Jamu kimia Indonesia ditolak di luar negeri
19 Desember 2014 13:07 WIB
Menteri Perdagangan Rahmat Gobel (kedua kanan) berbincang dengan penjual jamu gendong Sri Lestari (kanan) didampingi Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani (ketiga kanan), Menteri Koperasi dan UKM Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga (keempat kanan), Puteri Indonesia 2014 Elvira Devinamira (kiri) dan Presdir Mustika Ratu Mustika Ratu, Putri Kuswisnu Wardani saat pencanangan gerakan minum jamu di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Jumat (19/12). (ANTARA FOTO/Fanny Octavianus)
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Perdagangan Rachmat Gobel mengatakan jamu Indonesia banyak ditolak di luar negeri, khususnya yang mengandung bahan kimia.
"Kita mesti pisahkan jamu kimia dan tradisional karena banyak jamu kimia kita ditolak di luar negeri," kata Rachmat dalam pencanangan gerakan minum jamu tiap Jumat di Kantor Kementerian Perdagangan Jakarta, Jumat.
Salah satu negara yang menolak keras jamu Indonesia yang berbahan kimia, kata dia, adalah Brunei Darussalam.
"Makanya kita harus ciptakan industri jamu yang sehat," katanya berpesan.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Industri Tradisional Berbasis Budaya, Putri K Wardani, dalam kesempatan yang sama, menyayangkan banyaknya jamu berbahan kimia yang beredar.
Padahal, Indonesia memiliki potensi sumber daya yang begitu besar karena merupakan negara terbesar kedua di dunia setelah Brazil yang memiliki varietas tanaman berkhasiat. Itu pun belum termasuk varietas tanaman laut.
"Makanya masyarakat harus cerdas memilih. Mendag juga tadi meminta ibu-ibu pedagang jamu agar tidak menggunakan unsur kimia dalam jamu mereka," katanya.
Wanita yang juga menjabat sebagai Presiden Direktur PT Mustika Ratu Tbk itu mengungkapkan memang banyak penjual jamu yang memasukkan unsur kimia dalam produk mereka.
Hal itu dilakukan oleh pedagang yang tidak bertanggungjawab demi memberi kesan manjur yang instan.
"Padahal itu sangat berbahaya. Kalau dengan bahan alami, jamu yang diminum berlebihan kan bisa dibuang sendiri oleh tubuh. Kalau bahan kimia bisa jadi racun. Makanya belanja jamu juga harus cerdas," katanya.
Oleh karena itu, Putri menyarankan masyarakat untuk selalu cermat memilih jamu. Hal itu bisa dimulai dengan lebih teliti melihat komposisi racikan jamu dan mengecek perusahaan produsen jamu.
"Yang perlu diketahui masyarakat, jamu asli dengan ramuan alami tidak mungkin berbahaya," ujarnya.
(A062)
"Kita mesti pisahkan jamu kimia dan tradisional karena banyak jamu kimia kita ditolak di luar negeri," kata Rachmat dalam pencanangan gerakan minum jamu tiap Jumat di Kantor Kementerian Perdagangan Jakarta, Jumat.
Salah satu negara yang menolak keras jamu Indonesia yang berbahan kimia, kata dia, adalah Brunei Darussalam.
"Makanya kita harus ciptakan industri jamu yang sehat," katanya berpesan.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Industri Tradisional Berbasis Budaya, Putri K Wardani, dalam kesempatan yang sama, menyayangkan banyaknya jamu berbahan kimia yang beredar.
Padahal, Indonesia memiliki potensi sumber daya yang begitu besar karena merupakan negara terbesar kedua di dunia setelah Brazil yang memiliki varietas tanaman berkhasiat. Itu pun belum termasuk varietas tanaman laut.
"Makanya masyarakat harus cerdas memilih. Mendag juga tadi meminta ibu-ibu pedagang jamu agar tidak menggunakan unsur kimia dalam jamu mereka," katanya.
Wanita yang juga menjabat sebagai Presiden Direktur PT Mustika Ratu Tbk itu mengungkapkan memang banyak penjual jamu yang memasukkan unsur kimia dalam produk mereka.
Hal itu dilakukan oleh pedagang yang tidak bertanggungjawab demi memberi kesan manjur yang instan.
"Padahal itu sangat berbahaya. Kalau dengan bahan alami, jamu yang diminum berlebihan kan bisa dibuang sendiri oleh tubuh. Kalau bahan kimia bisa jadi racun. Makanya belanja jamu juga harus cerdas," katanya.
Oleh karena itu, Putri menyarankan masyarakat untuk selalu cermat memilih jamu. Hal itu bisa dimulai dengan lebih teliti melihat komposisi racikan jamu dan mengecek perusahaan produsen jamu.
"Yang perlu diketahui masyarakat, jamu asli dengan ramuan alami tidak mungkin berbahaya," ujarnya.
(A062)
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014
Tags: