Jakarta (ANTARA News) - Tim Disaster Victim Identification (DVI) asal Uni Emirat Arab (UEA) dan Korea Selatan bergabung dengan DVI Indonesia untuk membantu proses identifikasi korban kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501.

Menurut Humas DVI Kepolisian Daerah Jawa Timur Kombes Awi Setiyono, tim DVI UEA yang berjumlah lima orang dan satu ahli identifikasi dari Korea Selatan tiba di Surabaya, Jawa Timur, pada Selasa, dan langsung berkoordinasi dengan tim DVI Indonesia.

Kombes Awi mengatakan bergabungnya kedua negara tersebut menambah jumlah bantuan proses identifikasi dari negara sahabat menjadi 20 orang, yakni10 orang dari Singapura, empat orang dari Australia, dan lima orang dari UEA, dan satu orang dari Korea Selatan.

Awi menambahkan tim Singapura telah bergabung sejak tiga hari lalu (4/1) dan Australia bergabung sejak dua hari lalu (5/1).

"Indonesia juga merupakan anggota DVI International, yakni organisasi lintas batas negara yang berkomunikasi melalui Interpol, sehingga setiap DVI di setiap negara dapat mengetahui jika ada suatu kejadian di belahan bumi yang lain. Begitu pula saat musibah kecelakaan AirAsia ini terjadi, beberapa dari mereka berempati dan datang untuk membantu proses identifikasi," jelas Awi.

Dengan bantuan tim DVI dari negara-negara sahabat tersebut, Awi mengakui kinerja tim Indonesia menjadi terbantu dan menambah kecepatan dalam menganalisis setiap kesulitan yang dialami dalam proses identifikasi.

"Polda Jatim sebagai koordinator akan mengarahkan pos kerja mereka sesuai keahlian mereka, dan sifat mereka adalah membantu tim kita (Indonesia) apakah dalam tim identifikasi sidik jari, patologi atau fisiologi. Dan setiap bagian bekerja secara paralel," kata dia.

Tim DVI Indonesia s telah mengerahkan total 229 ahli forensik untuk melakukan proses identifikasi korban kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501, dengan jumlah terbanyak pada tim pengumpulan data antemortem.

Terkait dengan pengumpulan data antemortem, Awi mengatakan tim DVI harus bekerja secara detail dan mendapatkan data selengkap mungkin, terutama yang terkait dengan sampel DNA sehingga memakan waktu yang lama.

"Bahkan tim juga akan turun langsung, datang ke rumah korban untuk mencari jejak DNA mereka, seperti sikat gigi, pakaian yang belum dicuci, atau sisir yang biasa digunakan," ujar dia.

Menurut Awi, memunculkan profil seseorang (profiling) melalui uji DNA merupakan proses yang paling memakan waktu lama, baik saat pengumpulan data maupun tes di laboratorium.

"Memang ada negara-negara sahabat ini yang menawarkan untuk meneliti DNA di Singapura atau Australia. Itu pun, dari sampel DNA yang kita sampaikan untuk menjadi data yang bisa dibaca sebagai sebuah profil membutuhkan waktu tiga minggu," ujar dia.