Memberdayakan masyarakat Sangihe melalui bambu
4 Februari 2015 20:42 WIB
ilustrasi Parade Jegog Sejumlah pemuda menabuh Jegog atau alat musik bambu khas Bali yang ditabuh secara massal di halaman Gedung Kesenian Dr Ir Soekarno, Jembrana, Bali, Sabtu (4/8). (FOTO ANTARA/Nyoman Budhiana)
Jakarta (ANTARA News) - Agustinus Sasundu memberdayakan masyarakat Kepulauan Sangihe di Sulawesi Utara dengan alat musik dari bambu.
Hal itu mengantarnya menjadi pemenang penghargaan Citra Lestari KEHATI. Sebuah penghargaan yang diberikan kepada individu atau komunitas media komunikasi atau seni yang bergiat dalam upaya mencipta dan mempopulerkan, menanamkan citra, serta membangkitkan keinginan untuk berupaya bagi pelestarian keanekaragaman hayati.
Agustinus Sasundu, yang bukan asli Sangihe, merasa perlu mengembangkan musik bambu karena mampu memberdayakan masyarakat. Melalui bengkel musik bambu, masyarakat sudah bisa terlibat dalam pembuatan alat-alat musiknya.
Cara pembuatan alat musik pun cukup rumit. Proses dimulai dari penebangan, lalu pengeringan dan terakhir pembuatan. Diperlukan waktu sekitar 1 bulan untuk membuat 40 alat musik yang dikerjakan oleh 1 sampai 3 orang. Kemudian, musik-musik bambu tersebut dapat dijual pada kelompok-kelompok musik yang membutuhkan.
Pasar selalu terbuka untuk musik bambu, karena berkat usaha Agustinus dan berbagai kelompok yang lain, permainan musik bambu masih lestari hingga saat ini.
Dari sisi sosial, musik bambu yang terus dipromosikan oleh Agustinus mampu meredam gejolak-gejolak sosial yang terjadi. Bahkan mereka yang berasal dari status sosial dan agama yang berbeda pun dapat bersatu dalam memainkan alat musik ini.
"Mereka bisa rukun dan saling membantu," katanya. Selain itu, dari sisi konservasi, masyarakat menjadi lebih memberikan apresiasi pada bambu. Mereka cenderung akan memanfaatkan bambu tersebut sesuai kebutuhan karena mengetahui bahwa bambu Sangihe dapat menjadi bahan baku alat musik tradisional mereka.
Dalam tradisi masyarakat Sangihe sendiri, musik bambu menjadi ikon yang disajikan. Terlebih lagi pada acara-acara besar. Bahkan, saat ini masing-masing desa memiliki tumpukan musik bambunya sendiri yang kemudian bertanding dengan desa yang lainnya. Salah satunya adalah dalam budaya Masamper. Pada perhelatan ini, grup dari berbagai desa bertanding dalam lagu dan musik. Mereka saling berbalas lirik dan musik. Pemerintah daerah Sangihe sengaja mendorong musik bambu ini sebagai salah satu identitas daerahnya.
Kabupaten kepulauan yang berada di sisi utara Indonesia itu ternyata menyimpan khasanah musik bambu yang unik. Bambu khas daerah itu dibentuk sedemikian rupa menjadi beragam alat musik tiup. Konon khasanah bermusik ini sudah ada sejak nenek moyang orang-orang Sangihe. Alat musik bambu di Sangihe awalnya sangat sederhana. Dia kemudian mengembangkannya hingga menjadi seperti saat ini.
"Dahulu hanya ada satu jenis alat musik bambu yang dimainkan yang disebut Suling," kata Agustius.
Alat musik bambu sampai saat ini sudah mengalami 3 perubahan bentuk. Dari hanya suling saja, lalu berkembang menjadi berbagai jenis alat seperti korno, klarinet, trombon, bambu tengah dan bas. Masing-masing alat musik tiup tersebut memiliki peran sehingga mencul harmonisasi indah ketika digabungkan dalam satu 'tumpukan', sebutan orang Sangihe untuk merujuk pada grup musik bambu. Dalam satu tumpukan terdapat 20 sampai 40 orang.
Hal itu mengantarnya menjadi pemenang penghargaan Citra Lestari KEHATI. Sebuah penghargaan yang diberikan kepada individu atau komunitas media komunikasi atau seni yang bergiat dalam upaya mencipta dan mempopulerkan, menanamkan citra, serta membangkitkan keinginan untuk berupaya bagi pelestarian keanekaragaman hayati.
Agustinus Sasundu, yang bukan asli Sangihe, merasa perlu mengembangkan musik bambu karena mampu memberdayakan masyarakat. Melalui bengkel musik bambu, masyarakat sudah bisa terlibat dalam pembuatan alat-alat musiknya.
Cara pembuatan alat musik pun cukup rumit. Proses dimulai dari penebangan, lalu pengeringan dan terakhir pembuatan. Diperlukan waktu sekitar 1 bulan untuk membuat 40 alat musik yang dikerjakan oleh 1 sampai 3 orang. Kemudian, musik-musik bambu tersebut dapat dijual pada kelompok-kelompok musik yang membutuhkan.
Pasar selalu terbuka untuk musik bambu, karena berkat usaha Agustinus dan berbagai kelompok yang lain, permainan musik bambu masih lestari hingga saat ini.
Dari sisi sosial, musik bambu yang terus dipromosikan oleh Agustinus mampu meredam gejolak-gejolak sosial yang terjadi. Bahkan mereka yang berasal dari status sosial dan agama yang berbeda pun dapat bersatu dalam memainkan alat musik ini.
"Mereka bisa rukun dan saling membantu," katanya. Selain itu, dari sisi konservasi, masyarakat menjadi lebih memberikan apresiasi pada bambu. Mereka cenderung akan memanfaatkan bambu tersebut sesuai kebutuhan karena mengetahui bahwa bambu Sangihe dapat menjadi bahan baku alat musik tradisional mereka.
Dalam tradisi masyarakat Sangihe sendiri, musik bambu menjadi ikon yang disajikan. Terlebih lagi pada acara-acara besar. Bahkan, saat ini masing-masing desa memiliki tumpukan musik bambunya sendiri yang kemudian bertanding dengan desa yang lainnya. Salah satunya adalah dalam budaya Masamper. Pada perhelatan ini, grup dari berbagai desa bertanding dalam lagu dan musik. Mereka saling berbalas lirik dan musik. Pemerintah daerah Sangihe sengaja mendorong musik bambu ini sebagai salah satu identitas daerahnya.
Kabupaten kepulauan yang berada di sisi utara Indonesia itu ternyata menyimpan khasanah musik bambu yang unik. Bambu khas daerah itu dibentuk sedemikian rupa menjadi beragam alat musik tiup. Konon khasanah bermusik ini sudah ada sejak nenek moyang orang-orang Sangihe. Alat musik bambu di Sangihe awalnya sangat sederhana. Dia kemudian mengembangkannya hingga menjadi seperti saat ini.
"Dahulu hanya ada satu jenis alat musik bambu yang dimainkan yang disebut Suling," kata Agustius.
Alat musik bambu sampai saat ini sudah mengalami 3 perubahan bentuk. Dari hanya suling saja, lalu berkembang menjadi berbagai jenis alat seperti korno, klarinet, trombon, bambu tengah dan bas. Masing-masing alat musik tiup tersebut memiliki peran sehingga mencul harmonisasi indah ketika digabungkan dalam satu 'tumpukan', sebutan orang Sangihe untuk merujuk pada grup musik bambu. Dalam satu tumpukan terdapat 20 sampai 40 orang.
Pewarta: Ida Nurcahyani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015
Tags: