100 hari jadi menteri, Susi Pudjiastuti mencari titik temu
28 Januari 2015 13:20 WIB
Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi Pudjiastuti (tengah) meninjau kapal penangkap ikan ilegal KM Fak-Fak Jaya Karya di Markas Komando Lantamal IX Ambon, Maluku, Kamis (11/12). Kapal dengan 15 ABK tanpa dilengkapi dokumen buku pelaut, sertifikat kelaikan dan pengawakan kapal itu ditangkap KRI Makassar-590 dengan muatan 1,2 ton ikan hiu dan 200 ton ikan campuran. (ANTARA FOTO/Izaac Mulyawan)
Jakarta (ANTARA News) - Salah satu kalimat Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Susi Pudjiastuti dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI, Senin (26/1) adalah mengingatkan pernyataan Presiden Jokowi tentang, "Kita telah lama memunggungi laut".
Dalam rapat kerja yang berlangsung hingga sekitar 12 jam itu, Susi memang banyak ditanyakan terkait dengan kritik yang disampaikan oleh sejumlah asosiasi perikanan sehubungan dengan berbagai kebijakan terobosan yang telah diberlakukannya selama ini.
Lima hari sebelumnya, Komisi IV DPR RI juga telah menggelar rapat dengar pendapat umum dengan sejumlah asosiasi perikanan dan nelayan yang mengaku syok dengan beragam peraturan menteri yang dikeluarkan Susi.
"Kami saat ini sedang syok dengan kebijakan Ibu Menteri Susi," kata Ketua Umum Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Yussuf Solichien dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI di Jakarta, Rabu (21/1).
Menurut Yussuf, pihaknya pada awalnya sangat bangga memiliki Menteri Kelautan dan Perikanan yang membuat gebrakan tentang "illegal fishing" (pencurian ikan).
Namun, lanjutnya, kebanggaan itu berbalik dengan sejumlah kebijakan yang mulai dikeluarkan sejak Susi Pudjiastuti menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan dalam jajaran Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo.
Berbagai kebijakan Menteri Susi yang dikritik oleh para asosiasi perikanan adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 56/2014, No 57/2014, No 58/2014, No 1/2015, dan No 2/2015.
Yussuf menegaskan, pihaknya dan juga berbagai asosiasi perikanan lainnya tidak pernah diajak berbicara dalam pembuatannya atau disosialisasikan drafnya tetapi secara tiba-tiba langsung diberlakukan di lapangan.
"Mengelola negara tidak sama dengan mengelola perusahaan. Mengelola negara tidak sama dengan mengelola warung kopi," sindir Ketum HNSI.
Padahal, ia mengingatkan bahwa di dalam negara yang demokratis seharusnya semua kebijakan harus diserap aspirasinya dan jangan tiba-tiba diberlakukan secara "sudden death" (tiba-tiba).
Ketum HNSI mencontohkan, kebijakan larangan "transshipment" (alih muatan di tengah laut") perlu untuk ditinjau ulang, karena menurunkan mutu komoditas perikanan yang ditangkap.
"Transshipment setuju dilarang untuk muatan ikan yang dibawa ke luar negeri untuk dicuri, tetapi untuk yang nelayan lokal jangan," kata Yussuf Solichien.
Menurut Yussuf, nelayan seperti di berbagai daerah di wilayah Indonesia bagian timur masih ada sejumlah lokasi yang belum ada tempat pendaratan ikan yang memadai.
Dengan demikian, lanjutnya, berapapun nelayan menangkap ikan tidak akan bisa menjual atau terserap seluruh hasil tangkapannya, padahal banyak pelaku usaha yang menggunakan pola kemitraan "bapak-anak asuh" yang membutuhkan alih muatan dari satu kapal ke kapal lainnya.
"Jadi mohon dipertimbangkan, mana transshipment yang boleh dan mana yang tidak boleh," ucapnya.
Ia menegaskan bila alih muatan dilarang untuk hasil pencurian ikan ke luar negeri memang harus tidak diperbolehkan, tetapi jangan untuk nelayan lokal yang memang disalurkan untuk pasar dalam negeri.
Yussuf juga mengingatkan bahwa hal tersebut bergantung kepada kebutuhan hajat hidup orang banyak, apalagi nelayan merupakan pilar utama dari negara maritim seperti Republik Indonesia.
Pelaku usaha sektor perikanan juga mengkritik kebijakan pembatasan sejumlah komoditas perikanan seperti lobster, kepiting, dan rajungan, yang dinilai bakal memperburuk kinerja industri penangkapan perikanan di berbagai daerah di Tanah Air.
"Kebijakan baru (pembatasan sejumlah komoditas perikanan) langsung membuat kolaps," kata Ketum HNSI Yussuf Solichien.
Menurut Yussuf, kebijakan pembatasan komoditas itu memiliki banyak kekurangan karena dinilai terlalu menggeneralisasi sebab di wilayah perairan Indonesia bagian timur masih terdapat banyak benih seperti lobster dan rajungan.
Ia memaparkan, bila sekarang beberapa komoditas tersebut dibatasi dan tidak dipanen maka akan habis oleh para predator seperti ikan besar padahal pasar di luar negeri untuk komoditas itu sangat besar.
Jawaban Susi
Dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR lima hari setelah rapat dengar pendapat umum tersebut, Menteri Susi menjawab berbagai kritikan yang telah dituding kepada dirinya.
Di antaranya, Susi Pudjiastuti mengatakan, dirinya bakal berdiskusi dengan sejumlah pihak guna mempertimbangkan dibolehkannya "transshipment" atau alih muatan di tengah laut untuk kapal lokal asalkan memenuhi sejumlah persyaratan.
"Saya tidak akan mencabut Peraturan Menteri (terkait larangan transshipment), tapi saya akan keluarkan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) untuk kapal-kapal pengepul dan pengangkutnya," katanya.
Menurut Susi, alih muatan dalam petunjuk pelaksanaan dan teknis terkait peraturan menteri akan terbuka kemungkinan untuk memperbolehkan kapal-kapal lokal membawa muatannya dari "fishing ground" ke pelabuhan dengan kapal pengangkut.
Namun, ia mengatakan bahwa pembolehan itu bila telah memenuhi sejumlah persyaratan yaitu dengan verifikasi ketat dan kapal-kapal tersebut harus dipasang alat "Vessel Monitoring System" (VMS). "Kalau tidak, kami tidak akan mengizinkan pengangkutan dari fishing ground ke pelabuhan," tegas Menteri Kelautan dan Perikanan.
Sedangkan terkait dengan pembatasan sejumlah komoditas seperti lobster, Menteri Kelautan dan Perikanan menyatakan, komoditas lobster yang ada di Indonesia pada saat ini berkurang karena banyak bibit lobster yang diekspor.
"Lobster sangat berkurang karena semua bibitnya diekspor ke Vietnam," kata Susi dan mengingatkan, ekspor lobster dari Indonesia saat ini hanya 300-400 ton per tahun, sedangkan ekspor lobster dari Vietnam telah meroket menjadi 3.000-4.000 ton per tahun.
Menteri Kelautan dan Perikanan juga mengingatkan bahwa banyak pembudi daya sejumlah komoditas seperti kepiting dan lobster terancam kehilangan mata pencaharian karena sudah tidak ada bahan baku di lapangan.
Ia juga mengemukakan bahwa pihaknya pada bulan Mei atau Juni bakal membeli bibit lobster asal Lombok yang dikenal merupakan salah satu sentra bibit Lombok yang bakal terdampak akibat kebijakan pembatasan itu.
Beragam bibit itu, ujar dia, akan diberikan untuk distok di kawasan perairan Samudera, namun diharapkan setelah itu mereka bakal menjadi pembudi daya lobster dan tidak lagi menjual bibit.
Banyaknya kritik terhadap kebijakan Menteri Susi itu juga membuat anggota Komisi IV DPR RI Sudin mengatakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan sebaiknya diuji publik terlebih dahulu dan harus melibatkan berbagai pihak terkait termasuk asosiasi perikanan dan nelayan.
"Peraturan Menteri diuji publik dulu. Kalau perlu asosiasi dipanggil untuk mengetahui dampak negatif atau positif," kata Sudin dalam rapat kerja Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Komisi IV DPR RI di Jakarta, Senin.
Sudin mencontohkan, kebijakan seperti pelarangan bibit lobster untuk diekspor tentu saja disetujui, tetapi harus diberikan solusi kepada para pemilik bibit seperti diberikan keramba agar dapat dibudidayakan bibit tersebut.
Dengan demikian, lanjut politisi dari Fraksi PDI Perjuangan itu, seharusnya jangan hanya bisa sekadar melarang tetapi kemudian dampaknya tidak baik.
"Yang membisiki dan memberikan masukan ke Ibu (Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti) belum tentu mengerti budidaya," katanya.
Ia juga mengingatkan agar Kementerian Kelautan dan Perikanan agar menjadikan asosiasi perikanan dan nelayan sebagai teman.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti membantah bahwa tidak benar berbagai peraturan menteri yang dikeluarkannya tanpa sosialisasi.
Susi memaparkan, peraturan seperti larangan ekspor bibit adalah berdasarkan peraturan perundangan terkait konservasi yang sebenarnya telah dibuat pemerintah dan DPR dahulu yang juga pasti telah melewati uji publik.
Menteri Kelautan dan Perikanan juga meyakini para "pembisik"-nya adalah bukanlah orang-orang yang tidak benar dan tidak bertanggung jawab karena pihak yang memberikan masukan adalah dari kalangan Eselon I KKP. "Koordinasi kami baik," katanya.
Sekelabatan episode terkait perselisihan antara asosiasi perikanan dan nelayan dengan Menteri Kelautan dan Perikanan itu juga mengindikasikan bahwa Susi dalam jangka waktu 100 hari pemerintahan Presiden Jokowi ini masih mencari titik temu untuk menghasilkan kebijakan yang minimal tidak berdampak kepada penolakan besar-besaran dari beberapa kalangan pemangku kepentingan.
Seluruh rakyat juga berharap agar hasil dari kebijakan itu juga akan sama efektifnya dengan terobosan Susi terkait pemberantasan pencurian ikan yang mendapat pujian dari sejumlah pihak.
(M040)
Dalam rapat kerja yang berlangsung hingga sekitar 12 jam itu, Susi memang banyak ditanyakan terkait dengan kritik yang disampaikan oleh sejumlah asosiasi perikanan sehubungan dengan berbagai kebijakan terobosan yang telah diberlakukannya selama ini.
Lima hari sebelumnya, Komisi IV DPR RI juga telah menggelar rapat dengar pendapat umum dengan sejumlah asosiasi perikanan dan nelayan yang mengaku syok dengan beragam peraturan menteri yang dikeluarkan Susi.
"Kami saat ini sedang syok dengan kebijakan Ibu Menteri Susi," kata Ketua Umum Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Yussuf Solichien dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI di Jakarta, Rabu (21/1).
Menurut Yussuf, pihaknya pada awalnya sangat bangga memiliki Menteri Kelautan dan Perikanan yang membuat gebrakan tentang "illegal fishing" (pencurian ikan).
Namun, lanjutnya, kebanggaan itu berbalik dengan sejumlah kebijakan yang mulai dikeluarkan sejak Susi Pudjiastuti menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan dalam jajaran Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo.
Berbagai kebijakan Menteri Susi yang dikritik oleh para asosiasi perikanan adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 56/2014, No 57/2014, No 58/2014, No 1/2015, dan No 2/2015.
Yussuf menegaskan, pihaknya dan juga berbagai asosiasi perikanan lainnya tidak pernah diajak berbicara dalam pembuatannya atau disosialisasikan drafnya tetapi secara tiba-tiba langsung diberlakukan di lapangan.
"Mengelola negara tidak sama dengan mengelola perusahaan. Mengelola negara tidak sama dengan mengelola warung kopi," sindir Ketum HNSI.
Padahal, ia mengingatkan bahwa di dalam negara yang demokratis seharusnya semua kebijakan harus diserap aspirasinya dan jangan tiba-tiba diberlakukan secara "sudden death" (tiba-tiba).
Ketum HNSI mencontohkan, kebijakan larangan "transshipment" (alih muatan di tengah laut") perlu untuk ditinjau ulang, karena menurunkan mutu komoditas perikanan yang ditangkap.
"Transshipment setuju dilarang untuk muatan ikan yang dibawa ke luar negeri untuk dicuri, tetapi untuk yang nelayan lokal jangan," kata Yussuf Solichien.
Menurut Yussuf, nelayan seperti di berbagai daerah di wilayah Indonesia bagian timur masih ada sejumlah lokasi yang belum ada tempat pendaratan ikan yang memadai.
Dengan demikian, lanjutnya, berapapun nelayan menangkap ikan tidak akan bisa menjual atau terserap seluruh hasil tangkapannya, padahal banyak pelaku usaha yang menggunakan pola kemitraan "bapak-anak asuh" yang membutuhkan alih muatan dari satu kapal ke kapal lainnya.
"Jadi mohon dipertimbangkan, mana transshipment yang boleh dan mana yang tidak boleh," ucapnya.
Ia menegaskan bila alih muatan dilarang untuk hasil pencurian ikan ke luar negeri memang harus tidak diperbolehkan, tetapi jangan untuk nelayan lokal yang memang disalurkan untuk pasar dalam negeri.
Yussuf juga mengingatkan bahwa hal tersebut bergantung kepada kebutuhan hajat hidup orang banyak, apalagi nelayan merupakan pilar utama dari negara maritim seperti Republik Indonesia.
Pelaku usaha sektor perikanan juga mengkritik kebijakan pembatasan sejumlah komoditas perikanan seperti lobster, kepiting, dan rajungan, yang dinilai bakal memperburuk kinerja industri penangkapan perikanan di berbagai daerah di Tanah Air.
"Kebijakan baru (pembatasan sejumlah komoditas perikanan) langsung membuat kolaps," kata Ketum HNSI Yussuf Solichien.
Menurut Yussuf, kebijakan pembatasan komoditas itu memiliki banyak kekurangan karena dinilai terlalu menggeneralisasi sebab di wilayah perairan Indonesia bagian timur masih terdapat banyak benih seperti lobster dan rajungan.
Ia memaparkan, bila sekarang beberapa komoditas tersebut dibatasi dan tidak dipanen maka akan habis oleh para predator seperti ikan besar padahal pasar di luar negeri untuk komoditas itu sangat besar.
Jawaban Susi
Dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR lima hari setelah rapat dengar pendapat umum tersebut, Menteri Susi menjawab berbagai kritikan yang telah dituding kepada dirinya.
Di antaranya, Susi Pudjiastuti mengatakan, dirinya bakal berdiskusi dengan sejumlah pihak guna mempertimbangkan dibolehkannya "transshipment" atau alih muatan di tengah laut untuk kapal lokal asalkan memenuhi sejumlah persyaratan.
"Saya tidak akan mencabut Peraturan Menteri (terkait larangan transshipment), tapi saya akan keluarkan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) untuk kapal-kapal pengepul dan pengangkutnya," katanya.
Menurut Susi, alih muatan dalam petunjuk pelaksanaan dan teknis terkait peraturan menteri akan terbuka kemungkinan untuk memperbolehkan kapal-kapal lokal membawa muatannya dari "fishing ground" ke pelabuhan dengan kapal pengangkut.
Namun, ia mengatakan bahwa pembolehan itu bila telah memenuhi sejumlah persyaratan yaitu dengan verifikasi ketat dan kapal-kapal tersebut harus dipasang alat "Vessel Monitoring System" (VMS). "Kalau tidak, kami tidak akan mengizinkan pengangkutan dari fishing ground ke pelabuhan," tegas Menteri Kelautan dan Perikanan.
Sedangkan terkait dengan pembatasan sejumlah komoditas seperti lobster, Menteri Kelautan dan Perikanan menyatakan, komoditas lobster yang ada di Indonesia pada saat ini berkurang karena banyak bibit lobster yang diekspor.
"Lobster sangat berkurang karena semua bibitnya diekspor ke Vietnam," kata Susi dan mengingatkan, ekspor lobster dari Indonesia saat ini hanya 300-400 ton per tahun, sedangkan ekspor lobster dari Vietnam telah meroket menjadi 3.000-4.000 ton per tahun.
Menteri Kelautan dan Perikanan juga mengingatkan bahwa banyak pembudi daya sejumlah komoditas seperti kepiting dan lobster terancam kehilangan mata pencaharian karena sudah tidak ada bahan baku di lapangan.
Ia juga mengemukakan bahwa pihaknya pada bulan Mei atau Juni bakal membeli bibit lobster asal Lombok yang dikenal merupakan salah satu sentra bibit Lombok yang bakal terdampak akibat kebijakan pembatasan itu.
Beragam bibit itu, ujar dia, akan diberikan untuk distok di kawasan perairan Samudera, namun diharapkan setelah itu mereka bakal menjadi pembudi daya lobster dan tidak lagi menjual bibit.
Banyaknya kritik terhadap kebijakan Menteri Susi itu juga membuat anggota Komisi IV DPR RI Sudin mengatakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan sebaiknya diuji publik terlebih dahulu dan harus melibatkan berbagai pihak terkait termasuk asosiasi perikanan dan nelayan.
"Peraturan Menteri diuji publik dulu. Kalau perlu asosiasi dipanggil untuk mengetahui dampak negatif atau positif," kata Sudin dalam rapat kerja Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Komisi IV DPR RI di Jakarta, Senin.
Sudin mencontohkan, kebijakan seperti pelarangan bibit lobster untuk diekspor tentu saja disetujui, tetapi harus diberikan solusi kepada para pemilik bibit seperti diberikan keramba agar dapat dibudidayakan bibit tersebut.
Dengan demikian, lanjut politisi dari Fraksi PDI Perjuangan itu, seharusnya jangan hanya bisa sekadar melarang tetapi kemudian dampaknya tidak baik.
"Yang membisiki dan memberikan masukan ke Ibu (Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti) belum tentu mengerti budidaya," katanya.
Ia juga mengingatkan agar Kementerian Kelautan dan Perikanan agar menjadikan asosiasi perikanan dan nelayan sebagai teman.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti membantah bahwa tidak benar berbagai peraturan menteri yang dikeluarkannya tanpa sosialisasi.
Susi memaparkan, peraturan seperti larangan ekspor bibit adalah berdasarkan peraturan perundangan terkait konservasi yang sebenarnya telah dibuat pemerintah dan DPR dahulu yang juga pasti telah melewati uji publik.
Menteri Kelautan dan Perikanan juga meyakini para "pembisik"-nya adalah bukanlah orang-orang yang tidak benar dan tidak bertanggung jawab karena pihak yang memberikan masukan adalah dari kalangan Eselon I KKP. "Koordinasi kami baik," katanya.
Sekelabatan episode terkait perselisihan antara asosiasi perikanan dan nelayan dengan Menteri Kelautan dan Perikanan itu juga mengindikasikan bahwa Susi dalam jangka waktu 100 hari pemerintahan Presiden Jokowi ini masih mencari titik temu untuk menghasilkan kebijakan yang minimal tidak berdampak kepada penolakan besar-besaran dari beberapa kalangan pemangku kepentingan.
Seluruh rakyat juga berharap agar hasil dari kebijakan itu juga akan sama efektifnya dengan terobosan Susi terkait pemberantasan pencurian ikan yang mendapat pujian dari sejumlah pihak.
(M040)
Oleh Muhammad Razi Rahman
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2015
Tags: