Jakarta (ANTARA News) - Seorang praktisi keuangan berpendapat penurunan suku bunga acuan (BI Rate) sudah seharusnya direspon secepat mungkin dengan menurunkan bunga kredit perbankan yang diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penguatan sektor Usaha Kecil Menengah (UKM).

"Semakin banyaknya kucuran kredit bank dengan bunga rendah merupakan sebuah tantangan yang seharusnya dapat direspon positif oleh para direktur utama bank di negeri ini," ujar praktisi keuangan dari Indosterling Capital, William Henley di Jakarta, Selasa.

William merespons suku bunga acuan yang turun 25 basis poin ke level 7,5 persen. Hal itu pertama kali terjadi sejak Februari 2012.

Dia berharap agar direksi bank pemerintah bisa merespons permintaan Presiden Joko Widodo yang telah meminta adanya penurunan suku bunga kredit kepada seluruh direksi bank BUMN pada pekan lalu.

"Optimisme itulah yang patut diapresiasi. BI sepertinya meyakini inflasi akan tetap terjaga pada kisaran tiga hingga lima persen disertai dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen hingga 5,8 persen, dan Neraca Pembayaran Indonesia akan terus membaik," jelas pria yang akrab disapa William Botak itu.

William melihat, patokan suku bunga dasar kredit bank pemerintah hingga akhir Februari 2015 masih cukup tinggi, yaitu rata-rata di atas 11,5 persen untuk kredit ritel, di atas 11 persen untuk KPR, dan di atas 19 persen untuk kredit mikro.

"Ini saatnya kesempatan bagi para pengusaha untuk bisa lebih ekspansif dengan didukung kucuran dana melalui pinjaman bank," tukasnya.

William juga mengajak semua pihak agar jangan terlalu cemas secara berlebihan terhadap kenaikan suku bunga acuan di Amerika Serikat (Fed Fund Rate).

Ia mengatakan saat ini selisih antara suku bunga di Indonesia dan Amerika masih sekitar 6 persen, faktor pendukung pertumbuhan ekonomi dari dalam kian menunjukkan perbaikan.

Setidaknya hal itu tercermin dari belanja pemerintah dan konsumsi rumah tangga yang kian meningkat serta pembangunan infrastruktur yang terus bergulir.

(I025)