Jakarta (ANTARA News) - Mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, dikabarkan wafat. Walau belum ada keterangan resmi tentang kondisi terakhir dia, namun ungkapan rasa belasungkawa mulai dikirimkan melalui media sosial, termasuk Twitter.

Lee sendiri pernah menuliskan eulogi untuk istri tercintanya, Kwa Geok Choo, yang meninggal pada Oktober 2010 lalu.

Berikut sanjungan Lee bagi istri tercintanya, saat Lee menghadiri pemakaman sang istri di upacara pemakaman di Krematorium Mandai, Singapura.

Kwa Geok Choo 1920-2010

Masyarakat kuno mengembangkan dan meritualkan praktik berkabung untuk mengekspresikan kesedihan dari keluarga dan teman-teman, dan bersama-sama menunjukkan ketidak takutan atau kebencian terhadap kematian, tapi menghormati dia yang telah meninggal, dan memberikan rasa nyaman bagi yang ditinggalkan dan yang akan merindukan almarhum.

Saya teringat ritual berkabung saat nenek dari ibu saya meninggal 75 tahun lalu. Selama lima malam keluarga berkumpul menyanyikan pemujaan dan meratapi rasa duka-cita atas kepergiannya, dipimpin oleh perintih profesional berpengalaman.

Ritual seperti itu sudah tak ada lagi. Kesedihan keluarga saya diekspresikan dalam tribut personal bagi ibu pemimpin di keluarga kami.

Pada Oktober 2003 saat dia mengalami serangan stroke pertamanya, kami memiliki isyarat kematian yang kuat.

Istri saya dan saya telah bersama sejak 1947, lebih dari sepertiga usia kami. Kesedihan saya atas kepergiannya tak dapat diekspresikan dengan kata-kata. Namun hari ini, saat menghitung hidup kami bersama, saya ingin merayakan kehidupannya.

Sebagai pemuda dengan pendidikan yang terganggu di Raffles College dan tak punya pekerjaan tetap, orangtua istri saya tak pernah menganggap saya sebagai menantu idaman. Tapi dia punya kepercayaan pada diri saya.

Kami telah berkomitmen satu sama lain. Saya memutuskan pergi ke Inggris pada September 1946 untuk belajar hukum, meninggalkan istri saya untuk kembali kuliah di Raffles College untuk mencoba memenangi Beasiswa Ratu yang diberikan setiap tahun.

Kami tahu hanya satu orang Singapura yang akan mendapat beasiswa. Saya punya sumber daya dan sudah berlayar ke Inggris, sambil berharap istri saya akan bergabung bersama saya begitu saya mendapat beasiswa. Jika dia tak menangi itu, dia akan menunggu saya selama tiga tahun. Pada Juni tahun berikutnya, 1947, dia mendapat beasiswa.