Nelayan Seruyan gunakan pukat hela terlarang
28 Januari 2015 00:42 WIB
Ilustrasi. Aktivitas Nelayan Pukat. Sejumlah nelayan menarik jaring pukat di pantai Glayem, Juntinyuat, Indramayu, Jawa Barat, Kamis (27/11). Menurut nelayan, hasil tangkapan ikan menurun akibat perubahan arus air laut memasuki musim hujan. Biasanya nelayan mampu mengumpulkan sebanyak 5 kwintal ikan, kini mereka hanya mendapat 1 kwintal. (ANTARA FOTO/Dedhez Anggara)
Kuala Pembuang, Kalteng (ANTARA News) - Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah, menyebutkan bahwa hingga kini masih banyak nelayan di wilayahnya yang menggunakan alat tangkap terlarang.
"Masih ada yang menggunakan alat tangkap yang dilarang oleh pemerintah seperti pukat hela dengan ukuran di bawah satu inci," kata Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) Seruyan Junadi di Kuala Pembuang, Selasa.
Ia menuturkan, meskipun pihaknya sudah sering melakukan sosialisasi tentang larangan penggunaan alat tangkap seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2/PERMEN-KP/2015, namun pelanggaran itu terus saja terjadi.
Kurang kesadaran serta faktor kebiasaan di kalangan nelayan ditengarai telah menjadi penyebab kenapa alat tangkap terlarang masih saja digunakan.
"Kurangnya kesadaran, selain itu karena sudah terbiasa menggunakan satu alat tangkap akhirnya banyak nelayan yang tidak mau mengubah kebiasaan tersebut," katanya
Ia khawatir, apabila penggunaan alat tangkap tak ramah lingkungan itu terus terjadi, maka dalam jangka panjang akan merugikan kepentingan ekonomi daerah khususnya bagi para nelayan sendiri, karena penggunaan pukat dengan ukuran jaring di bawah satu inci tersebut akan berdampak terhadap kelestarian ekosistem laut seperti ikan dan udang, sehingga perkembanganbiakan hewan laut ini pun terganggu.
"Akibatnya pada kurun waktu tertentu, ikan-ikan tersebut akan habis karena tidak sempat regenerasi dengan alami, akhirnya nelayan kita juga yang akan gigit jari," katanya.
Meski demikian, usaha untuk membangkitkan kesadaran nelayan terus dilakukan dengan pendekatan-pendekatan secara persuasif, sosialisasi hingga pemberian alat tangkap yang sesuai aturan.
"Kalau alat tangkap yang direkomendasikan oleh pemerintah itu dengan ukuran jaring di atas dua inci, dengan demikian maka ikan kecil tidak ikut terjaring," katanya.
"Masih ada yang menggunakan alat tangkap yang dilarang oleh pemerintah seperti pukat hela dengan ukuran di bawah satu inci," kata Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) Seruyan Junadi di Kuala Pembuang, Selasa.
Ia menuturkan, meskipun pihaknya sudah sering melakukan sosialisasi tentang larangan penggunaan alat tangkap seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2/PERMEN-KP/2015, namun pelanggaran itu terus saja terjadi.
Kurang kesadaran serta faktor kebiasaan di kalangan nelayan ditengarai telah menjadi penyebab kenapa alat tangkap terlarang masih saja digunakan.
"Kurangnya kesadaran, selain itu karena sudah terbiasa menggunakan satu alat tangkap akhirnya banyak nelayan yang tidak mau mengubah kebiasaan tersebut," katanya
Ia khawatir, apabila penggunaan alat tangkap tak ramah lingkungan itu terus terjadi, maka dalam jangka panjang akan merugikan kepentingan ekonomi daerah khususnya bagi para nelayan sendiri, karena penggunaan pukat dengan ukuran jaring di bawah satu inci tersebut akan berdampak terhadap kelestarian ekosistem laut seperti ikan dan udang, sehingga perkembanganbiakan hewan laut ini pun terganggu.
"Akibatnya pada kurun waktu tertentu, ikan-ikan tersebut akan habis karena tidak sempat regenerasi dengan alami, akhirnya nelayan kita juga yang akan gigit jari," katanya.
Meski demikian, usaha untuk membangkitkan kesadaran nelayan terus dilakukan dengan pendekatan-pendekatan secara persuasif, sosialisasi hingga pemberian alat tangkap yang sesuai aturan.
"Kalau alat tangkap yang direkomendasikan oleh pemerintah itu dengan ukuran jaring di atas dua inci, dengan demikian maka ikan kecil tidak ikut terjaring," katanya.
Pewarta: Fahrian Adriannoor
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015
Tags: