Fitra nilai hak angket DPRD DKI harus dihentikan
3 Maret 2015 18:56 WIB
Aksi Dukungan Ahok Gubernur DKI Basuki T. Purnama (kedua kiri) menemui warga yang tergabung dalam Pijar Indonesia ketika aksi save Ahok di teras Balai Kota Jakarta, Selasa (3/3). Mereka mendukung Ahok untuk membongkar dan menyeret ke meja hijau mafia anggaran di DPRD DKI Jakarta. (ANTARA FOTO/Brenda) ()
Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Swadaya Masyarakat Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai penggunaan hak angket harus dihentikan karena sarat kepentingan politik.
"Harus dihentikan segera dan panitianya dibubarkan karena hanya akan memperkeruh suasana suasana penetapan APBD DKI 2015," kata Sekretaris Jendral Fitra Yenni Sucipto di Jakarta, Selasa.
Ia menjelaskan proses perencanaan penganggaran harus meliputi lima dimensi yaitu politis, teknokratis, touch down, bottom up dan partisitatif, namun pihak Fitra menilai hanya dimensi politisnya yang kuat sehingga memunculkan hak angket dan mengarah ke ranah penegakkan hukum.
Yenni mengatakan penetapan hak dan panitia angket tersebut tidak ada motif untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, hal tersebut terlihat dari tuduhan DPRD bahwa ada 11 aturan yang dilanggar Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama padahal sebenarnya adalah masalah administrasi.
"Dan Kemendagri mengembalikan karena ada dugaan beberapa poin yang tidak transparan seperti bentuknya yang tidak dirinci. Kita mengharapkan angket ini dihentikan karena akan memperlebar konflik antara eksekutif dan legislatif dan menyandera APBD itu sendiri," kata Yeni.
Ia juga mengatakan dalam 11 aturan yang dijadikan landasan DPRD dalam menjalankan hak angket yang berarti menunjukkan ketidak percayaan legislatif pada eksekutif tersebut, ada hal yang kurang tepat yaitu e-budgetting yang tidak berpayung hukum menurut dewan.
"Ini salah juga kalau dibilang tidak ada payung hukumnya karena ada di UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah di Pasal 391 mengenai informasi pemerintahan daerah," katanya.
Dalam Pasal 391 ayat (1) Pemerintah Daerah wajib menyediakan informasi Pemerintahan Daerah yang terdiri atas: a. informasi pembangunan Daerah; dan b. informasi keuangan Daerah. (2) Informasi Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola dalam suatu sistem informasi Pemerintahan Daerah.
Sedangkan dalam Pasal 394 menyebutkan kewajiban diumumkannya semua informasi tersebut pada masyarakat termasuk pada menteri.
"Ini membuktikan bahwa sistem e-budgetting itu adalah implementasi dari UU 23 tahun 2014 tersebut. Permasalahannya e budgetting itu termasuk salah satu dari 11 aturan yang dilanggar padahal tidak," katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan seharusnya dilakukan pembagian persoalan oleh eksekutif dan legislatif tentang hak angket, pembahasan APBD dan pelanggaran hukum di dalamnya sehingga akan dihasilkan titik temu di antara keduanya.
Terkait hak anggaran yang dimiliki oleh DPRD, Yenni mengatakan dewan hanya memiliki fungsi melakukan pembahasan dan menyetujui usulan APBD oleh eksekutif. "Lebih dari itu seperti penyusunan adalah ranahnya eksekutif. Jika setelah dikembalikan oleh Kemendagri itu langsung dibahas tidak akan ada polemik seperti sekarang. Bukannya mengirimkan APBD tandingan," katanya.
"Harus dihentikan segera dan panitianya dibubarkan karena hanya akan memperkeruh suasana suasana penetapan APBD DKI 2015," kata Sekretaris Jendral Fitra Yenni Sucipto di Jakarta, Selasa.
Ia menjelaskan proses perencanaan penganggaran harus meliputi lima dimensi yaitu politis, teknokratis, touch down, bottom up dan partisitatif, namun pihak Fitra menilai hanya dimensi politisnya yang kuat sehingga memunculkan hak angket dan mengarah ke ranah penegakkan hukum.
Yenni mengatakan penetapan hak dan panitia angket tersebut tidak ada motif untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, hal tersebut terlihat dari tuduhan DPRD bahwa ada 11 aturan yang dilanggar Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama padahal sebenarnya adalah masalah administrasi.
"Dan Kemendagri mengembalikan karena ada dugaan beberapa poin yang tidak transparan seperti bentuknya yang tidak dirinci. Kita mengharapkan angket ini dihentikan karena akan memperlebar konflik antara eksekutif dan legislatif dan menyandera APBD itu sendiri," kata Yeni.
Ia juga mengatakan dalam 11 aturan yang dijadikan landasan DPRD dalam menjalankan hak angket yang berarti menunjukkan ketidak percayaan legislatif pada eksekutif tersebut, ada hal yang kurang tepat yaitu e-budgetting yang tidak berpayung hukum menurut dewan.
"Ini salah juga kalau dibilang tidak ada payung hukumnya karena ada di UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah di Pasal 391 mengenai informasi pemerintahan daerah," katanya.
Dalam Pasal 391 ayat (1) Pemerintah Daerah wajib menyediakan informasi Pemerintahan Daerah yang terdiri atas: a. informasi pembangunan Daerah; dan b. informasi keuangan Daerah. (2) Informasi Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola dalam suatu sistem informasi Pemerintahan Daerah.
Sedangkan dalam Pasal 394 menyebutkan kewajiban diumumkannya semua informasi tersebut pada masyarakat termasuk pada menteri.
"Ini membuktikan bahwa sistem e-budgetting itu adalah implementasi dari UU 23 tahun 2014 tersebut. Permasalahannya e budgetting itu termasuk salah satu dari 11 aturan yang dilanggar padahal tidak," katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan seharusnya dilakukan pembagian persoalan oleh eksekutif dan legislatif tentang hak angket, pembahasan APBD dan pelanggaran hukum di dalamnya sehingga akan dihasilkan titik temu di antara keduanya.
Terkait hak anggaran yang dimiliki oleh DPRD, Yenni mengatakan dewan hanya memiliki fungsi melakukan pembahasan dan menyetujui usulan APBD oleh eksekutif. "Lebih dari itu seperti penyusunan adalah ranahnya eksekutif. Jika setelah dikembalikan oleh Kemendagri itu langsung dibahas tidak akan ada polemik seperti sekarang. Bukannya mengirimkan APBD tandingan," katanya.
Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015
Tags: