Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 7,5 persen sepanjang 2015 karena jika diturunkan dapat memperparah depresiasi rupiah dan menekan defisit neraca transaksi berjalan.

Ekonom The Development Bank of Singapore (DBS) Research Group Gundy Cahyadi dalam diskusi "Peluang dan Tantangan Pasar 2015" di Jakarta, Rabu, menilai BI telah dan akan terus mengantisipasi potensi keberlanjutan pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS.

"Di balik pernyataan BI mengenai pelemahan rupiah akhir-akhir ini yang selalu dibilang sesuai fundamental ekonomilah, dan lainnya, BI sudah memperkirakan, dan juga menyiapkan untuk tidak membiarkan rupiah terus melemah," kata dia.

Gundy menuturkan pelemahan rupiah juga terbukti tidak efektif untuk menopang ekspor sebagai penyumbang pertumbuhan ekonomi, karena kinerja ekspor terus lesu dan miskin stimulus.

BI juga dinilai perlu mempertahankan tingkat suku bunganya untuk mengarahkan stabilitas di pasar finansial, ketika pemerintah terus ekspansif membelanjakan anggaran.

Menurut dia, secara historis, BI juga akan mempelajari efek penghentian stimulus dari Amerika Serikat di medio 2013, ditambah dengan membengkaknya defisit transaksi berjalan saat itu, yang menyebabkan derasnya aliran dana keluar.

"Saat ini defisit transaksi berjalan kita masih di tiga persen, tapi juga tidak menutup kemungkinan dapat seperti di 2013 hingga empat persen," kata dia.

Potensi kembali memburukan defisit neraca transaksi berjalan, karena defisit tersebut, ujar Gundy, dibiayai oleh dana jangka pendek atau investasi portfolio.

"Kita memerlukan investasi asing langsung yang lebih banyak. Itu akan datang jika Standard & Poors kembali menaikkan rating investasi Indoensia," kata dia.

Dari sisi eksternal, Gundy menjelaskan BI dan pelaku pasar juga memproyeksikan bahwa kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS The Federal Reserve paling cepat dilakukan di akhir 2015, dengan besaran diperkirakan 25 basis poin.

"Meskipun ekspetasi terhadap ekonomi Amerika tinggi, namun impor barang modal di sana stagnan padahal investasi naik. Begitu juga penyerapan tenaga kerja sesungguhnya masih rendah bila dibandingkan enam tahun lalu," ujar dia.