Jakarta (ANTARA News) - Dalam suatu laporannya, Price Waterhouse Cooper meramalkan Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar kelima di dunia dari sisi Gross Domestic Product (GDP) pada 2030, bahkan nomor empat dunia pada 2050 dari sisi Purchasing Power Parity (PPP).
Ramalan tersebut akan terwujud jika Indonesia mempunyai pondasi ekonomi yang kokoh dan pertumbuhan ekonomi yang terus terjaga dan salah satu faktor penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah ketersediaan energi.
Kemandirian energi akan terus menjadi pekerjaan rumah saat ini hingga tahun-tahun mendatang dengan konsumsi energi terutama BBM yang terus naik seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk serta menurunnya produksi minya nasional karena semakin menipisnya cadangan minyak.
"Dalam 10 tahun mendatang, kebutuhan energi nasional akan mencapai 7,7 juta barel setara minyak perhari dengan 2 juta barel di antaranya merupakan kebutuhan akan BBM," kata Pemilik Medco Group, Arifin Panigoro dalam diskusi "Menanam Benih Kemandirian" yang diselenggarakan di Jakarta, 14/3.
Namun, kata Arifin, perkiraan ini mengandaikan program-program yang sedang dirintis pemerintah saat ini untuk mengembangkan energi alternatif, misalnya panas bumi.
"Jika gagal, maka kebutuhan BBM pada 2025 akan mencapai 3 juta barel perhari," katanya.
Ia mengatakan, dari sisi produksi, tren penurunan seolah tidak bisa dihindari.
"Jika pada 2014 produksi minyak nasional sebesar 794 ribu barel perhari, maka pada 2025 produksi minyak hanya akan mencapai 453 ribu barel perhari," tuturnya.
Ia menjelaskan, penurunan produksi dipengaruhi banyak hal, salah satunya cadangan minyak yang saat ini hanya mencapai 3,7 miliar barel perhari.
"Celakanya, upaya menambah cadangan minyak melalui kegiatan eksplorasi saat ini sedang menurun akibat harga minyak dunia yang sedang anjlok dan mahalnya investasi, terutama untuk eksplorasi di daerah kawasan Indonesia Timur dan "deepwater"," ujarnya.
Mengembangkan "Green Diesel"
Menurut Arifin, dengan samakin naiknya konsumsi, menurunnya produksi, dan menipisnya cadangan minyak fosil di Indonesia, sudah saatnya untuk melirik berbagai sumber energi, terutama energi terbarukan.
Ia mengatakan, prioritas utama kemandirian energi bisa dilakukan dengan program pengembangan biofuel.
"Ada beberapa alasan, misalnya dengan ketersedian biofuel akan menambah pasokan bahan bakar nasional sehingga masyarakat juga akan meningkat kesadarannya menggunakan biofuel yang lebih ramah lingkungan dibanding minyak fosil," katanya.
Alasan lain, menurut Arifin adalah program konversi sedang giat dilaksanakan pemerintah tetapi infrastruktur gas serta pasokannya tidak dapat menggantikan kebutuhan BBM secara total.
"Selain itu, pilihan terhadap biofuel akan lebih realistis dilakukan mengingat teknologi untuk industri biofuel sudah tersedia dan sangat maju," tuturnya.
Menurutnya, ketersediaan energi khususnya kelapa sawit yang menghasilkan Crude Palm Oil (CPO) juga cukup untuk mendukung program biofuel.
Ia menyatakan, di antara berbagai alternatif biofuel, jenis "green diesel" berbasis CPO bisa menjadi pilihan yang tepat dan cepat karena terdapat tiga faktor yang mempengaruhinya.
"Pertama, "green diesel" berbasis CPO akan menjadi solusi yang paling cepat dan tepat untuk program kemandirian energi," kata Arifin.
Menurutnya, Indonesia merupakan produsen CPO nomor satu di dunia dengan menguasai 47 persen pasar global karena produksi CPO Indonesia mencapai sekitar 30 juta ton pertahun.
Kedua, kata Arifin adalah kualitas "green diesel" lebih baik dan tidak ada pembatasan pencampuran.
"Teknologi 'biorefinery' telah memungkinkan pengolahan 'green diesel' dengan kualitas terbaik tanpa campuran melalui teknologi 'hydrocracking' dengan proses hidrogrenasi," katanya.
Kemudian yang ketiga adalah "biorefinery" bisa dibangun dalam skala kecil sampai besar dan bisa tersebar di setiap provinsi.
"Pada saat ini, kilang-kilang 'green diesel' sudah bisa dibuat dalam skala kecil, yaitu 400 barel perhari hingga kapasitas besar seperti 100 ribu barel perhari," ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Arifin, "biorefinery" untuk "green diesel" bisa disebar ke daerah-daerah dengan jangkauan yang lebih luas.
Ia menambahkan, dalam jangka pendek, keberhasilan program pengembangan "green diesel" akan membawa manfaat, antara lain 30 persen penambahan produksi bahan bakar energi terbarukan, 30 persen penambahan cadangan berkelanjutan, dan 30 persen pengurangan impor BBM.
Dukungan Pemerintah
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said mengatakan pemerintah akan serius menjalankan program pengembangan energi terbarukan berbahan nabati.
"Program pengembangan energi terbarukan berbahan nabati juga menjadi salah satu fokus kerja kami. Dari program "mandatory" bahan bakar nabati, kami harapkan tahun ini bisa mendapat 1,57 juta kiloliter," kata Sudirman dalam diskusi "Menanam Benih Kemandirian" di Jakarta, 14/3.
Ia mengatakan, Presiden Joko Widodo juga telah mengungkapkan gagasan untuk pengelolaan jutaan lahan yang terlantar di Indonesia.
"Di antara lahan terlantar tersebut, seharusnya bisa dimanfaatkan untuk pengembangan 'green diesel' dengan cara mencetak kebun energi," katanya.
Menurut Sudirman, upaya mempercepat pengembangan "green diesel" membutuhkan dukungan yang luar biasa, baik dari pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat terutama para petani.
"Pengembangan kebun energi tersebut mesti diikuti oleh dukungan kebijakan atau "affirmative policy" dari pemerintah, baik dari sisi regulasi terkait konversi lahan kritis, pelibatan generasi muda sebagi "leader" dalam kebun energi, dukungan akses keuangan atau "financial inclusion" hingga "off-taker" dari produksi "green diesel" oleh BUMN, misalnya Pertamina atau PLN," tuturnya.
"Green Diesel" solusi menuju kemandirian energi Indonesia
16 Maret 2015 21:52 WIB
Ilustrasi hamparan perkebunan kelapa sawit (FOTO ANTARA/Kasriadi)
Oleh Oleh: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015
Tags: