Jakarta (ANTARA News) - Para pakar terorisme Barat mengatakan pola rekrutmen Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) adalah lain dari yang sudah-sudah, sedangkan Aljazeera pernah menulis beberapa bulan silam bahwa ISIS membutuhkan banyak keahlian dari seluruh dunia, termasuk kaum perempuan, untuk mengelola tatanan yang mereka sebut "khilafah" itu.
Mereka tak saja membutuhkan orang-orang yang mau bertempur untuk mereka, namun juga pegawai, insinyur, tenaga administrasi, guru, ahli Humas, sampai perempuan-perempuan untuk dijadikan istri-istri mereka demi membesarkan masyarakat baru mereka, terutama di Raqqa, Suriah, di mana mereka memusatkan "sistem pemerintahannya".
Mereka paham benar teknologi digital, internet, dan media sosial, dan untuk itu mereka memaksimalkan teknologi canggih terkini untuk merekrut simpatisan-simpatisannya dari seluruh dunia.
Mereka mencuci otak para pemuda pemudi seluruh dunia dengan video-video kualitas tinggi dengan videografi yang juga canggih sekelas Hollywood sehingga sebagian pemuda pemudi itu jatuh terpesona untuk kemudian memutuskan pergi dan bergabung dengan mereka.
Bagaimana barunya metode ISIS merekrut para perempuan muda sebagai aktivis dan simpatisannya digambarkan dalam sebuah kisah yang ditulis seorang wartawati Prancis yang namanya disamarkan sebagai Anna Erelle.
Kisahnya ini disiarkan dan kemudian disebarluaskan kembali oleh banyak media massa secara online belakangan ini, terutama yang dituliskan kembali oleh wartawati Sunday Times of London, Margarette Driscoll.
Militan itu bak Brad Pitt
Di sebuah kafe di Paris, Prancis, seorang perempuan muda berambut hitam bermata indah duduk gelisah seakan sedang menanti teman yang tak kunjung datang.
Bukan itu sebenarnya yang membuat dia gelisah, melainkan dia ingin memastikan polisi yang menjaganya tidak terlalu jauh dari dia.
Perempuan bernama Anna Erelle itu hidup dibayang-bayangi teror, menyeberang dari ISIS.
Dia diancam dihabisi nyawanya, dilecehkan via online, sedangkan video yang di dalamnya ada dirinya disebarluaskan di jagat maya dengan ditulisi pesan berbahasa Arab, "Saudara-saudaraku sekalian di seluruh dunia, jika kalian menemukan perempuan ini, bunuhlah dia."
Pada smartphone-nya, Erelle tersimpan foto tiga gadis Inggris --Shamima Begum (15), Kadiza Sultana (16) dan Amira Abase (15)-- yang terekam kamera CCTV tengah keluar dari gerbang pemeriksaan bandara dua pekan lalu dengan mengenakan syal menjuntai dan jeans ketat. Ketiga gadis ini akan bergabung dengan ISIS di Suriah.
"Lihatlah gadis-gadis itu, mereka sempurna. Mereka tampak bergembira dan santai. Mereka seakan hendak pergi untuk menghabiskan malam di pantai di Turki. Tiga gadis berpakaian hitam-hitam pasti akan menarik perhatian. Dengan tampil seperti ini, tidak akan ada yang menyadarinya kan?"
"Itu adalah instruksi yang sama dengan yang diperintahkan kepada saya sewaktu saya diminta pergi ke Suriah. Tanggalkan hijab, tampillah seperti gadis biasa. Baik-baiklah dengan keluargamu, maka mereka tidak akan curiga. Jangan tinggalkan apa-apa, tidak secarik catatan, tidak pula satu pesan sms, jangan coba menjelaskan kalau tidak mereka akan mengejarmu. Bersiaplah suatu hari dan berikutnya, menghilanglah."
Erelle adalah wartawati berusia 32 tahun yang menyamar sebagai seorang gadis siber, 'Melodie", yang digambarkan berusia 20 tahun. Erelle bekerja pada sebuah mingguan berita di Paris dengan spesialisasi liputan Timur Tengah.
Dua tahun lalu, dia melakukan serangkaian wawancara dengan para remaja di satu sudut kota Paris yang dianggap sebagai kampung ekstremisme di mana kaum mudanya teradikalisasi.
"Mereka hanya tahu sedikit sekali tentang agama. Mereka tidak suka membaca buku dan mereka mempelajari jihad lebih dulu ketimbang belajar agama," kata Erelle.
Mereka jatuh terpesona pada ide khilafah. Perempuan-perempuan muda yang hidup di masyarakat bebas ini bahkan terobsesi pada para militan yang oleh media Barat disebut jihadis-jihadis itu.
"Bagi mereka, para jihadis itu bagaikan Brad Pitt, bedanya Brad Pitt tidak relijius," sambung Erelle.
Setelah itu Erelle memutuskan bergabung dengan komunitas muslim online dan membuat profil palsu di Facebook dan Twitter.
Awalnya dia tidak tahu apa-apa soal komunitas ini, namun lama kelamaan dia kaget mendapati kenyataan betapa jauhnya rengkuhan komunitas muslim online ini.
Dari sini dia mengetahui Sultana, seorang remaja putri Inggris yang diyakini telah pergi ke Suriah, mem-follow lebih dari 70 ekstremis di Twitter dan memiliki lebih dari 11.000 follower.
Tujuan awal Erelle menyamar sebagai Melodie adalah ingin mengetahui gambaran seberapa besar kaum muda Prancis yang teradikalisasi.
Lalu sesuatu hal yang tak dia perkirakan sebelumnya, datang. Profil Melodie ini menarik perhatian Abou-Bilel, salah seorang panglima senior ISIS di Raqqa, Suriah, yang selama ini dikenal sebagai basis utama ISIS.
Si panglima ISIS jatuh cinta pada Melodie, dia pun melamarnya secara online, dan mengundangnya bergabung dalam khilafah ISIS.
Kekasih ISIS-ku
Erelle pertama kali menerima pesan Bilel sekitar pukul 10 malam April tahun lalu. "Assalamualaikum, adinda. Apakah kamu muslim? Apa pandanganmu terhadap mujahidin? Apakah kamu ingin ke Suriah?”
Erelle takjub. Bilel adalah pejuang ISIS kelahiran Prancis berasal usul Aljazair yang semula berada di Irak bergabung bersama Abu Bakr al-Baghdadi, pemimpin ISIS, dan kemudian pindah bersama-sama ke Suriah.
Melodie yang digambarkan dalam profil palsu itu sebagai gadis dari kampung miskin di daerah selatan Prancis yang hanya punya ibu yang bekerja berjam-jam, tanpa ayah atau saudara laki-laki.
Melodie menjawab Bilel dengan ragu bahwa dia telah masuk Islam dan ingin belajar menjadi musim yang saleh. Pesan-pesannya itu dibarengi dengan wajah yang selalu tersenyum. Dan terang saja Bilel menjadi semakin jatuh cinta.
Beberapa hari kemudian Bilel mengirimnya foto dirinya di atas satu Jeep sembari menenteng senjata. Lalu dia mengaku mencintai Melodie dan memintanya datang ke Suriah.
"Begitu kamu sampai di sini, kamu akan diperlakukan bak seorang putri," kata Bilel. "Inilah alasan gadis-gadis pergi ke sini. Ini adalah impian mengenai kehidupan yang baik. Kamu akan punya kehidupan yang indah, apartemen besar dan banyak anak."
Bilel lalu mengajak Melodie mengobrol lewat Skype.
"Saya sama sekali tak melihat orang yang akan membunuh atau memperkosa Anda, sejenak itu tak terlupakan. Dia lalu menatap saya dan begitu saya menatap matanya saya tak melihat apa-apa, tidak ada agama, tidak ada perasaan. Dia bukanlah lelaki baik-baik," kata Erelle yang sedang menyamar sebagai Melodie itu.
Erelle sebenarnya bimbang karena menyamar sebagai gadis yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Erelle sendiri berperawakan kecil mungil. Dia mengenakan hijab dan sedikit makeup untuk menutupi siapa dia sebenarnya di hadapan Bilel.
"Aneh sekali rasanya berpura-pura baik kepada seorang teroris," kata Erelle.
Tapi Bilel makin terpesona, "Kamu membuatku sering tertawa."
Beberapa hari kemudian Bilel menunjukkan siapa dirinya dengan menceritakan peperangan berdarah untuk merebut Raqqa pada 2013 dari tentara Suriah yang menguasai kota itu. Dia lalu menceritakan dia kerap memukul, menyiksa dan memenggal tahanan-tahanan ISIS.
"Dia ternyata pembohong, dia sangat mengagung-agungkan dirinya, tapi dia juga adalah orang yang mampu melakukan kekejaman yang luar biasa...tak ada sisi manusiawi dalam dirinya.”
Bertualang
Nama asli Bilel adalah Rachid. Dia dibesarkan di Roubaix di Prancis utara. Erelle kemudian mengetahui pria ini kerap terlibat kejahatan sebelum kabur ke Irak manakala teradikalisasi pada 2000.
Sebagai tangan kanan Al-Baghdadi, dia memikul tiga tugas di Suriah: rekrutmen, mengumpulkan pajak dan mengomandani pasukan.
Setiap hari ada saja rekrutmen baru dari Eropa. "Mereka belajar bahasa Arab pagi hari dan menembak pada sore hari.” Para rekrutan baru ini ditempatkan di sebuah asrama dan pada malam hari diajari mengaji oleh seorang guru agama.
"Dua pekan setelah itu, mereka akan dinilai, yang pintar akan ditempatkan pada tugas-tugas khusus, seperti kontraspionase," kata Bilel kepada Melodie.
Setiap kali Bilel berbicara dia langsung mengeceknya ke berbagai kontaknya di Suriah dan petugas keamanan Prancis. "Seperti umumnya pembohong, dia kadang lupa apa yang telah diucapkannya, lalu membicarakan cerita berbeda sehingga saya harus memeriksa semuanya."
Suatu waktu dia memuji para pelaku serangan bunuh diri ISIS. "Para pembom bunuh diri adalah yang paling kuat di antara kami semua.”
"Bayangkanlah seorang gadis seperti Melodie terpesona. Gadis-gadis seumur itu merasa seorang diri dan tiba-tiba saja ada lelaki berusia 38 tahun yang hampir dua kali umurnya, yang punya begitu banyak petualangan yang luar biasa, yang bermanis-manis kepada si gadis dan bilang pada si gadis bahwa dia mencintainya dan ingin berbicara pada si gadis 1.000 kali setiap hari," kata Erelle.
Begitu mengetahui Melodie telah menjadi tunangan Bilel, seketika Melodie menjadi selebriti bagi teman-teman onlinennya di komunitas muslim militan di Internet tersebut.
"Ini juga yang mungkin berperan dalam hilangnya tiga gadis Inggris itu," kata Erelle.
Semula Melodie menolak ajakan Bilel untuk pergi ke Raqqa karena tak mau meninggalkan ibunya, lagi pula dia mengaku tak berani pergi jauh-jauh.
Tapi Bilel tak menyerah untuk terus membujuk Melodie pergi ke Suriah. "Dia menjamin saya pasti mematuhinya. Dia ingin tahu apakah saya punya uang untuk membeli tiket. Jika tidak dia dan organisasinya yang kaya raya akan membiaya saya."
Diselundupkan ke Suriah
Polisi Prancis membuat peringatan untuk gadis-gadis yang pergi ke Suriah musim panas lalu, sehingga Bilel menyuruh Melodie memutar dahulu ke Amsterdam, Belanda.
Melodie akhirnya setuju pergi ke Suriah dengan syarat ditemani temannya Yasmin yang berusia 15 tahun. Tentu saja profil ini pun palsu.
Bilel lalu mengatakan, begitu kami sampai di Amsterdam maka saya harus mengganti nomor ponsel, lalu mengabarinya bahwa mereka akan terbang dari Amsterdam ke Istanbul.
Di Istanbul, Melodie dan Yasmin akan ditemui seorang wanita kiriman ISIS, istilahnya adalah seorang “maman”, yang juga akan menemani mereka ke Suriah.
Erelle tertarik untuk menemui si "maman".
"Saya ingin menemui 'maman' ini," kata dia . "Saya perempuan dan saya tak habis pikir bagaimana bisa seorang perempuan tega menyerahkan gadis-gadis teramat muda ini kepada para lelaki ini untuk dinikahi. Jadi ini mungkin pribadi. Saya ingin melihat wajah perempuan ini."
Ternyata tidak hanya itu pesan Bilel, si pemuda militan ini menitipkan pada Melodie untuk membelikan Egoiste dari Chanel.
"Ini fakta lain dari petempur-petempur itu. Mereka bilang mereka menolak Barat, mereka menyatakan antikapitalis, tapi mereka suka barang mewah dan merek-merek desainer terkenal, mereka memakai sepatu Nike dan mengenakan kacamata Ray-Ban bersama seragam militer mereka. Ini juga cara lain untuk membujuk anak-anak muda dengan berkata, ‘Saya dulu juga miskin seperti kamu tapi lihatlah saya sekarang.’”
Di Amsterdam, timbul masalah. Bilel meminta Melodie dan “Yasmin” pergi sendirian mengingat “maman” tidak bisa menjemput karena masalah keamanan.
Begitu tiba di Istanbul, mereka mesti mengambil penerbangan domestik ke Urfa, Turki tenggara, lalu menunggu instruksi dari sana. Melodie mengaku dia takut.
"Kami sudah besar," kata Bilel menghibur. "Banyak orang Eropa pergi setiap minggu dengan harapan bergabung dengan kami. Allez, malionne!”
Namun Melodie menolak melanjutkan perjalanan dengan alasan polisi di mana-mana dan dia ingin pulang.
"Untuk pertama kali saya membantah dia. Dia tak suka itu,” kata Erelle. “Dia berteriak, mengerikan sekali. Dia marah kepada saya karena menolak melanjutkan perjalanan." Dia berkata, 'Kamu membuat saya tampak bodoh di depan hirarki di sini. Ini sulit dimaafkan.”
Bilel tampak ingin segera memutus hubungan, namun itu tak mudah. Dia masih percaya Melodie ada, dan dia berkata: “Saya tahu siapa kamu, hanya dalam perkara menit untuk menemukan kamu dan membuhuhmu.”
Musuh ISIS
Erelle pun kembali ke Paris, lalu menuliskan cerita mengenai Melodie dalam majalahnya Mei tahun lalu. Dia kini menulis buku berjudul, “In the Skin of a Jihadist.”
Artikel itu ditulis di bawah nama alias lainnya. “Erelle” sendiri nama samaran lainnya. Begitu dia menyiarkan cerita soal Melodie, Erelle pun menjadi target pembunuhan.
Dia sampai harus mengganti nomor teleponnya beberapa kali.
Segera setelah Melodie memutuskan hubungan, Bilel meneleponnya dari berbagai nomor Prancis. Perempuan ini mendapatkan sejumlah ancaman kematian lewat akun Skype Melodie.
Dia menulis sebuah buku yang tak diakuinya, dan sejak pembantaian Charlie Hebdo pada 7 Januari, dia mendapatkan perlindungan polisi.
"Mereka bilang, seseorang mengawasi gedung di mana saya tinggal. Mereka mengamati saya. Saya tak pernah tahu apakah mereka memang ada atau tidak," kata dia.
Beberapa bulan lalu, Bilel dikabarkan tewas. "Saya tak tahu apakah itu benar, atau dia tahu identitas sejati saya."
Sumber: Sunday Times of London
Kisah wartawati penyamar kekasih online komandan ISIS
17 Maret 2015 17:00 WIB
Remaja putri Inggris Amira Abase, Kadiza Sultana, dan Shamima Begun (kiri-kanan) berjalan di Bandara Gatwick sebelum bergabung dengan ISIS (REUTERS/Metropolitan Police/Handout via Reuters)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015
Tags: