Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Riau non-aktif Annas Maamun mengakui meminta uang hingga Rp2,9 miliar ke pengusaha Gulat Medali Emas Manurung yang merupakan Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit provinsi Riau.

"Saya waktu itu bilang Pak Gulat, untuk mengurus ini karena yang kita harapkan kebun ini tidak hanya 3 kabupaten, tapi semua diurus seluruh provinsi. (Saya minta) Rp2,9 miliar kurang lebih," kata Annas dalam sidang di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Annas menjadi saksi untuk terdakwa Gulat Medali Emas Manurung yang didakwa memberikan uang Rp2 miliar (166.100 dolar AS) kepada Annas Maamun.

Dalam dakwaan, uang tersebut diberikan agar areal kebun sawit Gulat dan teman-temannya di kabupaten Kuantan Singigni seluas kurang lebih 1.188 hektar dan Bagan Sinembah di kabupaten Rokan Hilir seluas kurang lebih 1.214 hektar masuk ke dalam surat revisi usulan perubahan luas bukan kawasan hutan di provinsi Riau dari Annas Maamun kepada Menteri Kehutanan saat itu Zulkifli Hasan.

Namun permintaan tersebut ternyata tidak dapat disanggupi Gulat.

"Dia cuma bawa uang cuma 100 ribu dolar AS dan uang Rp500 juta," tambah Annas.

Sejumlah Rp400 juta dari Rp500 juta tersebut rencananya akan dibayar sebagai uang muka rumah Annas di Cibubur.

"Rp 400 juta, ini uang kebetulan saya mau bayar uang muka rumah di Cibubur, dipegang orang pemasaran, (sisanya) yang Rp100 juta dibawa balik," ungkap Annas.

Sedangkan sisanya menurut Annas untuk biaya pengurusan surat, termasuk untuk pembahasan di DPR.

"Sebab kalau untuk kepentingan pemerintah diajukan ke Kemenhut, tapi kalau untuk kepentingan masyarakat dan perusahaan harus dibahas DPR RI. Kita sekarang karena Menhut menyambut baik kebun rakyat, sehingga DPR mengurus ini kita butuh dana operasional, macam-macam" jelas Annas.

Ketua majelis hakim Supriyono mempertanyakan peruntukan uang operasional yang diminta dari Gulat sebab seharusnya pemerintah provinsi punya anggaran resmi yang berasal dari Anggaran Penerimaan dan Belajan Daerah.

"Untuk ongkos orang berangkat, untuk pesawat, makan, mungkin rapat dengan DPRD dengan DPR rapat di hotel, untuk ongkos-ongkos itu," ungkap Annas.

Lahan Annas sendiri juga masuk ke dalam usulan lahan bukan hutan.

"Di usulan kedua ada (lokasi tanah Annas), (luasnya) 10 hektar, (bentuknya) belukar," tambah Annas. Tanah tersebut berada di Desa Rantau Bais, Rokan Hilir, Riau.

Dalam dakwaan, Annas mengajukan dua kali surat Gubernur kepada Menhut untuk membuat revisi SK.673/Menhut-II/2014 tersebut berisi tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan menjadi Bukan Kawasan Hutan. Dalam revisi kedua berdasarkan SK Gubernur Riau No 050/Bappeda/8516 usulannya antara lain disebutkan kebun untuk masyarakat miskin yang tersebar di beberapa kabupaten/kota di antaranya kabupaten Rokan Hilir seluas 1.700 hektar, kabupaten Siak kurang lebih 2.054 hektar, serta kabupaten lain-lain yang telah memasukkan areal perkebunan sawit untuk diubah dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan/APL sebagaimana diminta Gulat.

Pengacara Gulat juga sempat membacakan Berita Acara Pemeriksaan Annas yang menyatakan bahwa uang Rp2,9 miliar tersebut diperuntukkan untuk anggota Komisi IV DPR.

"Di BAP 65, saudara saksi menjelaskan maksud saya mengatakan untuk DPR RI Rp2,9 miliar adalah alokasi uang Rp2,9 miliar untuk anggota Komisi IV sebanyak 64 orang dengan harapan DPR mau memberikan persetujuan terhadap kawasan hutan yang kami ajukan ke Menhut, apakah ini benar?" tanya anggota tim penasihat hukum Gulat.

Annas lalu membenarkan keterangan tersebut.

Seusai sidang, Annas mengatakan uang itu untuk penginapan anggota Komisi IV bidang Kehutanan DPR RI.

"Iya mengurus ke DPR, besok umpama di DPR kita rapat di hotel ini, kita yang bayar. Uang saku belum ada," ungkap Annas.

Namun Annas membantah akan memberikan uang kepada Menteri Kehutanan Zulkfifli Hasan.

"Tidak, tidak, tidak," jawab Annas saat ditanya mengenai pemberian uang ke Zulkifli.

Dalam perkara ini, Gulat didakwa berdasarkan pasal 5 ayat 1 huruf b subsider pasal 13 UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi.

Pasal tersebut mengatur mengenai memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.