Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Farouk Muhammad mengatakan pemberian remisi atau pengurangan hukum tidak boleh disamaratakan antara pelaku kejahatan biasa dengan kejahatan luar biasa.

"Karena itulah perlu ada peraturan yang jelas dalam tata cara memberikan remisi, baik dari prosedur maupun dari besarnya jumlah remisi yang diberikan terkait masalah kejahatan yang dilakukan," kata Farouk di Gedung DPD RI, Jakarta, Rabu.

Hal itu disampaikan Farouk dalam acara diskusi dialog kenegaraan bertema "Remisi buat terpidana korupsi, apa alasannya?" di Gedung DPD RI, Jakarta, Rabu, 18/3.

Dia menjelaskan sistem hukum Indonesia yang memberikan wewenang penuh pada pemerintah untuk memberikan remisi dapat memunculkan bias atau ketidak jelasan dalam penegakkan hukum.

Menurut dia, di Indonesia pembuat kebijakan sepenuhnya dilakukan eksekutif padahal di negara maju, tidak semua kebijakan penegakkan hukum dibuat lembaga tersebut.

"Karena bagaimanapun pemerintah adalah yang menang dalam kontes politik sehingga kalau keputusan mau memberikan remisi, orang berpikir apa apa dan ini bias," ujarnya.

Dalam diskusi tersebut, anggota Komnas HAM Siti Nurlaela mengatakan remisi adalah bagian dari hak yang dimiliki seorang narapidana dan tidak ada pengecualian.

Namun pemerintah menurut dia telah membuat peraturan yang buat pengecualian pemberian remisi bagi kasus korupsi, narkoba dan terorisme.

"Ini wilayah sensitif, kami harus bicara dalam perspektif HAM dan paham semangat anti korupsi," ujarnya.

Dalam kasus korupsi menurut Siti, pemerintah bisa menggunakan UU nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi PBB Anti Korupsi. Dalam konvensi itu menurut dia bagaimana koruptor harus di miskinkan bukan hanya hukuman penjara.

"Itu yang seharusnya menjadi instrumen bagi penegak hukum, hukuman maksimal bukan hanya berupa hukuman badan namun pemiskinan," katanya.