Mendagri: sengketa pilkada lebih baik ditangani MA
12 Februari 2015 13:47 WIB
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo saat memberi keterangan pers seusai mengikuti sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (4/2). (ANTARA FOTO/Ismar Patrizki)
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan penanganan perkara sengketa perolehan suara hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) lebih baik dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).
"Menurut kami memang lebih baik di MA, banyak pertimbangan kenapa tetap di MA. Kalau MA keberatan dengan pertimbangan pengalaman di MK sebelum-sebelumnya ya wajar saja," kata Tjahjo di Gedung Kementerian Dalam Negeri Jakarta, Kamis.
"Tapi, apa pun itu, lembaga penyelesaian sengketa harus ada karena selisih satu suara saja bisa jadi sengketa," tambah dia.
Proses penyelesaian sengketa pilkada, ia menjelaskan, menjadi salah satu poin yang direvisi dalam Undang-Undang No.1/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Tentang keberatan MA menyelesaikan perkara sengketa pilkada, Mendagri mengatakan bahwa kekhawatiran tersebut bisa diatasi bersama.
Juru Bicara MA Suhadi menyatakan MA telah meminta DPR mengembalikan mandat tugas penyelesaian sengketa hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
MA beralasan para hakimnya sudah terbebani dengan perkara reguler, yang dalam satu tahun bisa mencapai 14 ribu perkara, dan khawatir terjadi penumpukan perkara jika hakimnya juga harus menangani sengketa pilkada.
Menteri Dalam Negeri tidak sependapat, menyatakan bahwa MA punya cukup hakim untuk menangani perkara sengketa pilkada.
"Kalau alasannya karena ketidakmampuan hakim, saya rasa tidak, karena hakim di daerah cukup. Kalau alasannya ketakutan akan kerusuhan sehingga mengorbankan kantor pengadilan, juga tidak, karena selama ini hanya tiga atau empat (daerah), jangan sampailah (ada kerusuhan)," katanya.
Ia juga menilai hakim-hakim MA di daerah memiliki kompetensi untuk menangani sengketa pilkada dan menyatakan keengganan mengemban amanat tersebut membuat banyak hakim sengaja tidak ingin lolos uji coba seleksi hakim sengketa pilkada.
"Misalnya tempo hari MA sudah uji coba, ada tes khusus, yang katanya hanya satu orang yang lolos. Itu tidak mungkin, yang lain pasti sengaja tidak meloloskan diri karena takut seperti pengalaman MK dulu," ujarnya.
"Menurut kami memang lebih baik di MA, banyak pertimbangan kenapa tetap di MA. Kalau MA keberatan dengan pertimbangan pengalaman di MK sebelum-sebelumnya ya wajar saja," kata Tjahjo di Gedung Kementerian Dalam Negeri Jakarta, Kamis.
"Tapi, apa pun itu, lembaga penyelesaian sengketa harus ada karena selisih satu suara saja bisa jadi sengketa," tambah dia.
Proses penyelesaian sengketa pilkada, ia menjelaskan, menjadi salah satu poin yang direvisi dalam Undang-Undang No.1/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Tentang keberatan MA menyelesaikan perkara sengketa pilkada, Mendagri mengatakan bahwa kekhawatiran tersebut bisa diatasi bersama.
Juru Bicara MA Suhadi menyatakan MA telah meminta DPR mengembalikan mandat tugas penyelesaian sengketa hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
MA beralasan para hakimnya sudah terbebani dengan perkara reguler, yang dalam satu tahun bisa mencapai 14 ribu perkara, dan khawatir terjadi penumpukan perkara jika hakimnya juga harus menangani sengketa pilkada.
Menteri Dalam Negeri tidak sependapat, menyatakan bahwa MA punya cukup hakim untuk menangani perkara sengketa pilkada.
"Kalau alasannya karena ketidakmampuan hakim, saya rasa tidak, karena hakim di daerah cukup. Kalau alasannya ketakutan akan kerusuhan sehingga mengorbankan kantor pengadilan, juga tidak, karena selama ini hanya tiga atau empat (daerah), jangan sampailah (ada kerusuhan)," katanya.
Ia juga menilai hakim-hakim MA di daerah memiliki kompetensi untuk menangani sengketa pilkada dan menyatakan keengganan mengemban amanat tersebut membuat banyak hakim sengaja tidak ingin lolos uji coba seleksi hakim sengketa pilkada.
"Misalnya tempo hari MA sudah uji coba, ada tes khusus, yang katanya hanya satu orang yang lolos. Itu tidak mungkin, yang lain pasti sengaja tidak meloloskan diri karena takut seperti pengalaman MK dulu," ujarnya.
Pewarta: Fransiska Ninditya
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015
Tags: