Jakarta (ANTARA News) - Reaksi keras publik yang menuntut penghentian tayangan "Smackdown" di stasiun televisi Lativi, untuk sementara berhasil membuat para penggemar gulat bebas yang suka mempertontonkan kekerasan itu lempar handuk tanda menyerah. Mulai Minggu, 3 Desember 2006, Lativi berjanji tidak lagi menayangkan sajian controversial yang sudah memakan korban itu. Apakah dengan begitu kekerasan di TV itu hilang dan jeritan publik menang? Belum tentu! Hasil survey dan penelitian George Comstock dan Erica Scharrer (1999) membuktikan bahwa disamping keprihatinan public mengenai "too much violence on television", ternyata kekerasan di layar kaca terus meningkat kualitas dan frekuensinya. Kalau dulu tayangan itu hanya "berdarah", kini sudah "berdarah-darah". Comstock dan Scharrer menulis bahwa keprihatinan publik mengenai kekerasan di TV terus bergulir ketika teknologi layar kaca itu ditemukan. Sejak decade 1950-an sekitar dua pertiga orang Amerika Serikat setuju dengan pernyataan "terlalu banyak kekerasan di TV". Namun, ketika orang ditanya apakah mereka melihat sesuatu yang mengganggu dalam acara-acara tayangan di TV, kurang dari 10 persen saja yang menunjuk pada gambaran kekerasan. Itu sebabnya, sampai saat ini pun hanya sedikit orang yang betul-betul menganggap kekerasan di TV sebagai salah satu masalah penting yang dihadapi bangsa Amerika. Tidaklah heran jika prioritas rendah pemirsa atas maraknya kekerasan di TV membuat industri penyiaran tidak melakukan respon dramatis atas jeritan publik terhadap tayangan berdarah di layer kaca. Pemilik stasiun TV sudah berpengalaman menghadapi jeritan publik ini. Saat jeritan keras terdengar, industri penyiaran sedikit mengerem tayangan berbau kekerasan. Mereka bertiarap sejenak. Yakinlah bahwa mereka akan kembali ke bisnis itu saat jeritan menjadi parau dan semakin sayup. Lalu "business as usual". Hal ini karena tayangan seks, kejahatan dan kekerasan adalah bumbu utama dari roh tayangan televisi. Pengamat program TV, Newton Minow, menyebut televisi sebagai, "Kawasan sampah yang penuh dengan darah, kekerasan, sadisme dan pembantaian". Namun, para pemilik stasiun televisi berkilah bahwa tayangan program televisi merupakan cermin masyarakat yang bersangkutan. "Kekerasan dan hiburan selera rendah sangat popular dan disukai karena itu refleksi dari kenyataan yang terjadi di masyarakat yang seringkali keras dan dungu," kata Kattha Pollit, seorang praktisi televisi. Masyarakat butuh tontonan yang membuat adrenalin mereka naik. Tayangan kekerasan membuat mereka "on". "Tayangan TV tidak membunuh orang. Yang membunuh itu senjata api," kilah Barry Glassner, pembela industri televisi. "Jika anda tidak suka dengan yang ditayangkan TV, matikan saja," kata Mary Ann Watson, praktisi dunia penyiaran. Tak usah ditonton Itulah solusi sederhana dan kartu truf dari perdebatan mengenai dampak dari sebuah tayangan televisi. Jika tak suka kekerasan di TV, tidak usah ditonton. Sepertinya mudah. Tetapi itu sama saja dengan mengatakan, "Kalau anda punya masalah dengan polusi udara, berhentilah bernafas." Sejak tahun 1964 sudah ada laporan medis bahwa merokok bisa mengakibatkan kanker paru-paru dan penyakit hati. Kini semua tahu bahwa bahaya merokok bukan hanya terhadap mereka yang merokok, tetapi juga bagi orang lain yang bukan perokok. Begitu juga dengan bahaya kekerasan di TV bukan hanya berdampak bagi yang menontonnya, tetapi juga bagi orang lain. Korban yang jatuh ditonjok anak yang hobby nonton "Smackdown", bisa saja tidak pernah menikmati tayangan itu. Menurut catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak dua orang anak telah meninggal dunia dan tujuh lainnya mengalami luka berat akibat menirukan adegan "Smackdown". Reza Ikhsan Fadillah (9 tahun), murid kelas 3 SD di Bandung, tewas setelah bermain "Smackdown bersama teman-temannya. Ahmad Firdaus, juga kelas 3 SD di Surabaya, patah kaki kanan dan tulang lehernya akibat dikeroyok ala "Smackdown" oleh teman-temannya saat jam istirahat sekolah. Oleh karena sudah memakan korban, publik dan media mengecam tayangan tersebut. Tidak kurang dari Wakil Presiden Jusuf Kalla dan tiga menteri angkat bicara untuk menghentikan suguhan gulat bebas di televise itu. Mantan pegulat "Smackdown" asal Indonesia, Dimas Suyono, juga meminta tayangan gulat bebas di Lativi itu dihentikan karena telah memakan banyak korban. "Harus distop dari sekarang, sebelum jatuh korban lebih banyak lagi," kata lelaki yang memiliki berbagai nama panggung "Indonesian Commando" pada "showbiz" yang digelar organisasi gulat Amerika itu. Ia meninggalkan karier yang selama lima tahun digelutinya itu dan memilih kembali ke Indonesia. Kini ia mengelola sebuah restoran di Plaza Indonesia yang jauh dari hangar bingar kekerasan dan dunia gemerlap "showbiz". Jika praktisi Smack Down professional semacam Dimas Suyono saja sudah merasakan bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang tepat untuk dijadikan karirnya, karena sangat berbahaya, maka sebaiknya gulat bebas tidak disebarluaskan di tanah air. Sebagaimana dikemukakan oleh KH Abdullah Gymnastiar memang sudah saatnya pemilik stasiun TV untuk tidak hanya berhitung keuntungan finansial, namun juga harus menggunakan hati nuraninya. "Media harus menghitung tentang dampak kerusakan mental dan moral masyarakat akibat tayangan semacam "Smackdown" itu," kata ulama yang akrab disebut Aa Gym itu.(*)