Jakarta (ANTARA News) - Mantan Ketua Kamar Pidana Khusus Mahkamah Agung (MA) Djoko Sarwoko menyatakan bahwa putusan yang ditetapkan oleh hakim tunggal Sarpin Rizaldi dalam perkara Komjen Pol Budi Gunawan sudah meyimpang dari aturan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

"Putusan itu sebenarnya menyimpang dari KUHAP karena pasal 77 sudah mengatur secara jelas objek praperadilan. Kemudian di hukum acaranya diatur di pasal 80 dan 83. Jadi kalau putusan keliru seperti itu secara hukum tidak bisa dilaksanakan," kata Djoko Sarwoko saat dihubungi di Jakarta, Senin.

Hari ini di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, hakim tunggal Sarpin Rizaldi menyatakan bahwa surat perintah penyidikan nomor 03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 yang menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka tidak sah dan tidak berdasar atas hukum karenanya penetapan perkara tak punya kekuatan hukum mengikat.

Djoko mengusulkan agar KPK mengajukan upaya hukum lanjutan ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial terkait perkara tersebut.

"KPK bisa mengajukan kasasi untuk mengajukan pembatalan terhadap putusan itu. Ajukan permohonan ke MA dengan melampirkan putusan praperadilan," ungkap Djoko.

Djoko menilai bahwa KPK seharusnya tidak menghiraukan putusan praperadilan tersebut.

"Kan sudah ada kasus Chevron. Itu kan setelah hakimnya diperiksa dan dikenakan sanksi. Sanksinya dipindah ke Ambon kemudian Kejaksaan tetap melanjutkan penyidikan tanpa harus meminta pembatalan putusan praperadilan," tambah Djoko.

Dia juga mengatakan KPK juga dapat melapor ke Komisi Yudisial.

"Bisa lapor ke KY. Tapi KY tidak bisa mengubah putusan. Tapi mereka bisa merekomendasikan agar hakim tersebut dijatuhi sanksi jika ditemukan pelanggaran kode etik," jelas Djoko.

Djoko pun menyebutkan sejumlah kejanggalan pertimbangan yang disampaikan Sarpin di pengadilan.

"Tentang sprindik tidak sah itu tidak masuk lingkup praperadilan. Itu kan harus diputuskan dalam pokok perkara," tambah Djoko.

Selanjutnya juga mengenai pertimbangan bahwa Budi Gunawan bukan penyelenggara negara atau penegak hukum karena penetapannya sebagai tersangka saat menjadi kepala biro pengembangan karir Deputi Sumber Daya Manusia Polri pada 2003-2006. Jabatan Karo Binkar dinilai merupakan jabatan administrasi atau pelaksana staf yang berada di bawah deputi Kapolri yaitu setingkat pejabat eselon II dan bukan penegak hukum.

"Itu materi dalam perkara pidana. Pertanyaanya kalau BG bukan penegak hukum lantas polisi itu sebagai apa? Ingat menurut UU kepolisian negara polisi itu penegak hukum. Jadi banyak kejanggalan dann penyimpangan di situ," tegas Djoko.

Kejanggalan lain adalah tidak ada kerugian negara dalam perkara tersebut.

"Dia lupa dalam KUHAP ada 10 atau 20 pasal yang kaitannya dgn gratifikasi janji-janji dan sebagainya. Itu masuk menjadi suap dan gratifikasi. Memang tidak merugikan keuangan negara dalam rangka menegakkan UU No 28 tahun 2009 yaitu membentuk negara yang bebas dari KKN. Mana bisa seperti itu hakim itu kan memutuskan berdasarkan pemeriksaan dan fakta hukum mengenai penetapan yang akan datang kan belum tau. Kok bisa menetapkan seperti itu itu pelanggaran besar," jelas Djoko.

Djoko menyarankan agar KPK tetap melanjutkan penyidikan Budi Gunawan.

"Ya harus melanjutkan (penyidikan) tapi bagaimana kemudian BG jadi dilantik (sebagai Kapolri) dan komisioner KPK kemudian dijadikan tersangka semua? Siapa yang akan menjalankan penyidikan?" ungkap Djoko.