Jakarta (ANTARA News) - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan bahwa meski Indonesia mayoritas beragama Islam, namun Indonesia bukan negara Islam. Indonesia juga bukan negara sekuler yang memisahkan relasi agama dan negara.
“Meski Indonesia mayoritas beragama Islam, namun Indonesia bukan negara Islam. Indonesia juga bukan negara sekuler yang memisahkan relasi agama dan negara. Itulah salah satu kekhasan negara kami,” terang Menag kepada Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Robert O Blake yang berkunjung ke Kementerian Agama di Jakarta, Rabu.
Dalam acara tersebut Menag didampingi oleh Sekjen Nur Syam, Kabiro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri Ahmad Gunaryo, dan Sekretaris Menag Khoirul Huda.
Kepada Dubes Blake, Menag menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu, dalam kesehariannya dikenal memegang kuat nilai-nilai agama apa pun agamanya. Itulah mengapa, agama tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan kemasyarakatan Kami. Meski demikian, ujar Menag, (para Founding Father kami) tidak memformalkannya Indonesia menjadi negara yang berdasarkan agama.
“Hal ini karena sejak jaman dahulu, kami memang sangat majemuk dan beragam,” tukas Menag.
Terkait keragaman dan kemajemukan di Indonesia, kepada Blake yang pernah bertugas di India dan Pakistan, Menag memberikan gambaran tentang salah satu kearifan lokal Indonesia yang tumbuh subur di hampir semua etnis Nusantara.
“Di tengah-tengah kemajemukan dan keragaman, kami mempunyai budaya tepo seliro, yakni perpaduan antara toleransi dan tenggangrasa. Toleransi adalah bagaimana kita bisa menjaga perasaan diri terhadap perbuatan orang lain di tengah-tengah lingkungan kita yang berbeda dan majemuk. Sedang tenggang rasa merupakan kemampuan kita dalam menjaga perasaan orang lain atas perbuatan yang akan kita lakukan,” ujar Menag.
Ditanya tentang ancaman dan pandangan Menag atas gerakan ISIS, mantan Wakil Ketua MPR ini menyatakan bahwa ISIS mentolelir kekerasan, suatu hal yang bertentangan dengan mayoritas masyarakat Indonesia.
“ISIS mentolelir kekerasan sebagai jalan pintas untuk capai tujuan,” ujar Menag.
Dalam pandangan Menag, kekerasan yang terjadi dan dilakukan ISIS, karena dua hal, pertama, sebagai sebuah refleksi dari ketidakadilan yang selama ini dirasakan, baik dalam politik, ekonomi, hukum dan lain sebagainya.
“Karena tidak mendapatkan keadilan itu, lalu mereka memilih jalan pintas, yakni gerakan radikal atau ekstrim tersebut,” kata Menag.
Kedua, rasa tidak adil tersebut, dibenarkan oleh faham keagamaan yang mereka yakini, untuk melakukan kekerasan. Karenanya, tantangan masyarakat dunia adalah bagaimana menghilangkan minimal mengurangi ketidakadilan dalam segala sektor. Di mana hal tersebut harus dibarengi dengan memberi pemahaman keagamaan yang lebih substansif, bahwa tujuan setiap agama adalah ingin memanusiakan manusia.
“Karenanya, kita tidak mentolelir kekerasan. Mau tidak mau, ini yang harus kita lakukan dan perjuangkan,” urai Menag.
Menag melihat, ISIS merupakan ancaman serius bagi Indonesia, karena mengancam corak faham keagaaman mayoritas masyarakat Indonesia yang moderat dan damai.
Untuk itu, terang Menag, ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, melalui pendekatan kultural, yakni dengan cara memberdayakan ormas-ormas Islam yang berpandangan moderat, seperti NU, Muhammadiyah dan lain sebagainya yang nyatanya berada langsung di tengah masyarakat, (kultural).
Kedua, melakukan pendekatan struktural, yakni dengan membuat regulasi, seperti misalnya melalui UU Perlindungan Umat Beragama (PUB), yang di dalam UU tersebut nanti, ada norma dan aturan tidak boleh orang menghujat atau menjelek-jelekkan ajaran lain dan lain sebagainya.
Menag: Indonesia mayoritas Islam, tapi bukan negara Islam
21 Januari 2015 15:29 WIB
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2015
Tags: