Jakarta (ANTARA News) - Direktorat Jenderal dalam konferensi pers di Jakarta menjelaskan bahwa Paksa Badan (Gijzeling) bukan hukuman penajara, namun lebih pada tindakan penitipan di rumah tahanan (Rutan).

"Gijzeling banyak yang salah pengertian, dipahami sebagai di penjara. Sebenarnya tidak, hanya dititipkan di Rutan hingga melunasi tunggakan pajaknya," kata Direktur Transformasi Proses Bisnis Ditjen Pajak Wahju K. Tumakaka di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, Gijzeling merupakan upaya terakhir dalam memberikan sanksi pada para Wajib Pajak (WP) dan dilakukan sesuai ketentuan UU No 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP).

Gijzeling akan diberikan pada Wajib Pajak yang memiliku hutang pajak sebesar Rp100 juta atau lebih dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi kewajibannya tersebut.

"Jangka waktu Gijzeling paling lama enam bulan, tapi bisa diperpanjang lagi enam bulan jika penanggung pajak ini tidak mau melunasi hutangnya," kata Wahju menjelaskan.

Khusus untuk Wajib Pajak Badan, ialah Penanggung Pajak yang memiliki wewenang dalam menentukan atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan, baik tercantum dalam Akte Pendirian maupun Akte Perubahan.

Dalam rangka Gijzeling tersebut Ditjen Pajak juga bekerjasama dengan Kepolisian Republik Indonesia dan Kementerian Hukum dan HAM untuk memastikan hukuman tersebut dapat berjalan dengan efektif.

Wahju mengatakan, secara prinsip Ditjen Pajak menerapkan penagihan pajak dengan memperhatikan itikad baik Wajib Pajak dalam melunasi hutangnya.

"Semakin baik dan nyata itikadnya untuk melunasi hutangnya, maka tindakan penagihan secara aktif (hard collection) berupa pencegahan atau pun Gijzeling, ya tentu bisa dihindari," ujar Wahju.

Berdasarkan keterangan yang diberikan, hingga saat ini Ditjen Pajak sedang meneliti 56 Wajib Pajak untuk dilakukan tindakan Gijzeling.

Sedangkan yang dalam proses penindakan Gijzeling terdapat sembilan Wajib Pajak, baik dari WP Pribadi dan WP Badan dengan total tanggungan pajak mencapai Rp15,6 miliar.