Malang (ANTARA Newsa) - Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa, menilai Indonesia seringkali terlambat dalam merespon Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) maupun bonus demografi yang diperkirakan pada tahun 2020.

"Almarhum Gus Dur (Abdurrahman Wahid) sudah mengingatkan dan seringkali bicara soal membangun jaringan ekonomi di Asean dan menjalin kerja sama segitiga antara Indonesia-Tiongkok-India, namun pokok-pokok pikiran beliau selalu direspon terlambat, sehingga ketika sekarang ada MEA, kita belum siap 100 persen," katanya ketika berbicara dalam Seminar Penguatan Ekonomi Masyarakat melalui Sosial Entrepreneur Menyongsong Asean Economic Community 2015, di Malang, Sabtu.

Sebenarnya, kata Khofifah, sekarang daya saing Indonesia di Asean berada di posisi kelima, bahkan Indonesia merupakan pasar potensial, apalagi jika Indonesia mewujudkan kerja sama dan membangun jaringan ekonomi segitiga antara Indonesia-Tiongkok-India. Jumlah penduduk di Tiongkok dan India saja sudah lebih dari 1,2 miliar dan Indonesia sekitar 255 juta jiwa.

Potensi dari jumlah penduduk dari kerja sama segitiga itu saja sudah mencapai 60 persen dari penduduk dunia. Oleh karena itu, poros kerja sama ekonomi segitiga tersebut banyak mengkhawatirkan dunia, dan seharusnya pangsa pasar Asean dikuasai Indonesia, bahkan negeri ini berpeluang menjadi negara pengekspor.

Hanya saja, tegasnya, jika birokrasi masih rumit, banyak pungutan, perizinan sulit dan lamban jangan harap Indonesia siap dengan ketatnya kompetisi MEA yang diberlakukan tahun ini. "Apabila mental seperti ini tidak diubah, kita tidak bisa bersaing dengan negara tetangga. Pengawasan kita juga longgar, sehingga kita akan sulit berkompetisi dengan negara Asean lainnya," kata Khofifah.

Sementara di negara maju, lanjutnya, perizinan investasi dipermudah dan cepat, namun pengawasannya diperketat, sehingga investor tidak akan berani melanggar ketentuan. Untuk menuju birokrasi seperti di negara maju, dalam setiap kesempatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta seluruh daerah membuat "one stop service" untuk mempermudah dan mempercepat izin investasi.

Dengan konsep seperti ini, diharapkan birokrasi Indonesia bisa menyokong kesiapan masyarakat yang kini sudah mulai bersaing dengan bangsa lain, apalagi saat ini arus investasi yang masuk ke Indonesia sangat besar dan arus ekspor Indonesia ke kawasan Asia sekitar 18-19 persen, sedangkan ekspor ke luar Asia mencapai 80-82 persen per tahun.

"Sayangnya, investasi ini lebih condong pada sumber daya mineral yang masih mentah. Padahal, kalau sudah menjadi bahan jadi, harganya lebih mahal," ujarnya.