Jakarta (ANTARA News) - Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Faisal Basri menyampaikan bahwa penyampaian harga bahan bakar minyak (BBM) oleh Pertamina dinilai tidak transparan.

"Saya dapat data harga BBM di Asia dari Pertamina, lalu saya bandingkan dengan data dari Global Petrol Prices (GPP), dilihat memang sama. Tapi, standarnya ternyata beda," ujarnya kepada pers, Rabu.

Dia menjelaskan, GPP menggunakan acuan rata-rata harga minyak di sejumlah negara yang menggunakan jenis BBM medium, karena bahan bakar yang lebih bermutu rendah (inferior), seperti premium sudah tidak ada.

Menurut dia, jika Pertamina mengatakan bahwa harga BBM di Indonesia lebih rendah dibandingkan negara lain, maka hal tersebut tidak adil (fair) karena membandingkan bahan bakar yang berbeda mutunya per dolar Amerika Serikat (AS).

"Menurut GPP, harga BBM Indonesia 0,67 dolar AS. Tapi, kenapa Pertamina memaksakan memakai premium? Semua pakai premium, Pertamina tidak pakai pertamax, ya tentu saja lebih murah," ujarnya.

Terkait dengan harga BBM premium, ia menyampaikan, rumus penghitungan untuk bahan bakar premium atau Ron-88 sudah kuno bagi negara lain sebagai pihak ketiga (proxy).

"Kalau pakai rumus ini, harga premium makin dekat ke pertamax. Menurut kami, premium terlalu mahal, karena rumusnya kuno. Sekarang Ron-88 kan sudah tidak dijual di pasar, proxy-nya pakai Ron-92," katanya.

Mulai Januari 2015 rumusnya ialah 3,92 persen dikalikan harga indeks pasar (HIP) ditambah Rp672, sehingga alfanya menjadi Rp891 per liter, kemudian 19 Januari 2015 kembali berubah dengan besaran menjadi Rp1.195 per liter.

"Terakhir 19 Februari berubah lagi, 3,2 persen dikalikan HIP ditambah Rp830, hasil alfa premiumnya jadi Rp1.011 per liter. Ini turun karena harga minyak dunia juga sedang turun," demikian Faisal Basri.