Jakarta (ANTARA News) - Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang yang digelar di Jakarta, Rabu, membatalkan sepenuhnya pemberlakuan Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) karena bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam putusan yang dibacakan oleh Ketua MK, Arief Hidayat, UU SDA tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air.

MK berpendapat sumber daya air adalah bagian dari hak asasi, memainkan andil sangat penting bagi kemajuan kehidupan manusia, dan merupakan faktor kunci bagi manusia untuk dapat hidup secara layak.

"Persyaratan konstitusionalitas UU SDA tersebut adalah bahwa UU SDA dalam pelaksanaannya harus menjamin terwujudnya amanat konstitusi tentang hak penguasaan negara atas air," kata Wakil Ketua MK, Anwar Usman, seperti dikutip dari laman resmi Mahkamah Konstitusi.

Dengan putusan ini, konsep hak dalam Hak Guna Air harus dibedakan dengan konsep hak dalam pengertian umum, dan yang lebih penting lagi adalah ia tidak boleh menjadi objek harga secara ekonomi (konsep res commune).

"Selain itu, Konsep Hak Guna Pakai Air dalam UU SDA harus ditafsirkan sebagai turunan dari hak hidup yang dijamin oleh UUD 1945," dikutip dari keterangan tertulis MK.

"Oleh karenanya, pemanfaatan air di luar Hak Guna Pakai Air, dalam hal ini Hak Guna Usaha Air, haruslah melalui permohonan izin kepada Pemerintah, yang penerbitannya harus berdasarkan pada pola yang disusun dengan melibatkan peran serta masyarakat yang seluas-luasnya," tambahnya.

Dengan kata lain, "Hak Guna Usaha Air tidak boleh dimaksudkan sebagai pemberian hak penguasaan atas sumber air, sungai, danau, atau rawa."

Hakim Konstitusi Aswanto menegaskan, "Swasta tidak boleh melakukan penguasaan atas sumber air atau sumber daya air, tetapi hanya dapat melakukan pengusahaan dalam jumlah atau alokasi tertentu saja sesuai dengan alokasi yang ditentukan dalam izin yang diberikan oleh negara secara ketat."

Di sisi yang lain, putusan MK ini menegaskan kembali bahwa penerima manfaat sumber daya air, terutama petani, "pengguna air untuk keperluan pertanian rakyat dibebaskan dari kewajiban membiayai jasa pengelolaan sumber daya air," tambah Aswanto.

UU SDA telah memiliki enam Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan dari hukum tata kelola SDA.

Gugatan terhadap UU SDA diajukan oleh PP Muhammadiyah, Perkumpulan Vanaprastha, dan beberapa pemohon perseorangan. Dalam permohonannya, para pemohon menunjukkan adanya penyelewengan norma yang mendorong praktik-praktik privatisasi dan komersialisasi air yang merugikan rakyat.

Sejak terbitnya PP No.16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (PP SPAM), pemohon melihat semakin kuatnya peran swasta dalam tata kelola air, padahal dalam UU SDA ditegaskan bahwa pengembangan SPAM harus dilakukan oleh pemerintah (baik pusat maupun daerah), sehingga penyelenggaranya haruslah BUMN atau BUMD, bukan perusahaan swasta. (Simak pengembangan SPAM DKI Jakarta di sini)