Jakarta (ANTARA News) - Organisasi masyarakat Solidaritas Perempuan menagih janji pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk melindungi hak dan keselamatan warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri, khususnya pekerja migran, sebagaimana pernah dijanjikan dalam kampanye Pemilu 2014.

Sepanjang tahun 2011 Kementerian Luar Negeri mencatat adanya 38.880 kasus yang menimpa buruh migran Indonesia di luar negeri. Sementara, pada 2013 pengaduan yang diterima oleh BNP2TKI mencapai 4.432 pengaduan, kata Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan,Wahidah Rustam, dalam siaran pers yang diterima ANTARA, Kamis.

Kasus-kasus yang diterima terdiri dari berbagai jenis kasus, mulai dari gaji tidak dibayar, kekerasan oleh majikan, meninggal dunia, trafficking, hingga ancaman hukuman mati.

Kementerian Luar Negeri mencatat, sepanjang 2011--2014 terdapat lebih dari 400 kasus ancaman hukuman mati yang dialami oleh buruh migran di berbagai negara tujuan. Sebanyak 46 buruh migran telah berhasil dibebaskan dari ancaman hukuman mati, namun demikian pada tahun yang sama juga muncul 47 kasus baru.

"Data tersebut menunjukan bahwa upaya yang dilakukan tidak strategis dalam penghapusan atau setidaknya mengurangi secara signifikan kekerasan dan pelanggaran hak yang dialami oleh buruh migran. Persoalan kekerasan dan pelanggaran hak yang dialami buruh migran telah terjadi secara tersistematis,"

Untuk merealisasikan janji melindungi buruh migran, Solidaritas Perempuan mendesak agar pemerintah merevisi UU No. 39 Tahun 2004, dan menyelaraskan Konvensi Migran 90, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan pemberantasan perdagangan manusia dengan mengimplementasikan UU PPTPO.

Pemerintah juga harus mewujudkan sistem perlindungan yang komprehensif bagi buruh migran dan keluarganya di setiap tahapan migrasi.

Caranya dengan menciptakan sistem terintegrasi antar kementerian dan lembaga, baik di tingkat pusat maupun daerah terkait sistem database, informasi, sistem pengawasan, hingga sistem pendampingan dan penanganan kasus buruh migran.

Ini termasuk pengadaan shelter yang manusiawi, serta meningkatkan kuantitas dan kualitas staf di institusi pemerintahan terkait perlindungan buruh migran, di dalam maupun di luar negeri.

Solidaritas Perempuan juga meminta agar pemerintah melibatkan masyarakat sipil dan kelompok buruh migran dalam penyusunan kebijakan, perencanaan program, implementasi, dan evaluasi program dan menyediakan anggaran untuk perlindungan hak buruh migran yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Rekomendasi berikutnya adalah tindakan diplomatik internasional terhadap negara tujuan buruh migran untuk memastikan perlindungan hak buruh migran Indonesia di negara tujuan.