Pilkada serentak beban baru Mahkamah Agung
26 Januari 2015 18:55 WIB
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (kiri) bersalaman dengan Pimpinan Sidang Agus Hermanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam sidang paripurna di Gedung DPR-RI, Jakarta, Selasa (20/1) yang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 1 Tahun 2014 tentang pilkada dan Perppu nomor 2 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah untuk menjadi Undang-undang. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Jakarta (ANTARA News) - Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Wali Kota dan Perpu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah untuk disahkan menjadi undang-undang.
Namun, hal itu menjadi beban baru Mahkamah Agung (MA). Beban baru ini muncul karena sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) yang sebelumnya ditangani oleh Mahkamah Konstitusi, kemudian lembaga ini melalui putusannya mengalihkan ke Mahkamah Agung karena pilkada dinilai bukan rezim pemilu.
Posisi ini dikuatkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Wali Kota (Perpu Pilkada) yang diterbitkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada bulan Oktober 2014.
Dalam Pasal 157, disebutkan bahwa dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan, peserta pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota ke Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung.
Atas perintah tersebut, Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mengatakan bahwa pihaknya tidak dapat berbuat apa-apa jika pada akhirnya DPR memutuskan untuk menerima perpu ini menjadi UU.
Namun, Hatta berharap pembuat UU (pemerintah dan DPR) membuat solusi bahwa sengketa pilkada dapat ditangani oleh lembaga di luar peradilan, yakni dengan membentuk badan khusus.
"Ada lembaga khusus yang menyelesaikan, bisa dari KPU atau dari mana," kata Hatta Ali saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (7/1).
Hatta mengusulkan badan khusus itu dapat diambil dari beberapa unsur, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Namun, lanjut dia, pihaknya tidak bisa berbuat apa-apa jika pembuat undang-undang saat melakukan revisi UU Pilkada ini menugasi Mahkamah Agung sebagai lembaga yang mengadili sengketa hasil pemilu pemilihan kepala daerah ini.
"Sikap kami berusaha sedapat mungkin tidak ke Mahkamah Agung, tetapi tidak akan melakukan pembangkangan jika UU memerintahkan (sengketa pilkada) ke Mahkamah Agung," ujarnya.
Hakim Agung Supandi mengatakan bahwa pihaknya siap menangani sengketa pemilihan kepala daerah yang akan digelar pada tanggal 16 Desember 2015 secara serentak.
"Tergantung perundang-undangan, kalau memerintahkan Mahkamah Agung, siap dengan harapan dapat dukungan teknis sumber daya oleh negara diperhatikan," kata Hakim Agung MA Supandi di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Jumat (9/1).
Menurut Supandi, majelis khusus sudah dipersiapkan. Ada empat pengadilan tinggi untuk mengurusi sengketa pilkada, yaitu di PTUN di Medan, Jakarta, Surabaya, dan Makasar.
Kendati begitu, Supandi berharap sengketa pilkada tidak berujung di pengadilan.
"Semua harus lewat Bawaslu daerah, Panwaslu kalau enggak kuat baru dibawa ke pengadilan," katanya.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan setelah menjadi undang-undang, kedua perpu itu masih membutuhkan perbaikan. Hal itu menurut dia untuk menyelaraskan beberapa pasal yang dinilai masih tumpang-tindih.
"Mengenai tahapan pelaksanaan, penyelesaian sengketa, dan dampak pilkada serentak harus dibicarakan lebih lanjut," kata Tjahjo pada Rapat Paripurna DPR.
Menurut dia, secara intensif pemerintah membuka diri dalam menyelesaikan undang-undang ini. Mantan Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI itu mengatakan bahwa perbaikan atas beberapa hal ini tidak akan mengganggu tahapan pilkada serentak agar perubahan itu demi kepastian hukum sebagai landasan pilkada.
"Perubahan terbatas ini tidak akan mengganggu tahapan pilkada, yaitu tugas KPU dan jajarannya. Hal ini mengingat ada 204 daerah otonom yang akan melaksanakan pilkada serentak," ujarnya.
Menurut dia, pemerintah menyambut baik kesepakatan bulat DPR atas persetujuan Perpu Pilkada menjadi undang-undang dan semua masukan dari DPR pun akan dipertimbangkan pemerintah.
Namun, hal itu menjadi beban baru Mahkamah Agung (MA). Beban baru ini muncul karena sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) yang sebelumnya ditangani oleh Mahkamah Konstitusi, kemudian lembaga ini melalui putusannya mengalihkan ke Mahkamah Agung karena pilkada dinilai bukan rezim pemilu.
Posisi ini dikuatkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Wali Kota (Perpu Pilkada) yang diterbitkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada bulan Oktober 2014.
Dalam Pasal 157, disebutkan bahwa dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan, peserta pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota ke Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung.
Atas perintah tersebut, Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mengatakan bahwa pihaknya tidak dapat berbuat apa-apa jika pada akhirnya DPR memutuskan untuk menerima perpu ini menjadi UU.
Namun, Hatta berharap pembuat UU (pemerintah dan DPR) membuat solusi bahwa sengketa pilkada dapat ditangani oleh lembaga di luar peradilan, yakni dengan membentuk badan khusus.
"Ada lembaga khusus yang menyelesaikan, bisa dari KPU atau dari mana," kata Hatta Ali saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (7/1).
Hatta mengusulkan badan khusus itu dapat diambil dari beberapa unsur, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Namun, lanjut dia, pihaknya tidak bisa berbuat apa-apa jika pembuat undang-undang saat melakukan revisi UU Pilkada ini menugasi Mahkamah Agung sebagai lembaga yang mengadili sengketa hasil pemilu pemilihan kepala daerah ini.
"Sikap kami berusaha sedapat mungkin tidak ke Mahkamah Agung, tetapi tidak akan melakukan pembangkangan jika UU memerintahkan (sengketa pilkada) ke Mahkamah Agung," ujarnya.
Hakim Agung Supandi mengatakan bahwa pihaknya siap menangani sengketa pemilihan kepala daerah yang akan digelar pada tanggal 16 Desember 2015 secara serentak.
"Tergantung perundang-undangan, kalau memerintahkan Mahkamah Agung, siap dengan harapan dapat dukungan teknis sumber daya oleh negara diperhatikan," kata Hakim Agung MA Supandi di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Jumat (9/1).
Menurut Supandi, majelis khusus sudah dipersiapkan. Ada empat pengadilan tinggi untuk mengurusi sengketa pilkada, yaitu di PTUN di Medan, Jakarta, Surabaya, dan Makasar.
Kendati begitu, Supandi berharap sengketa pilkada tidak berujung di pengadilan.
"Semua harus lewat Bawaslu daerah, Panwaslu kalau enggak kuat baru dibawa ke pengadilan," katanya.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan setelah menjadi undang-undang, kedua perpu itu masih membutuhkan perbaikan. Hal itu menurut dia untuk menyelaraskan beberapa pasal yang dinilai masih tumpang-tindih.
"Mengenai tahapan pelaksanaan, penyelesaian sengketa, dan dampak pilkada serentak harus dibicarakan lebih lanjut," kata Tjahjo pada Rapat Paripurna DPR.
Menurut dia, secara intensif pemerintah membuka diri dalam menyelesaikan undang-undang ini. Mantan Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI itu mengatakan bahwa perbaikan atas beberapa hal ini tidak akan mengganggu tahapan pilkada serentak agar perubahan itu demi kepastian hukum sebagai landasan pilkada.
"Perubahan terbatas ini tidak akan mengganggu tahapan pilkada, yaitu tugas KPU dan jajarannya. Hal ini mengingat ada 204 daerah otonom yang akan melaksanakan pilkada serentak," ujarnya.
Menurut dia, pemerintah menyambut baik kesepakatan bulat DPR atas persetujuan Perpu Pilkada menjadi undang-undang dan semua masukan dari DPR pun akan dipertimbangkan pemerintah.
Oleh Joko Susilo
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015
Tags: