Jakarta (ANTARA News) - Sebuah puisi tidak berbeda dengan lagu, harus merdu agar dapat dinikmati, kata penyair Sapardi Djoko Damono.
Menurut penyair yang tahun ini menginjak usia ke-75, orang akan kesulitan membuat puisi bila tidak menyukai lagu karena keduanya membutuhkan irama.
"Dalam kebudayaan Jawa, puisi itu disebut tembang. Jadi puisi itu untuk dinyanyikan, bukan untuk dibaca biasa," jelas Sapardi di Jakarta, Minggu.
Pencipta sajak "Aku Ingin" dan "Hujan Bulan Juni" itu mengatakan sebuah puisi haruslah enak didengarkan dan indah saat dibayangkan. Bukan masalah bila pembaca tidak betul-betul memahami arti puisinya. Yang penting mereka dapat menikmati puisi tersebut.
"Tidak usah dipusingkan apa artinya. Puisi itu untuk dihayati," imbuh peraih Hadiah Puisi Putera dari Malaysia pada 1984 itu.
Musikalisasi puisi adalah salah satu contoh dekatnya hubungan sajak dengan lagu. Tidak kurang dari 50 puisi karya Sapardi telah diwujudkan dalam bentuk musikalisasi.
Dia mengenang awal mula puisinya dijadikan lagu. Semua diawali dari murid-muridnya di Universitas Indonesia yang diam-diam merekam musikalisasi puisi karyanya.
Kaset yang di antaranya berisi musikalisasi "Aku Ingin" dan "Hujan Bulan Juni" itu pun mulai beredar dan dijual di kampus. Lama kelamaan musikalisasi puisi tersebut menyebar didengarkan semakin banyak orang.
"Puisi saya jadi lebih banyak dikenal orang karena lagu," kenang dia.
Dari sekian banyak puisi yang diwujudkan dalam bentuk lagu, Sapardi mengaku tidak bisa memilih mana yang menjadi favoritnya.
"Semua sama, podo podo wae," tutup dia.
Puisi itu lagu
23 Maret 2015 00:06 WIB
Penyair Sapardi Djoko Damono meluncurkan novel "Trilogi Soekram" di Jakarta, Minggu (22/3/2015). (ANTARA News/Nanien Yuniar)
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015
Tags: