Jakarta (ANTARA News) - Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia Mudzakir menilai Kejaksaan Agung tidak menyalahi aturan jika mengundurkan pelaksanaan eksekusi terpidana mati yang tengah mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

"Hak terpidana harus diihargai, tidak boleh dinafikkan. Hak terpidana mengajukan PK sah-sah saja jika merasa ada bukti baru," kata dia di Jakarta, Sabtu.

Ia menyatakan hak yuridis terpidana mati untuk mengajukan PK terlebih putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 menyatakan PK dapat dilakukan lebih dari satu kali selama ada novum (bukti) baru.

Dia mengatakan, jika pun eksekusi hendak dilakukan tetapi ternyata terpidana mengajukan PK, maka proses PK ini harus dihargai sampai berakhir.

Menurut Mudzakir, PK sekaligus berfungsi sebagai kontrol atau evaluasi dari kemungkinan ada human error dalam putusan-putusan sebelumnya.

MA harus segera memprosesnya sehingga kepastian hukum dapat diberikan.

"Tugas MA harus segera memroses apakah novum diajukan diterima. Kalau MA mempertimbangkan tidak membuat perkara bebas, maka eksekusi hukuman mati bisa lakukan. MA jangan menjual waktu. MA harus cepat memproses PK itu," kata dia.

Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Trisaksi Jakarta Abdul Fickar Hadjar mengemukakan, meski bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM), hukuman mati masih menjadi hukum positif yang masih berlaku di Indonesia.

"Karenanya pemerintah sebagai penegak hukum, dalam hal ini kejaksaan harus tetap melaksanakan itu," tandas dia.

Fickar menilai MA harus melihat secara seksama apakah materi PK yang diajukan terpidana memiliki perubahan atau tidak.

"Harus dilihat sudah berapa kali PK. Kalau isinya diajukaan itu-itu saja, maka tidak ada alasan untuk menunda eksekusi. Tapi secara formal orang mengajukan upaya hukum maka harus dihormati. Walau MA menegaskan tidak menunda eksekusi, tapi harus diperhatikan juga," ucapnya.

Ia menambahkan, untuk mencegah PK tidak menjadi alat terpidana dalam mengulur waktu eksekusi, maka MA harus memiliki terobosan dengan mengeluarkan Surat Edaran MA (SEMA).

"Harus ada ketentuan MA, misal, PK sampai tiga kali dengan materi itu-itu saja harus diltolak. Tidak bisa Kejaksan Agung memaksakan jika PK masih dilakukan," kata dia.