"Bukan kewajiban PT Angkasa Pura II untuk melakukan itu. Semua pengelolaan uang negara yang dikelola para direksi BUMN harus mengikuti aturan hukum," katanya, di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, betapa mudah manajemen PT Angkasa Pura II memberikan talangan dana kepada Lion Air itu melanggar Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77/2011," kata dia.
Alfauzi meminta direksi PT Angkasa Pura II memberi penjelasan proses pemberian talangan dana itu.
"Kalo tidak cocok dengan aturan hukum, maka itu dapat menjadi pertimbangan menteri perhubungan untuk memecat direksi PT Angkasa Pura II," ujarnya. Pemanggilan itu pasti terjadi setelah masa reses DPR.
Berlainan dengan musibah AirAsia QZ8501, kali ini Menteri Perhubungan, Ignatius Jonan, tidak memberi reaksi sekeras waktu itu.
Pada fenomena keterlambatan massal Lion Air yang dimiliki Rusdi Kirana --anggota Dewan Pertimbangan Presiden-- maka Jumat kemarin, Jonan, berujar, "Ya, kami hentikan sementara," tentang penghentian izin rute-rute baru Lion Air.
Lebih lanjut, Alfauzi mempertanyakan, maskapai penerbangan sekelas Lion Air masih mengandalkan uang talangan negara.
"Padahal itu cuma untuk ganti rugi penumpang yang hanya Rp4 miliar. Masa' Lion Air tidak bisa keluarkan uang Rp4 miliar. Ini pertanyaan besar. Bagaimana dengan kebutuhan dana perusahaan terkait manajemen, perawatan armada pesawat, bagaimana dengan gaji teknisi, dan bagaimana SOP?," kata Alfauzi.
"Ini sungguh pertanyaan besar. "Ini menyangkut uang negara," kata dia.
Eskpansi bisnis mereka sangat luar biasa, memesan pasti lebih dari 508 unit pesawat terbang (gabungan Boeing, Airbus, dan ATR), dengan nilai pembelian lebih dari 52,7 miliar dolar Amerika Serikat.
Hingga 2014 lalu, Lion Air secara gigantis dan mencengangkan dunia penerbangan global setelah memesan pasti Airbus A320-200 (64 unit), Airbus A320neo (109 unit), Airbus A321neo (65 unit), Airbus A330-300 (tiga unit), Boeing B-737-800 (17 unit), Boeing B-737-900ER (49 unit), dan Boeing B-737 MAX 9 (201 unit).
Angka itu masih ditambah komitmen pemesanan lima unit Boeing B-787 Dreamliner dan puluhan ATR-72 series.
Dalam dunia penerbangan, lazim dikalkulasi satu unit pesawat terbang memerlukan antara enam hingga delapan set SDM pengawak (satu set terdiri dari kapten pilot-kopilot, seorang petugas keselamatan penerbangan, lima awak kabin alias pramugari/pramugara untuk kelas Boeing B-737 series atau Airbus A-320 series).
Keperluan SDM maskapai penerbangan itu masih harus ditunjang ketersediaan SDM teknisi sesuai aspek dan rating pesawat terbang bersangkutan. Belum lagi manajemen operasional, logistik, pemasaran, dan sebagainya.
SDM teknisi ini memerlukan masa pendidikan dan pembentukan hingga sertifikasinya jauh lebih panjang ketimbang mencetak pilot penyandang brevet PPL (pesawat pribadi mesin tunggal) di sekolah-sekolah penerbangan, yang paling lama 36 bulan.