Jakarta (ANTARA News) - "Pertempuran" Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) belum juga menunjukkan tanda-tanda berakhir atau sedikitnya mereda, padahal Presiden Joko Widodo pada hari Minggu (25/1) telah bertemu dengan beberapa tokoh kaliber nasional untuk mengakhiri perseteruan ini dengan membentuk tim yang bersifat independen.
Bahkan pertikaian di antara kedua pihak ini pada hari-hari mendatang bisa semakin runyam terutama karena ada dua tuduhan baru terhadap dua wakil pimpinan KPK yakni Zulkarnaen dan Adnan Pandu Praja yakni kedua tokoh ini diduga terlibat dalam kasus hukum.
"Kami akan melapor pada hari Rabu," kata Ketua Presidium Aliansi Masyarakat Jawa Timur Fathur Rosyid kepada antara di Jakarta, Senin ketika menjelaskan laporan terhadap Wakil Ketua KPK Zulkarnaen yang pernah menjadi kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur yang menangani kasus Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM). Zulkarnaen diduga menerima Rp5 miliar.
Sementara itu Wakil Ketua KPK lainnya Adnan Pandu Praja diduga terlibat dalam masalah dengan PT Desy Timber.
Sebelumnya Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dituding terlibat dalam kasus pemilihan bupati Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah oleh seorang anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Sugiyono Sabran yang ikut dalam proses pilkada tersebut.
Karena tudingan demi tudingan, serangan-serangan tetap saja dihambur-hamburkan terhadap lembaga antirasuah KPK tersebut, maka tentu saja sejuta harapan telah dan akan terus ditumpahkan kepada Presiden Jokowi karena kepala jutaan warga di Tanah Air sudah dipenuhsesaki oleh berbagai persoalan mulai dari harga- harga kebutuhan pokok sehari-hari yang masih saja tetap tinggi walaupun pemerintah sudah dua kali menurunkan harga bahan bakar minyak atau BBM.
Karena itulah, tidak heran apabila Jokowi pada hari Minggu di Istana Kepresidenan mengundang beberapa tokoh masyarakat untuk membahas secara mendalam persoalan antara KPK dengan Polri.
Tamu- tamu terhormat yang diundang Kepala Negara itu adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, pengamat hukum intenasional Hikmahanto Juwana, pengamat masalah kepolisian Bambang Widodo Umar, mantan wakil ketua KPK Erry Ryana Hardjapamekas dan Tumpak Hatorangan Panggabean, serta mantan wakil kepala Polri Oegroseno. Namun tokoh Muhammadiyah Ahmad Syafiir Maarif tidak bisa datang karena sedang berada di Yogyakarta.
Usai pertemuan penting itu, Presiden mengatakan kepada wartawan bahwa dirinya tidak mengintervensi kasus ini.
"Biarkan KPK bekerja,. Biarkan Polri bekerja. Tidak boleh yang merasa sok di atas hukum," tegas mantan gubernur DKI Jakarta itu. Kemudian dia menegaskan lagi" Jangan ada kriminalisasi".
Seperti biasanya , Jokowi tidak berpanjang-panjang saat melakukan jumpa pers karena pada hari Minggu itu, dia memberikan penjelasan tidak lebih dari tiga menit. Sekalipun demikian, dilihat dari tamu-tamu yang diundangnya serta materi keterangannya, maka jelas Kepala Negara ingin sungguh-sungguh menyelesaikan kasus perseteruan ini.
Sekalipun tim independen ini secara resmi belum dibentuk, kehadiran tokoh-tokoh nasional ini pasti disambut baik oleh seluruh lapisan masyarakat supaya KPK tidak dilemahkan secara sistematis atau terencana sedangkan lembaga Polri tidak terus-menerus dimanfaatkan secara salah oleh anggota-anggotanya terutama oleh para jenderal-jenderalnya.
Masyarakat tentu tidak akan bisa lupa bahwa ada seorang prajurit Polri yang harus "terpaksa" tinggal bersama keluarganya di bekas kandang sapi di Yogyakarta sementara para perwira tingginya bergelimangan dengan uang miliaran rupiah, entah dari warisan keluarganya atau hasil gratifikasi ataupun korupsi sehingga kemudian di kalangan Polri kemudian muncul istilah "jenderal-jenderal gendut".
Budi Gunawan
Perang antara KPK sebagai lembaga antirasuah dengan Polri bermula ketika Joko Widodo menetapkan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan sebagai calon kapolri untuk menggantikan Jenderal Polisi Sutarman yang sebenarnya baru akan pensiun Oktober 2015. Tak lama setelah pengumuman Budi Gunawan itu, KPK langsung membuat pengumuman bahwa Kepala Lembaga Pendidikan dan Latihan Polri itu menjadi tersangka kasus gratifikasi.
Bahkan KPK kemudian mengeluarkan data bahwa seorang anak Budi pernah menerima kiriman uang miliaran rupiah, yang kemudian ditransfer ke rekening bapaknya itu.
Bahkan KPK juga menyebutkan bahwa karena Budi pernah disebut-sebut sebagai calon menteri untuk Kabinet Kerja-nya Jokowi maka KPK kemudian menjelaskan perwira tinggi itu mendapat nilai rapor "merah" sehingga dia tidak layak untuk menjadi menteri-nya Jokowi.
Tentu saja Budi menjadi "kebakaran jenggot" mendengar tudingan KPK itu, dan kemudian menjelaskan bahwa Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri telah meneliti keuangan dirinya dan menyatakan tidak ada masalah.
"Bareskrim telah menyatakan wajar dan tidak ada masalah," kata Budi yang pernah menjadi kapolda Jambi.
Ternyata perang urat syaraf di antara kedua pihak tidak juga kunjung usai, bahkan kemudian serangan bertubi-tubi muncul terhadap pimpinan KPK mulai dari Bambang Widjojanto, Zulkarnaen hingga Adnan Pandu Praja. Puncaknya adalah ketika Bambang ditangkap sambil tangannya diborgol.
Seharusnya para polisi yang memborgol Bambang itu sadar atau tahu bahwa yang ada dihadapan mereka itu adalah bukannya penjahat kambuhan atau copet tapi seorang pimpinan lembaga resmi di lingkungan negara ini . Akan tetapi mungkin mereka mendapat perintah agar menangkap dan memborgol Bambang tanpa mempertimbangkan faktor apa pun juga .
Ternyata permusuhan antara Budi dengan Bambang masih saja berlanjut hingga detik ini. Karena itu masyarakat tentu berhak bertanya apakah tuduhan demi tuduhan terhadap para pimpinan KPK lainnya itu hanya merupakan kejadian yang "kebetulan" saja atau memang sudah direkayasa apalagi di pihak "sana terdapat sejumlah tokoh mulai jenderal "biasa" hingga intel yang sudah tersohor kemana-mana.
Jika masyarakat kembali ke pertemuan di Istana pada hari Minggu, maka tentu layak didengar keterangan salah seorang tamu Jokowi itu yakni Jimly.
Dia berkata "Kami dipersilahkan untuk berkomunikasi dengan KPK dan Polri untuk meredam ketegangan agar penegakan hukum di kedua instansi itu berjalan benar dan mendukung penguatan kelembagaan KPK dan Polri".
Karena delapan orang itu diberi hak untuk berkomunikasi dengan KPK dan Polri, maka tentu masyarakat berhak tahu dan bertanya apa saja yang sudah dilakukan tim ini.
Bambang Widjojanto pada hari Senin (26/1) sudah menjelaskan dirinya telah mengajukan surat permohonan untuk berhenti sementara sebagai Wakil Ketua KPK dan dirinya masih menunggu jawaban pimpinan KPK lainnya.
Pertanyaan adalah jika Bambang sudah menyatakan pengunduran dirinya, maka kenapa " lawannya" yang berseberangan jalan juga tidak melakukan hal yang serupa atau sama.
Jika "lawan" Bambang sudah menyatakan mundur maka tentu Presiden Joko Widodo akan dengan sangat mudah bisa menyelesaikan kasus ini terutama untuk mengajukan nama baru calon Kapolri, apakah Pelaksana Tugas Kapolri Komisaris Jenderal Polisi Badrodin Haiti atau jenderal-jenderal lainnya terutama yang berbintang tiga.
Pertanyaan ini sangat pantas dijawab atau direnungkan karena jika "nama nama" itu terus-menerus dipertahankan untuk menjadi kapolri, maka bisa dibayangkan betapa repotnya Presiden harus menghadapi berbagai serangan atau tuduhan, padahal begitu banyak target, ambisi atau cita-cita Joko Widodo yang bisa diwujudkan hingga akhir pemerintahannya pada Oktober 2019.
Tim independen harus berlari kencang akhiri "pertempuran" KPK-Polri
27 Januari 2015 10:56 WIB
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto melakukan jumpa pers di kantor KPK, Jakarta Selatan, Senin (26/1). Bambang menyatakan telah menyerahkan surat pengunduran diri pada pimpinan KPK terkait penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri. (ANTARA FOTO/Fanny Octavianus)
Oleh Arnaz Firman
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015
Tags: