Ini alasannya transaksi ikan sering di tengah laut
14 Januari 2015 12:33 WIB
ilustrasi - Seorang Anak Buah Kapal (ABK) kapal penangkap ikan menunjukkan muatan hasil tangkapan ikan hiu (ANTARA FOTO/Izaac Mulyawan)
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi dari Universitas Sam Ratulangi Manado Agus Tony Poputra mengatakan, penjualan komoditas perikanan di tengah laut oleh nelayan kerap dilakukan antara lain karena efisiensi jarak.
"Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan nelayan lokal melakukan transaksi penjualan di tengah laut dengan kapal nelayan asing," kata Agus Tony Poputra dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.
Poputra memaparkan, faktor pertama adalah jarak ke tempat penampungan ikan atau lokasi perusahaan pengolah ikan domestik relatif jauh sehingga menambah biaya bahan bakar minyak (BBM) bagi nelayan lokal.
Hal itu, ujar dia, diperburuk dengan harga BBM di daerah perbatasan atau "remote area" (kawasan terpencil) yang relatif mahal, dapat mencapai kisaran Rp20.000 per liter pada waktu-waktu tertentu.
Faktor kedua adalah harga ikan di pasar domestik jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga yang ditawarkan oleh nelayan asing.
"Kebijakan lainnya yang membuat nelayan lokal merana adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 57/PERMEN-KP/2014 yang melarang alih muatan ikan di tengah laut dari kapal nelayan ke kapal penampung," katanya.
Kebijakan itu, menurut Susi, memperpendek daya jelajah dari kapal-kapal nelayan lokal. Akibatnya terjadi penurunan hasil tangkapan nelayan lokal karena umumnya kapal mereka tidak didukung dengan keberadaan "cold storage" (mesin pendingin).
Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) Herwindo mengeluhkan penurunan mutu ikan tuna yang antara lain karena kebijakan pelarangan transshipment atau pengalihmuatan di tengah laut.
"Dampak pelarangan transshipment dengan kapal-kapal angkut yang menuju pelabuhan Indonesia adalah jumlah tangkapan tuna makin sedikit dan terjadi penurunan mutu," kata Herwindo kepada Antara, Senin (12/1).
"Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan nelayan lokal melakukan transaksi penjualan di tengah laut dengan kapal nelayan asing," kata Agus Tony Poputra dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.
Poputra memaparkan, faktor pertama adalah jarak ke tempat penampungan ikan atau lokasi perusahaan pengolah ikan domestik relatif jauh sehingga menambah biaya bahan bakar minyak (BBM) bagi nelayan lokal.
Hal itu, ujar dia, diperburuk dengan harga BBM di daerah perbatasan atau "remote area" (kawasan terpencil) yang relatif mahal, dapat mencapai kisaran Rp20.000 per liter pada waktu-waktu tertentu.
Faktor kedua adalah harga ikan di pasar domestik jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga yang ditawarkan oleh nelayan asing.
"Kebijakan lainnya yang membuat nelayan lokal merana adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 57/PERMEN-KP/2014 yang melarang alih muatan ikan di tengah laut dari kapal nelayan ke kapal penampung," katanya.
Kebijakan itu, menurut Susi, memperpendek daya jelajah dari kapal-kapal nelayan lokal. Akibatnya terjadi penurunan hasil tangkapan nelayan lokal karena umumnya kapal mereka tidak didukung dengan keberadaan "cold storage" (mesin pendingin).
Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) Herwindo mengeluhkan penurunan mutu ikan tuna yang antara lain karena kebijakan pelarangan transshipment atau pengalihmuatan di tengah laut.
"Dampak pelarangan transshipment dengan kapal-kapal angkut yang menuju pelabuhan Indonesia adalah jumlah tangkapan tuna makin sedikit dan terjadi penurunan mutu," kata Herwindo kepada Antara, Senin (12/1).
Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015
Tags: