Jakarta (ANTARA News) - PT Angkasa Pura (AP) I secara tegas menyatakan penolakannya terhadap upaya konversi utang PT Garuda Indonesia (Garuda) kepada perusahaan pengelola bandara ini senilai Rp120 miliar menjadi saham. "Kami juga menolak dan sedang mengusulkan ke pemegang saham skenario lain, misalnya penundaan hingga beberapa tahun," kata Dirut PT AP I, Bambang Darwoto, saat dihubungi di Jakarta, Jumat pagi. Penegasan tersebut terkait pernyataan Direktur Utama Garuda, Emirsyah Satar, sebelumnya tentang kesepakatan konversi saham atas utang 33 juta dolar AS dalam bentuk "Mandatory Convertible Bond" (MCB) ke PT AP I dan II. PT AP I mendapatkan saham di Garuda sebesar 1,47 persen dan PT AP II sebesar 2,47 persen, terhitung sejak jatuh tempo pada awal Nopember 2006. Bambang menjelaskan jika piutang Garuda di PT Bank Mandiri Tbk bisa ditunda eksekusi konversinya hingga dua tahun ke depan, maka semestinya hal itu juga untuk utang Garuda di PT AP I. "Kalau Mandiri bisa, mengapa dengan AP I tidak?" katanya. Untuk itu, pihaknya mengharapkan pengertian pemegang saham agar mempertimbangkan situasi yang dihadapi oleh BUMN pengelola 13 bandara komersial di Indonesia bagian timur itu. Menurut dia, saat ini pihaknya sedang berhadapan dengan pemenuhan ekuitas untuk kepentingan perbaikan dan pembangunan bandara baru yang juga mendesak. "Tahun ini kami perlu Rp700 miliar yang sebagian besar untuk Bandara Hasanuddin Makassar dan tahun depan butuh uang untuk proyek Bandara Lombok Tengah. Obligasi Rp400 miliar siap kami tawarkan tahun depan," katanya. Apalagi, tegasnya, untuk pembangunan Bandara Lombok Tengah pada tahap awal, pemerintah sudah memutuskan 100 persen tanggung jawab PT AP I. "Kalau swasta mau masuk, mungkin setelah bandaranya jadi dan beroperasi," katanya. PT AP I pada tahun ini menargetkan pendapatan sebesar Rp1,5 triliun dan keuntungan sekitar Rp500 miliar, sedangkan Garuda diperkirakan masih merugi sekitar Rp400 miliar dari pendapatan di atas Rp10 triliun. Sisa total kewajiban Garuda kepada pihak ketiga sampai saat ini masih 794 juta dolar AS. Dari jumlah ini didominasi oleh kreditur ECA (European Credit Agency) yakni sebesar 510 juta dolar AS. Yang lain sebesar 130 juta dolar AS ke pemegang surat utang (promissory notes) dan sisanya ke Bank Mandiri, PT AP I dan II. Pendapatan Garuda pada 2005 Rp11,4 triliun dengan kerugian Rp688 miliar atau lebih rendah dari tahun sebelumnya 2004 rugi sebesar Rp811 miliar. Ekuitasnya pada 2005 Rp483 miliar, padahal sebelumnya pernah mencapai Rp1,2 triliun. Garuda hingga saat ini mengoperasikan 57 pesawat berbagai tipe dan memiliki 30 rute domestik dan 20 rute internasional. Emirsyah terakhir mengemukakan akan bertemu dengan para kreditur, khususnya ECA, pada awal Desember ini untuk membicarakan restrukturisasi utang lanjutan, setelah beberapa kali direncanakan gagal. Menneg BUMN Sugiharto mengharapkan agar dalam restrukturisasi utang lanjutan itu secara umum tercipta pola utang yang berkelanjutan (sustainable debt). (*)