Jakarta (ANTARA News) - Selasa sore (3/3) nilai tukar rupiah erhadap dolar AS bergerak melemah sebesar dua poin menjadi Rp12.962 dari Rp12.960 per dolar AS, nilai tukar rupiah yang terus terdepresiasi dan hampir menyentuh Rp13.000 ini disebut-sebut karena faktor eksternal, bukan faktor internal.
"Ini bukan karena masalah dalam negeri, ini karena faktor di luar negeri," kata Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro.
Menurut Bambang Brodjonegoro, pelemahan mata uang rupiah dipengaruhi oleh sejumlah faktor luar negeri salah satunya dipicu oleh rencana bank sentral Amerika Serikat (The Fed) yang akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat dan juga karena dampak penurunan suku bunga Tiongkok untuk kedua kalinya dalam tiga bulan terakhir.
Wakil Presiden Jusuf Kalla merasa pemerintah belum perlu mengambil langkah antisipasi menghadapi pelemahan rupiah terhadap dolar AS tersebut, pelemahan sudah terjadi enam bulan terakhir dan nilainya memang fluktuatif.
"Tidak perlu langkah antisipatif, karena pelemahan dipengaruhi faktor eksternal. Bagi kita, sebenarnya angka-angka seperti itu tidak masalah karena ekspor kita akan lebih baik dan impor kita menurun," katanya.
Senada dengan menteri dan waklinya, Presiden Joko Widodo juga mengatakan tekanan pada mata uang rupiah disebabkan oleh penguatan dolar Amerika Serikat yang juga dialami oleh mata uang negara-negara lainnya sehingga ia menilai hal ini hanya bersifat sementara.
"Kita semua harap agar itu bersifat sementara karena ini dipicu penguatan dolar AS terhadap semua mata uang dunia. Kita juga ingin agar rupiah ini bergerak pada level yang aman," kata kepala negara.
Direktur Eksekutif Komunikasi Bank Indonesia Tirta Segara mengatakan Bank Indonesia menjaga nilai tukar rupiah agar tetap stabil dan fundamental sehingga nilai tukar rupiah kompetitif dengan nilai mata uang lain.
"Jika rupiah terlalu kuat akan sulit ekspor dan jika terlalu lemah bisa menjadikan current account deficit atau nilai bayar impor kita meningkat," kata dia.
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Solikin Juhro mengatakan nilai tukar rupiah di angka yang hampir menyentuh Rp13.000 per dolar AS saat ini masih fundamental.
"Nilai tukar Indonesia saat ini stabil dan fundamental. Fundamental maksudnya konsisten dengan pencapaian stabilitas makro secara keseluruhan," kata dia.
Ia mengatakan nilai rupiah harus terus dijaga agar tetap stabil sehingga tidak terjadi gejolak berlebihan yang dapat menciptakan ketidakpastian dan semakin memperburuk nilai tukar.
Bank Indonesia memberikan isyarat akan selalu menjaga pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS agar sesuai fundamentalnya, meskipun saat ini rupiah sedang mengalami tekanan eksternal.
"Kita selalu ada di pasar dan menjaga fluktuasinya ada di ambang batas yang bisa diterima serta tetap menyakinkan kepercayaan masyarakat dan pasar pada nilai tukar rupiah," kata Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo.
Menurut Agus, di antara negara-negara berkembang yang setara dengan Indonesia, nilai perlemahan mata uang dibandingkan Brazil, Turki dan Afrika Selatan, kita masih lebih baik.
Ia memperkirakan volatilitas nilai tukar rupiah untuk tahun ini akan bergerak pada kisaran plus minus tiga hingga lima persen ke atas maupun ke bawah dari asumsi nilai tukar dalam APBN-P 2015 sebesar Rp12.500 per dolar AS.
Menurutnya perlemahan tersebut masih dapat diterima dan masih sesuai dengan fudamental,
"Tentu ini sejalan dengan perkembangan (ekonomi) di dunia, normalisasi kebijakan The Fed dan besarnya permintaan valuta asing yang terjadi setiap akhir tahun," kata Agus.
Sebelumnya pada Januari Gubernur Bank Indonesia memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sepnjang 2015 berada kisaran Rp12.200 - Rp12.800.
Masih Kuat
Presiden Joko Widodo berkeyakinan fundamental ekonomi nasional cukup kuat, terlihat dari deflasi yang terjadi pada Januari 2015 dan Februari 2015 dan cadangan devisa yang dimiliki Indonesia serta aliran investasi yang masuk hingga Februari 2015.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan dolar AS yang sedang menguat terhadap mata uang lainnya sebagai imbas dari perbaikan ekonomi di Amerika Serikat, oleh sebab itu belum ada yang perlu dikhawatirkan dari depresiasi nilai rupiah ini.
Menkeu mengutarakan keyakinannya bahwa Bank Indonesia telah siap dalam mengambil langkah-langkah yang tepat seperti melakukan intervensi di pasar bila sekiranya hal itu dinilai sudah diperlukan.
Menko keuangan Sofyan Djalil mengatakan perlu melakukan perbaikan kebijakan domestik untuk menjaga fundamental ekonomi sehingga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menjadi lebih stabil.
"Kita harus memperbaiki kebijakan domestik, supaya portofolio investasi masuk dan FDI (foreign direct investment) masuk, dengan begitu itu akan memperbaiki rupiah," katanya.
Ia menambahkan kebijakan ekonomi pemerintah akan diarahkan untuk memperbaiki masalah yang selama ini mengganggu kinerja ekonomi seperti tingginya biaya logistik serta ketahanan fiskal agar fundamental ekonomi tetap terjaga.
"Kita memperbaiki itu, termasuk kita jaga inflasi. Alhamdulilah, dalam dua bulan pertama telah terjadi deflasi, itu juga akan memperbaiki rupiah," ujarnya.
Ia meminta masyarakat melihat sisi positif dari fluktuasi rupiah yang cenderung melemah setiap harinya, karena depresiasi rupiah ini dapat meningkatkan nilai ekspor nasional, yang dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Sebenarnya tidak ada masalah, untuk ekspor kita malah bagus karena ada rupiah yang kompetitif terhadap perdagangan. Apalagi kita itu produknya juga cukup kompetitif," tegasnya.
Menurut dia, kondisi perlemahan rupiah ini berbeda dengan situasi ketika terjadi krisis moneter pada 1999, karena nilai rupiah waktu itu melemah dari angka kisaran Rp2.500, bukan dari nilai Rp11.900 seperti saat ini.
"1999, pada saat itu dari Rp2.500 ke Rp13.000 sehingga jadi masalah. Tahun lalu Rp11.900, jadi melemahnya hanya beberapa persen saja dan itu normal. Semua indikator masih oke," kata Sofyan.
Tren naik
Keyakinan Joko Widodo agaknya beralasan karena memang sesuai data Bank Indonesia (BI) posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Januari 2015 mengalami kenaikan sebesar 2,3 miliar ke 114,2 miliar dolar AS.
Angka itu mengalami peningkatan dari posisi akhir Desember 2014 sebesar 111,9 miliar dolar AS.
Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Peter Jacobs, mengatakan bahwa peningkatan cadangan devisa tersebut berasal dari penerbitan global bonds pemerintah, simpanan deposito valuta asing bank-bank di Bank Indonesia dan hasil ekspor migas Pemerintah.
"Selain itu, penerimaan pemerintah lainnya dalam valuta asing yang melebihi pengeluaran untuk pembayaran utang luar negeri Pemerintah," kata Jacobs awal Februari lalu.
Dia mengatakan, posisi cadangan devisa per akhir Januari 2015 diproyeksikan dapat membiayai 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor.
Selain itu, cadangan devisa tersebut, juga diyakini mampu memenuhi kewajiban pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta kewajiban lain dalam jangka waktu tiga bulan impor.
"Bank Indonesia menilai level cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan," katanya.
Idealkah nilai tukar rupiah saat ini?
5 Maret 2015 22:22 WIB
Mata Uang Rupiah ( ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
Oleh Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015
Tags: