Jakarta (ANTARA News) - Para pakar penerbangan Singapura meyakini bahwa AirAsia Indonesia QZ8501 mengalami stall karena terbang dalam kecepatan yang terlalu pelan dari yang seharusnya, lapor media Singapura The Straits Times.
Stall adalah kondisi dimana gaya angkat pesawat terbang turun secara tiba-tiba.
Geoffrey Thomas, pakar penerbangan sekaligus editor pada airlineratings.com, yakin bahwa ketika menaikkan ketinggian pesawat untuk menghindari hujan badai, pilot mungkin mengalami stall aerodinamis seperti dialami pesawat Air France AF477 yang jatuh dan karam di Samudera Atlantik pada 2009.
Straits Times juga mengutipkan cuitan konsultan penerbangan Indonesia bernama Gerry Soejatman setelah mendapatkan bocoran gambar pada layar menar pengawas udara (ATC) yang memperlihatkan QZ8501.
Dalam cuitan di Twitter itu, Gerry mengungkapkan keterkejutannya karena pesawat hilang itu naik ke ketinggian 36.300 kaki namun dengan kecepatan hanya 353 knot. Padahal sebuah pesawat milik maskapai Emirates yang juga terlihat pada layar ATC yang sama tengah naik ke ketinggian sama tetapi dengan memacu pada kecepatan 503 knot.
"QZ8501 terbang terlalu pelan, sekitar 100 knot yang kira-kira 160 km per jam kelewat pelan. Pada ketinggian seperti itu berbahaya sekali," kata Thomas kepada laman koran Australia, Herald Sun.
"Saya punya skenario radar yang menunjukkan dia (pilot) tengah berada pada ketinggian 36.000 kaki, lalu naik dengan kecepatan 353 knot yang kira-kira 100 knot lebih pelan, jika radar itu betul, maka dia terbang terlalu pelan untuk ketinggian yang dia terbangi saat itu."
Mengutip Jakarta Post, Straits Times melanjutkan bahwa QZ8501 semula terbang pada ketinggian 32.000 kaki, namun sang pilot diketahui menghubungi ATC di Jakarta pada pukul 6.12 pagi guna meminta terbang pada ketinggian 38.000 kaki dan berusaha ke sisi kiri dari rute seharusnya demi menghindari awan tebal yang berada di depan pesawat.
ATC Jakarta diberitakan meluluskan permintaan menyamping ke kiri dari sang pilot, namun menolak permintaan terbang ke ketinggian lebih tinggi karena ada pesawat lain pada ketinggian itu.
Para pilot dan pakar penerbangan mengatakan hujan badai dan permintaan menaikkan ketinggian terbang untuk menghindari badai adalah biasa di area itu, namun radar A320 mungkin mengadapi masalah sewaktu keadaan berhujan badai seperti itu.
"Performa pesawat secara langsung berhubungan dengan temperatur di luar, sedangkan menaikkan ketinggian terbang bisa membekukan radar statis sehingga pilot menjadi salah membaca radar," kata seorang pilot maskapai Australia Qantas Airways yang berpengalaman terbang selama 25 tahun, kepada Reuters.
Pilot yang meminta jati dirinya tidak diungkapkan tersebut menambahkan bahwa pada situasi seperti itu pilot menjadi bertindak keliru saat mengendalikan pesawatnya.
Kondisi cuaca yang ekstrem turut memperburuk keadaan, sambung Thomas.
"Dia (pilot) menjadi terjebak pada udara yang bergerak masif ke atas (massive updraft) atau semacam itu. Segalanya sesuatu menjadi sangat kacau."
Sebagai perbandingan, Air France AF447 jatuh menghujam Samudera Atlantik pada 2009 sewaktu terbang dari Rio de Janeiro ke Paris.
Saat itu ATC Prancis mengungkapkan, pesawat tersebut juga terbang pada kondisi badai dan lalu membentuk kristal es pada instrumen pesawat sehingga sistem autopilot tidak berfungsi.
Pilot AF477 lalu mengambil langkah yang salah ketika pesawat mengalami stall, demikian kesimpulan laporan penyelidikan otoritas penerbangan Prancis menyangkut AF477.
Pesawat ini lalu menghilang dari angkasa, kemudian menghujam samudera dengan menewaskan semua dari 228 penumpang dan awak yang berada di dalamnya, demikian Straits Times.
Ini analisis pakar asing mengenai hilangnya QZ8501
30 Desember 2014 13:53 WIB
(ANTARA FOTO/Lucky.R)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014
Tags: