Jakarta (ANTARA News) - Pengamat hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan persoalan terkait Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) persoalan yang genting namun belum memaksa untuk diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

"Perppu itu dikeluarkan kalau ada kegentingan memaksa. ISIS bukannya tidak genting, tapi belum memaksa," kata Refly di Jakarta, Jumat malam.

Pernyataan Refly terkait usul Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Tedjo Edhi Purdjiatno agar Presiden menerbitkan Perppu untuk menindak kelompok yang mendeklarasikan diri mendukung ISIS.

Menurut Refly, apabila pemerintah ingin mengantisipasi terkait keterlibatan warga negara Indonesia (WNI) dalam organisasi radikal itu, maka sebaiknya diatur melalui undang-undang biasa, bukan Perppu.

"Kalau mau membuat aturan cukup dengan legislasi biasa, buat saja undang-undang. Kalau tidak dengan undang-undang khusus, ya perubahan atas undang-undang tindak pidana terorisme. Jangan apa-apa terbitkan Perppu," kata dia.

Menurut Refly, pembuatan undang-undang tidak selalu menghabiskan waktu lama. Contohnya dalam perumusan UU MD3, kalangan legislatif bersama eksekutif mampu menyelesaikan dengan relatif cepat.

Selain itu, menurut dia, apabila aturan antisipasi keterlibatan WNI dalam ISIS diatur melalui undang-undang, maka akan ada peluang bagi publik menyampaikan aspirasinya.

Sebaliknya apabila diatur melalui Perppu, maka cenderung menjadi subyektifitas presiden.

"Jadi jawaban saya aturan mengenai ISIS sebaiknya dibuat dengan legislasi biasa saja, selama masih bisa dengan legislasi biasa mengapa harus menerbitkan Perppu," kata dia.