Jakarta (ANTARA News) - Pakar hukum tata negara Universitas Indonesia (UI) Refly Harun menilai keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak melantik Komisaris Jenderal Budi Gunawan menjadi Kepala Negara Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) adalah pilihan terbaik meredakan gejolak di masyarakat.

"Saya pribadi menilai tidak melantik Budi Gunawan adalah pilihan terbaik," ujarnya kepada ANTARA News melalui sambungan telepon dari Jakarta, Rabu.

Refly mengatakan, jika presiden tetap melantik Budi Gunawan, maka berisiko akan timbul penolakan dari masyarakat yang menganggap kasusnya belum selesai.

"Kita semua tahu, persoalan itu memunculkan reaksi keras dari masyarakat," katanya.

Ia mengemukakan putusan praperadilan tidak menghilangkan esensi masalah karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa saja menetapkan Budi Gunawan menjadi tersangka kembali di kemudian hari.

"Persoalan itu tidak selesai dengan praperadilan, KPK bisa menjadikan Budi Gunawan sebagai tersangka lagi," kata Refly.

Namun, ia mengingatkan bahwa penunjukkan Komisaris Jenderal Badrodin Haiti sebagai calon tunggal yang diajukan Presiden Jokowi ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum selesai karena prosesnya masih akan berjalan.

Selain itu, menurut dia, Presiden Jokowi juga mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) pemberhentian sementara dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri. (baca: Pidato lengkap Presiden Jokowi terkait masalah KPK-Polri)

Presiden Jokowi dalam keterangan pers hari ini menyatakan mengeluarkan Keppres pengangkatan tiga orang anggota sementara pimpinan KPK, yaitu Taufiqurrahman Ruki, Indriyanto Senoadji, dan Johan Budi.

Jika nantinya resmi dilantik, Refly menambahkan, maka Badrodin Haiti berpeluang memulihkan hubungan antar-lembaga hukum yang belakangan ini berseteru, yakni KPK dan Polri.