KPK kantongi informasi terkait ketidakhadiran saksi BG
29 Januari 2015 15:37 WIB
Konpres Bambang Widjojanto Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto melakukan jumpa pers di kantor KPK, Jakarta Selatan, Senin (26/1). Bambang menyatakan telah menyerahkan surat pengunduran diri pada pimpinan KPK terkait penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri. (ANTARA FOTO/Fanny Octavianus) ()
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengantongi informasi mengenai ketidakhadiran saksi dalam penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait transaksi-transaksi mencurigakan dengan tersangka Kepala Lembaga Pendidikan Polri (Lemdikpol) Komisaris Jenderal Pol Budi Gunawan (BG).
"(Saksi) dari kepolisian itu ada tiga hal yang menarik," kata Wakil Ketua Bambang Widjojanto di gedung Ombudsman Jakarta, Kamis.
Diketahui bahwa KPK sudah memanggil 10 orang saksi, yang sebagian besar adalah anggota aktif Polri dalam kasus ini, namun hanya satu orang yang memenuhi panggilan yaitu Widyaiswara Utama Sekolah Pimpinan Lemdikpol Polri Irjen (Purn) Syahtria Sitepu.
"Pertama, kita akan panggil lagi tapi kemudian akan mencantumkan tembusannya kepada presiden," ungkap Bambang.
Selanjutnya ada informasi yang mengungkapkan bahwa ada perintah untuk melarang saksi datang.
"Kedua, kami sedang mengklarifikasi katanya ada TR (telegram rahasia) yang (menyatakan) Waka (Polri) itu setuju untuk dipanggil, lalu ada TR lain yang menyatakan tidak perlu datang," tambah Bambang.
Sehingga bila informasi dalam telegram rahasia menyatakan bahwa ada perintah untuk melarang saksi datang, maka pemberi perintah itu dapat dikenakan pasal menghalang-halangi penyidikan.
"Kalau betul ada informasi seperti itu, berarti memang pelanggaran sebagaimana unsur-unsur pasal 21, 22, 23 UU Tindak Pidana Korupsi yaitu hal-hal yang menghalangi proses penyidikan, tapi sekali lagi kami sedang mengkalrifikasi hal itu," jelas Bambang.
Pasal 21 UU No 39 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara Langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi dapat dipidana dengan pidana penjara 3-12 tahun dan atau denda minimal Rp 150-600 juta.
Pasal 22 menjelaskan bagaimana orang yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dapat dipidana dengan pidana penjara 3-12 tahun dan atau denda minimal Rp 150-600 juta.
"Ketiga, kami juga ingin memastikan apa yang sedang dilakukan itu menyangkut soal BG (Budi Gunawan) yang menggunakan kewenangannya untuk kepentingannya sendiri."
"Tidak ada kaitannya dengan institusi atau orang-orang yang lain karena ada distorsi informasi seolah-olah yang mau dijadikan tersangka itu begitu banyak orang di kepolisian, tidak seperti itu, KPK tidak seperti itu," jelas Bambang.
Menurut Bambang, KPK menentukan seseorang sebagai tersangka dengan spesifik.
"Bisa dilihat dalam kasus korlantas, kita orangnya itu spesifik sekali, tertentu. Kita tidak menggunakan kasus ini untuk semua orang yang diduga memberi, tidak seperti itu."
"Nah ini juga harus clear karena ada distorsi-distorsi informasi yang menurut saya tidak benar," tambah Bambang.
Dalam perkara ini, KPK sudah mencegah empat orang pergi keluar negeri, mereka adalah Budi Gunawan; anaknya, Muhammad Herviano Widyatama; asisten Budi yaitu anggota Polri Iie Tiara serta Irjen Purn Syahtria Sitepu sejak 14 Januari 2015.
Syahtria diduga pernah 13 kali mentransfer total senilai Rp1,5 miliar ketika menjabat Direktur Lalu Lintas Polda Sumatera Utara pada Agustus 2004-Maret 2006.
Budi Gunawan diduga terlibat dalam transaksi-transaksi mencurigakan sejak menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumber Daya Manusia di Mabes Polri 2003-2006 dan jabatan lainnya di Mabes Polri.
KPK menyangkakan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan berdasarkan pasal 12 huruf a atau b pasal 5 ayat 2 pasal 11 atau pasal 12 B UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan terkait jabatannya.
Bila terbukti melanggar pasal tersebut dapat dipidana penjara seumur hidup atau penjara 4-20 tahun kurungan ditambah denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.
"(Saksi) dari kepolisian itu ada tiga hal yang menarik," kata Wakil Ketua Bambang Widjojanto di gedung Ombudsman Jakarta, Kamis.
Diketahui bahwa KPK sudah memanggil 10 orang saksi, yang sebagian besar adalah anggota aktif Polri dalam kasus ini, namun hanya satu orang yang memenuhi panggilan yaitu Widyaiswara Utama Sekolah Pimpinan Lemdikpol Polri Irjen (Purn) Syahtria Sitepu.
"Pertama, kita akan panggil lagi tapi kemudian akan mencantumkan tembusannya kepada presiden," ungkap Bambang.
Selanjutnya ada informasi yang mengungkapkan bahwa ada perintah untuk melarang saksi datang.
"Kedua, kami sedang mengklarifikasi katanya ada TR (telegram rahasia) yang (menyatakan) Waka (Polri) itu setuju untuk dipanggil, lalu ada TR lain yang menyatakan tidak perlu datang," tambah Bambang.
Sehingga bila informasi dalam telegram rahasia menyatakan bahwa ada perintah untuk melarang saksi datang, maka pemberi perintah itu dapat dikenakan pasal menghalang-halangi penyidikan.
"Kalau betul ada informasi seperti itu, berarti memang pelanggaran sebagaimana unsur-unsur pasal 21, 22, 23 UU Tindak Pidana Korupsi yaitu hal-hal yang menghalangi proses penyidikan, tapi sekali lagi kami sedang mengkalrifikasi hal itu," jelas Bambang.
Pasal 21 UU No 39 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara Langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi dapat dipidana dengan pidana penjara 3-12 tahun dan atau denda minimal Rp 150-600 juta.
Pasal 22 menjelaskan bagaimana orang yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dapat dipidana dengan pidana penjara 3-12 tahun dan atau denda minimal Rp 150-600 juta.
"Ketiga, kami juga ingin memastikan apa yang sedang dilakukan itu menyangkut soal BG (Budi Gunawan) yang menggunakan kewenangannya untuk kepentingannya sendiri."
"Tidak ada kaitannya dengan institusi atau orang-orang yang lain karena ada distorsi informasi seolah-olah yang mau dijadikan tersangka itu begitu banyak orang di kepolisian, tidak seperti itu, KPK tidak seperti itu," jelas Bambang.
Menurut Bambang, KPK menentukan seseorang sebagai tersangka dengan spesifik.
"Bisa dilihat dalam kasus korlantas, kita orangnya itu spesifik sekali, tertentu. Kita tidak menggunakan kasus ini untuk semua orang yang diduga memberi, tidak seperti itu."
"Nah ini juga harus clear karena ada distorsi-distorsi informasi yang menurut saya tidak benar," tambah Bambang.
Dalam perkara ini, KPK sudah mencegah empat orang pergi keluar negeri, mereka adalah Budi Gunawan; anaknya, Muhammad Herviano Widyatama; asisten Budi yaitu anggota Polri Iie Tiara serta Irjen Purn Syahtria Sitepu sejak 14 Januari 2015.
Syahtria diduga pernah 13 kali mentransfer total senilai Rp1,5 miliar ketika menjabat Direktur Lalu Lintas Polda Sumatera Utara pada Agustus 2004-Maret 2006.
Budi Gunawan diduga terlibat dalam transaksi-transaksi mencurigakan sejak menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumber Daya Manusia di Mabes Polri 2003-2006 dan jabatan lainnya di Mabes Polri.
KPK menyangkakan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan berdasarkan pasal 12 huruf a atau b pasal 5 ayat 2 pasal 11 atau pasal 12 B UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan terkait jabatannya.
Bila terbukti melanggar pasal tersebut dapat dipidana penjara seumur hidup atau penjara 4-20 tahun kurungan ditambah denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2015
Tags: