Jakarta (ANTARA News) - Tren investasi baru kertas cokelat untuk kemasan di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan industri makanan minuman dan elektronik.




"Kecenderungan investasi baru itu sekarang kertas cokelat, karena bahan bakunya sama-sama impor, yaitu dari waste paper (kertas bekas)," ujar Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian Pranata di Jakarta, Selasa.




Pranata mengatakan, kebutuhan kertas cokelat untuk kemasan akan meningkat seiring dengan pertumbuhan industri makanan minuman dan elektronika, yang kerap membutuhkan kemasan pembungkus.




"Industri makanan minuman tumbuh cepat, berarti industri kemasannya juga ikut tumbuh. Industri elektronika juga berkembang pesat, berarti industri kemasan juga akan ikut," ujarnya.





Ke depan, lanjutnya, industri untuk membuat kemasan ini tidak akan melambat, mengingat barang pendukung komoditi-komoditi lain ini dijual bersama industri makanan minuman yang diprediksi tumbuh pesat.




Terkait pemberlakuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) bagi industri pulp dan kertas, Pranata mengatakan bahwa jika hal ini wajib diterapkan pada Januari 2015 tanpa keringanan, maka akan mengganggu ekspor.




"Januari kalo emang harus, ada senggang waktu setengah tahun untuk proses inspeksi tetep jalan. Tidak boleh langsung di 'cut'. Kalau di 'cut' harus SVLK, ekspornya langsung terganggu," ujar Pranata.




Bahkan, lanjut Pranata, pihaknya menginginkan SVLK untuk industri pulp dan kertas tidak diberlakukan, karena merupakan industrihilir yang bahan bakunya sudah legal.




"Kami yakin tidak setuju, bahkan saya ingin kertas itu keluar dari SVLK. Karena kertas itu produk hilir, bahan bakunya pulp, dan pulp itu sudah legal. Secara rasio harusnya itu yang jadi pemikiran," kata Pranata.