Jakarta (ANTARA News) - Sepekan menjelang pergantian tahun, janji pelaksanaan eksekusi mati terhadap enam terpidana belum juga diwujudkan oleh Kejaksaan Agung, padahal gaungnya sejak satu bulan terakhir menggema.

Setidaknya rencana itu akan membuat keder para pelaku tindak kejahatan, khususnya narkoba. Namun, sayangnya janji itu tidak berjalan mulus seperti yang diperkirakan.

Di tengah jalan, tiba-tiba muncul satu tambahan nama terpidana yang akan dieksekusi. Belakangan berubah kembali yang akan dieksekusi tahun ini hanya dua orang, dan itu pun bukan kasus narkoba, melainkan kasus pembunuhan berencana.

Empat nama lagi kalau menggunakan istilah dari Kejagung, bukan dibatalkan, melainkan di-"delay" mengingat adanya putusan permohonan peninjauan kembali (PK) bisa dilakukan lebih dari satu kali. Hingga Kejagung harus menunggu fatwa dari Mahkamah Agung (MA) untuk melakukan eksekusi terhadap keempat terpidana mati itu.

Belum dilaksananakan eksekusi yang dijanjikan sebelumnya, menimbulkan tanda tanya apakah ada tarik ulur di dalam pelaksanaan eksekusi mati itu. Pasalnya, belakangan terakhir juga muncul pro dan kontra hukuman mati.

Jaksa Agung H.M. Prasetyo juga membantah pelaksanaan eksekusi terhadap sejumlah terpidana mati 2014 akan dibatalkan.

"Nggak ada yang bilang itu, kalian itu salah kutip itu, nggak ada istilah dibatalkan," katanya.

Ia juga mengaku sudah membicarakan hal itu dengan Mahkamah Agung (MA) untuk mencari solusi adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali (PK) bisa dilakukan lebih dari satu kali.

"Kita bersama MA akan mengeluarkan apakah Perma atau apakah apa pun yang itu nantinya tentunya memberikan pembatasan pengajuan PK oleh terpidana mati. Sekarang kan nggak ada batas waktu," ucapnya.

Ia menyoroti pula terpidana yang sudah mengajukan grasi, tetapi bisa mengajukan PK. Itu menjadi perdebatan.

Semestinya kalau sudah grasi, sudah mengaku salah dan minta ampun, tidak ada lagi upaya hukum. "Akan tetapi, faktanya sekarang kan seperti itu," ujarnya.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Tony T. Spontana memastikan akhir tahun ini bakal mengeksekusi dua terpidana mati yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap.

"Mudah-mudahan sesuai dengan rencana, tinggal tim di daerah menentukan hari yang terbaik," kata Kapuspenkum Kejagung Tony T. Spontana.

Kapuspenkum mengatakan bahwa kedua terpidana yang akan dieksekusi itu dalam kasus tindak pidana umum atau pembunuhan dan direncanakan hukuman dilakukan di Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah.

Kedua terpidana mati itu, yakni berinisial GS, kasus pembunuhan berencana di Jakarta Utara, dan TJ, kasus pembunuhan berencana di Tanjung Balai Karimun, Riau.

Sementara itu, empat terpidana mati lainnya yang semula akan dieksekusi pada tahun ini ditunda dahulu karena masih menunggu kepastian hukumnya. Keempat terpidana mati itu terkait dengan kasus narkoba.

Ia menegaskan tidak ada pembatalan atau alasan lain yang dapat membatalkan rencana eksekusi tersebut.

Kendati demikian, dia mengakui bahwa pihaknya akan berkoordinasi dengan Mahkamah Agung soal adanya pengajuan PK lebih dari dua kali sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

"Tentunya, kami akan berkoordinasi dengan MA soal adanya pengajuan PK lebih dari dua kali itu," katanya.



Desakan

Sementara itu, Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mengatakan bahwa terpidana mati boleh mengajukan permohonan PK. Namun, kecil kemungkinan diterima.

"Jadi, boleh terpidana mati mengajukan PK. Akan tetapi, kecil kemungkinan diterima," katanya.

Hatta menegaskan bahwa yang bisa menghentikan hukuman mati hanya presiden melalui permohonan grasi.

Ia juga mengatakan bahwa PK itu tidak menghambat eksekusi mati karena permohonan PK itu harus disertai dengan bukti baru (novum).

"Peninjauan kembali boleh asal ada novum, dan itu tidak gampang," katanya.

Gerakan Anti-Narkotika Nasional (Granat) Sumatera Utara meminta pemerintah melalui kejaksaan agar mempercepat pelaksanaan eksekusi mati terhadap narapidana (napi) narkoba yang telah divonis hukuman mati.

"Pelaksanaan hukuman mati tersebut harus segera dilaksanakan dan tidak usah ditunda-tunda lagi karena ini adalah ketentuan undang-undang," kata Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Granat Sumut Hamdani Harahap.

Apalagi, menurut dia, sebanyak 64 orang terpidana mati kasus narkoba warga negara asing dan Indonesia telah ditolak. Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menolak permohonan grasi mereka (pengampunan).

"Dengan ditolaknya permohonan grasi tersebut, tidak ada upaya hukum lagi yang dilakukan para terpidana mati kasus narkoba itu," ujar Hamdani.