Laju penyempitan hutan lebih cepat dari perkiraan
3 Maret 2015 19:13 WIB
Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu terlihat dari udara di Provinsi Riau, Sabtu lalu (28/2). (ANTARA FOTO/FB Anggoro)
London (ANTARA News) - Citra-citra satelit menujukkan hutan-hutan tropis dari Amazon sampai Filipina menyempit dengan laju jauh lebih cepat dari perkiraan sebelumnya, menurut tim peneliti hutan dari University of Maryland, Amerika Serikat.
Tingkat deforestasi tahunan dari 1990 sampai 2010 sampai 62 persen lebih tinggi dibandingkan dekade sebelumnya dan lebih tinggi dibandingkan perkiraan sebelumnya menurut studi peta-peta satelit yang meliputi 80 persen hutan tropis dunia.
Studi yang baru mempertanyakan penilaian Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nations Food and Agriculture Organization/FAO) yang menyatakan tingkat deforestasi sebenarnya turun 25 persen sepanjang 1990 sampai 2010.
Sampai sekarang laporan Forest Resource Assessment (FRA) FAO masih satu-satunya sumber yang tersedia untuk memperkirakan perubahan hutan dalam jangka panjang dan kecenderungannya, kata Do-Hyung Kim, penulis utama hasil studi yang akan dipublikasikan di Geophysical Research Letters itu.
"Meski demikian, laporan FAO sudah dikritik karena inkonsistensi dalam metode surveinya dan definisi tentang apakah hutan itu. Hasil kami penting karena kami memberikan alternatif berdasar satelit bagi FRA," katanya.
Kim mengatakan penilaian FAO sebagian besar didasarkan pada laporan mandiri dari negara-negara berhutan tropis.
Sebaliknya, Kim dan koleganya di University of Maryland menganalisis 5.444 citra Landsat dari tahun 1990, 2000, 2005 dan 2010 untuk menilai seberapa banyak hutan yang hilang atau bertambah di 34 negara, yang memiliki sekitar 80 persen lahan hutan tropis di dunia.
Selama periode 1990 sampai 2000, penyusutan hutan tahunan di seluruh negara mencapai empat juta hektare atau sekitar 40.000 kilometer persegi per tahun menurut studi itu.
Dari tahun 2000 sampai 2010, luas hutan yang hilang meningkat 62 persen menjadi 6,5 juta hektare atau sekitar 65.000 kilometer persegi atau sama dengan pembukaan hutan seluas Sri Lanka setiap tahun.
Kehilangan terbesar
Hasil studi itu menunjukkan bahwa hutan tropis Amerika Latin menunjukkan penyusutan area hutan tahunan terbesar, mencapai 1,4 juta hektare per tahun dari tahun 1990-an sampai 2000-an.
Brasil juga berada di bagian atas daftar tersebut dengan penyusutan luas hutan tahunan 0,6 juta hektare per tahun.
Sementara hutan tropis Asia menunjukkan peningkatan deforestasi 0,8 juta hektare per tahun dengan negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Kamboja, Thailand dan Filipina sebagai penyumbang terbesar.
Hutan tropis Afrika menunjukkan tingkat penyusutan hutan tahunan paling sedikit, meski masih ada peningkatan tetap akibat penebangan pepohonan hutan di Republik Demokratik Kongo dan Madagaskar.
Laporan Penilaian Sumber Daya Hutan FAO (Forest Resource Assessment/FRA) menunjukkan bahwa pada periode yang sama terjadi penurunan deforestasi 25 persen di negara-negara berhutan tropis.
Keterbatasan nilai
Peneliti hutan dari University of Melbourne, Rodney Keenan, yang berpartisipasi dalam penilaian hutan FAO mengatakan bahwa laporan hutan dari badan PBB itu tidak seburuk kelihatannya.
"Studi Kim hanya menggunakan penginderaan jarak jauh otomatis," katanya seperti dilansir kantor berita Reuters.
"Ini memberikan gambaran satu aspek perubahan hutan, sementara estimasi lapangan dan manajemen informasi memberikan perspektif yang lain, seperti apakah lahan tanpa pohon itu akan dihutankan kembali," jelasnya.
"Kebanyakan ahli menganggap hanya bergantung pada penginderaan jarak jauh saja, seperti yang dilakukan para penulis ini, nilainya terbatas dalam memahami dinamika hutan dan pengelolaannya," jelas dia.
Keenan sepakat bahwa kedua pendekatan itu bisa dianggap "saling melengkapi" dan menyebutkan bahwa studi baru itu menyajikan "data-data menarik baru."
Namun demikian Kim mengatakan laporan FRA melewatkan deforestasi yang jelas terlihat dalam citra satelit.
Sebagai contoh, FRA melaporkan bahwa tidak ada perubahan tingkat deforestasi di 16 dari 34 negara yang ditinjau dalam kedua studi, termasuk Colombia dan Republik Demokratik Kongo.
Sementara hasil studi baru menemukan peningkatan deforestasi di negara-negara itu, kata Kim.
Pemicu peningkatan deforestasi meliputi peningkatan populasi penduduk,
pembalakan, dan pertumbuhan pertanian menurut hasil riset Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA).
Menurut hasil studi, deforestasi menyumbang sekitar 10 persen emisi gas rumah kaca akibat kegiatan manusia yang memicu pemanasan global, yang telah mendorong berbagai upaya untuk mengatasi masalah itu.
Upaya yang dipimpin badan PBB urusan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/ REDD) misalnya, membantu menggalang dana dari negara-negara kaya untuk negara berhutan tropis sebagai pertukaran bagi usaha untuk melindungi hutan tropis.
Pencitraan satelit adalah satu cara untuk membuat negara bertanggung jawab deforestasi mereka, kata Kim.
Dia mencatat bahwa "saat deforestasi meningkat, kita bisa memproyeksikan bahwa perubahan iklim juga meningkat."
Keenan mengatakan pemahaman lebih baik tentang di mana dan mengapa deforestasi terjadi bisa membantu meneliti peluang untuk mengurangi konversi hutan.
"Mengurangi deforestasi, meningkatkan area hutan dan pengelolaan hutan kita secara berkelanjutan bisa menjadi kontribusi penting bagi aksi perubahan iklim," katanya.
FAO akan memperbarui data penilaian hutan pada Kongres Kehutanan Dunia pada September.
Tingkat deforestasi tahunan dari 1990 sampai 2010 sampai 62 persen lebih tinggi dibandingkan dekade sebelumnya dan lebih tinggi dibandingkan perkiraan sebelumnya menurut studi peta-peta satelit yang meliputi 80 persen hutan tropis dunia.
Studi yang baru mempertanyakan penilaian Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nations Food and Agriculture Organization/FAO) yang menyatakan tingkat deforestasi sebenarnya turun 25 persen sepanjang 1990 sampai 2010.
Sampai sekarang laporan Forest Resource Assessment (FRA) FAO masih satu-satunya sumber yang tersedia untuk memperkirakan perubahan hutan dalam jangka panjang dan kecenderungannya, kata Do-Hyung Kim, penulis utama hasil studi yang akan dipublikasikan di Geophysical Research Letters itu.
"Meski demikian, laporan FAO sudah dikritik karena inkonsistensi dalam metode surveinya dan definisi tentang apakah hutan itu. Hasil kami penting karena kami memberikan alternatif berdasar satelit bagi FRA," katanya.
Kim mengatakan penilaian FAO sebagian besar didasarkan pada laporan mandiri dari negara-negara berhutan tropis.
Sebaliknya, Kim dan koleganya di University of Maryland menganalisis 5.444 citra Landsat dari tahun 1990, 2000, 2005 dan 2010 untuk menilai seberapa banyak hutan yang hilang atau bertambah di 34 negara, yang memiliki sekitar 80 persen lahan hutan tropis di dunia.
Selama periode 1990 sampai 2000, penyusutan hutan tahunan di seluruh negara mencapai empat juta hektare atau sekitar 40.000 kilometer persegi per tahun menurut studi itu.
Dari tahun 2000 sampai 2010, luas hutan yang hilang meningkat 62 persen menjadi 6,5 juta hektare atau sekitar 65.000 kilometer persegi atau sama dengan pembukaan hutan seluas Sri Lanka setiap tahun.
Kehilangan terbesar
Hasil studi itu menunjukkan bahwa hutan tropis Amerika Latin menunjukkan penyusutan area hutan tahunan terbesar, mencapai 1,4 juta hektare per tahun dari tahun 1990-an sampai 2000-an.
Brasil juga berada di bagian atas daftar tersebut dengan penyusutan luas hutan tahunan 0,6 juta hektare per tahun.
Sementara hutan tropis Asia menunjukkan peningkatan deforestasi 0,8 juta hektare per tahun dengan negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Kamboja, Thailand dan Filipina sebagai penyumbang terbesar.
Hutan tropis Afrika menunjukkan tingkat penyusutan hutan tahunan paling sedikit, meski masih ada peningkatan tetap akibat penebangan pepohonan hutan di Republik Demokratik Kongo dan Madagaskar.
Laporan Penilaian Sumber Daya Hutan FAO (Forest Resource Assessment/FRA) menunjukkan bahwa pada periode yang sama terjadi penurunan deforestasi 25 persen di negara-negara berhutan tropis.
Keterbatasan nilai
Peneliti hutan dari University of Melbourne, Rodney Keenan, yang berpartisipasi dalam penilaian hutan FAO mengatakan bahwa laporan hutan dari badan PBB itu tidak seburuk kelihatannya.
"Studi Kim hanya menggunakan penginderaan jarak jauh otomatis," katanya seperti dilansir kantor berita Reuters.
"Ini memberikan gambaran satu aspek perubahan hutan, sementara estimasi lapangan dan manajemen informasi memberikan perspektif yang lain, seperti apakah lahan tanpa pohon itu akan dihutankan kembali," jelasnya.
"Kebanyakan ahli menganggap hanya bergantung pada penginderaan jarak jauh saja, seperti yang dilakukan para penulis ini, nilainya terbatas dalam memahami dinamika hutan dan pengelolaannya," jelas dia.
Keenan sepakat bahwa kedua pendekatan itu bisa dianggap "saling melengkapi" dan menyebutkan bahwa studi baru itu menyajikan "data-data menarik baru."
Namun demikian Kim mengatakan laporan FRA melewatkan deforestasi yang jelas terlihat dalam citra satelit.
Sebagai contoh, FRA melaporkan bahwa tidak ada perubahan tingkat deforestasi di 16 dari 34 negara yang ditinjau dalam kedua studi, termasuk Colombia dan Republik Demokratik Kongo.
Sementara hasil studi baru menemukan peningkatan deforestasi di negara-negara itu, kata Kim.
Pemicu peningkatan deforestasi meliputi peningkatan populasi penduduk,
pembalakan, dan pertumbuhan pertanian menurut hasil riset Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA).
Menurut hasil studi, deforestasi menyumbang sekitar 10 persen emisi gas rumah kaca akibat kegiatan manusia yang memicu pemanasan global, yang telah mendorong berbagai upaya untuk mengatasi masalah itu.
Upaya yang dipimpin badan PBB urusan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/ REDD) misalnya, membantu menggalang dana dari negara-negara kaya untuk negara berhutan tropis sebagai pertukaran bagi usaha untuk melindungi hutan tropis.
Pencitraan satelit adalah satu cara untuk membuat negara bertanggung jawab deforestasi mereka, kata Kim.
Dia mencatat bahwa "saat deforestasi meningkat, kita bisa memproyeksikan bahwa perubahan iklim juga meningkat."
Keenan mengatakan pemahaman lebih baik tentang di mana dan mengapa deforestasi terjadi bisa membantu meneliti peluang untuk mengurangi konversi hutan.
"Mengurangi deforestasi, meningkatkan area hutan dan pengelolaan hutan kita secara berkelanjutan bisa menjadi kontribusi penting bagi aksi perubahan iklim," katanya.
FAO akan memperbarui data penilaian hutan pada Kongres Kehutanan Dunia pada September.
Penerjemah: Maryati
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015
Tags: