memberikan materi musiknya kepada almarhum. Meski saat itu nama JFlow belum setenar sekarang, Denny tetap mau mendengarkan, bahkan dia juga tidak segan-segan memberinya masukan.

"Dia mau memberikan ilmu untuk semua orang," imbuh JFlow.

Denny Sakrie merangkum sejarah musik Indonesia dalam "100 Tahun Musik Indonesia".

Dia memaparkan perkembangan musik dalam setiap periode, mulai dari cikal bakal industri musik zaman kolonial Belanda, rock and roll, jazz, keroncong, dangdut, folk, indie soundtrack film dan musik panggung.

Denny membahas para musisi legendaris yang mempengaruhi blantika musik Indonesia, seperti Gesang, Bing Slamet, Idris Sardi, Benyamin Sueb, Rhoma Irama, Achmad Albar, Jack Lesmana, Tony Koeswoyo, Iwan Fals, Chrisye hingga Slank.

Pada setiap akhir bab, Denny mencantumkan daftar 10 lagu Indonesia terbaik tiap zaman menurut versinya.

Selain "100 Tahun Musik Indonesia", Denny juga pernah menulis "Musisiku" dan "Trilogi Masterpiece Chrisye". Dia juga turut menulis "Warkop: Main-Main Jadi Bukan Main" bersama Rudy Badil dan kawan-kawan.