Kekerasan terhadap PRT luar biasa namun DPR tak sahkan RUU PPRT
15 Desember 2014 02:44 WIB
Pimpinan DPR Baru. Ketua DPR periode 2014-2015 Setya Novanto (kedua kanan) mengacungkan palu, didampingi Wakil Ketua DPR Fadli Zon (kedua kiri), Agus Hermanto (kedua kiri), Taufik Kurniawan (kanan), dan Fahri Hamzah (kiri) usai diambil sumpah sebagai Pimpinan DPR periode 2014-2019 di sidang paripurna pemilihan pimpinan DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis dini hari (2/10). (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean)
Jakarta (ANTARA News) - Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sudah ada selama 10 tahun atau dua periode di DPR, tetapi tak kunjung dibahas.
Tampaknya terdapat tarik ulur kepentingan yang cukup kuat di dalam parlemen sehingga RUU tersebut tak kunjung dibahas dan disahkan.
Karena itu, melihat pentingnya RUU tersebut segera disahkan menjadi undang-undang, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendesak DPR periode 2014-2019 untuk memasukkan RUU PRT dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) serta segera mengesahkan menjadi undang-undang.
Pengesahan RUU tersebut dinilai mendesak karena masih banyak permasalahan yang dialami PRT terkait pemberian hak-haknya dan kasus kekerasan.
Pantauan Jala PRT melalui pendampingan dan pemberitaan media, pada 2014 terjadi 408 kasus kekerasan terhadap PRT. Sebanyak 90 persen merupakan multikasus mulai dari kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan perdagangan manusia, dengan pelaku majikan dan agen penyalur.
Dari seluruh kasus tersebut, 85 persen terhenti proses hukumnya di kepolisian. Hal itu dinilai tidak menimbulkan efek jera sehingga kekerasan terhadap PRT terulang.
"Pengesahan RUU PPRT sudah sangat mendesak. Selama ini PRT seringkali bekerja dalam situasi yang mengecualikan hak-haknya," kata Koordinator Jala PRT Lita Anggraini.
Lita mengatakan banyak PRT yang tidak mendapatkan upah layak. Dia mencontohkan ada PRT di Jakarta yang sudah bekerja selama tujuh tahun masih hanya menerima gaji Rp700 ribu dan tidak mendapatkan libur karena selama ini tinggal di rumah majikan.
Selain itu, PRT juga rentan terhadap kekerasan. Masih di Jakarta, terdapat kejadian PRT dipukuli dan diperintah majikan untuk menjilat susu yang tumpah ke lantai.
"Namun, kasus-kasus itu seringkali dihentikan oleh kepolisian atau ditolak oleh pengadilan. Karena itu, kami mendesak RUU PPRT disahkan setelah dua periode seolah sengaja diabaikan oleh DPR," tuturnya.
Sementara itu, pengacara publik dari LBH Jakarta Pratiwi Febry mengatakan pengesahan RUU PPRT akan banyak membawa perubahan, termasuk dalam menciptakan kemandirian anak dalam keluarga.
"Selama ini, PRT sering harus membantu anak menyiapkan baju seragam dan sepatu sekolah anak hingga menyusun buku-buku pelajarannya. Adanya UU PPRT akan bisa mendorong kemandirian anak," katanya.
Karena masih banyak permasalahan yang dialami PRT terkait pemberian hak-haknya dan kasus kekerasan, maka Jala PRT dan LBH Jakarta menilai pengesahan RUU PPRT.
Lita Anggraini mengatakan pemberian hak-hak PRT harus dilakukan dengan mengakui bahwa PRT adalah pekerja. Selama ini, PRT tidak dianggap sebagai pekerja sehingga hak-haknya diabaikan.
"PRT selama ini tidak mendapatkan hak-haknya, seperti upah yang layak dan hari libur, karena selama ini tidak diakui sebagai pekerja," kata Lita.
Hak lain yang selama tidak diperoleh PRT adalah jaminan sosial ketenagakerjaan. Karena tidak diakui sebagai pekerja maka selama ini PRT tidak mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan.
Karena itu, bila Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) disahkan, Jala PRT mendesak didalamnya mengatur keikutsertaan PRT dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
"Hak PRT untuk berkomunikasi dan berorganisasi juga selama ini tidak pernah diberikan. Masih banyak majikan yang melarang PRT untuk berorganisasi," tuturnya.
Hak lain yang selama ini seringkali diabaikan adalah hak PRT atas keamanan dan keselamatan kerja. Terjadi beberapa kasus PRT yang bekerja di apartemen dikunci di dalam oleh majikan ketika pergi.
"Tentu membahayakan bila terjadi kebakaran karena PRT tidak bisa keluar. Selama ini PRT juga tidak pernah mendapatkan pelatihan untuk menghadapi kebakaran dan sebagainya. Pekerjaan PRT masih dianggap tanpa risiko," katanya.
Legislator Tak Profesional
Sementara itu, Pratiwi Febry mengatakan anggota DPR di Komisi IX dan Badan Legislasi banyak yang tidak profesional dalam membahas RUU PPRT sehingga tak kunjung disahkan menjadi undang-undang.
"Mereka tidak menempatkan diri sebagai anggota DPR, tetapi majikan sehingga mereka berpikir RUU itu bisa berdampak kepada mereka untuk harus memberikan upah yang lebih besar," kata Pratiwi.
Hambatan lain dalam pengesahan RUU PPRT di DPR adalah adanya anggapan bahwa hubungan kerja antara majikan dengan PRT yang bersifat kekeluargaan. RUU PPRT dikhawatirkan bisa merusak kekeluargaan yang menjadi ciri Indonesia.
"Itu semua harus diubah. PRT harus diakui sebagai pekerja sehingga hak-haknya diberikan. Jangan karena dianggap sebagai relasi keluarga, lalu PRT tidak dibayar layak," tuturnya.
Padahal, Pratiwi mengatakan beberapa federasi pekerja sudah mengakui PRT sebagai pekerja dan mendesak pemberian upah berdasarkan jam kerja.
"PRT sekarang sudah tidak hanya bekerja di keluarga kelas menengah atas, tetapi juga keluarga menengah seperti buruh yang selama ini juga memperjuangkan upah layak," tukasnya.
Karena itu, Kepala Divisi Migrasi, Trafficking dan HIV/AIDS Nisaa Yura mengatakan diperlukan perubahan paradigma kolektif untuk mengakui PRT sebagai pekerja.
"Permasalahan yang dihadapi PRT selama ini adalah adanya paradigma kolektif yang belum mengakui PRT sebagai pekerja," kata Nisaa Yura.
Nisaa mengatakan masih banyak orang yang selama ini menganggap PRT bukan pekerjaan yang penting sehingga hak-haknya diabaikan. Padahal, majikan bisa bekerja dengan tenang di sektor publik karena di rumahnya sudah ada PRT yang mengerjakan pekerjaan rumah.
Paradigma kolektif yang menganggap PRT bukan pekerjaan penting tidak hanya berdampak pada PRT di Indonesia. Nisaa mengatakan hal itu juga berdampak pada pekerja migran yang bekerja di luar negeri sebagai PRT.
"Karena masih ada paradigma kolektif itu, diplomasi Indonesia juga belum memprioritaskan kasus-kasus yang membelit PRT migran di luar negeri," tuturnya.
Karena itu, selain mendesak DPR untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT (RUU PPRT), Solidaritas Perempuan juga mendesak pemerintah untuk meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) Nomor 189 tentang PRT.
"Presiden Indonesia termasuk yang mendukung Konvensi ini, tetapi Indonesia malah belum meratifikasi menjadi undang-undang, " ujarnya.
Dibahas Januari
Sementara itu, anggota Komisi IX dan Badan Legislasi DPR Rieke Diah Pitaloka mengatakan akan mengupayakan RUU PPRT masuk ke dalam Prolegnas dalam persidangan DPR pada Januari 2015.
"Sikap PDI Perjuangan tidak berubah. Dalam rapat kerja nasional, RUU PPRT tetap menjadi prioritas di parlemen," kata Rieke Diah Pitaloka.
Politisi PDI Perjuangan itu mengatakan RUU tersebut sudah ada dalam agenda DPR periode sebelumnya, tetapi saat itu dukungan anggota parlemen lainnya kurang kuat.
Karena itu, Rieke mengatakan dalam upaya mendapat dukungan lebih besar untuk mengesahkan RUU PPRT, dia akan melakukan koordinasi baik di Baleg maupun Komisi IX.
"Karena tidak bisa bila yang berjuang hanya satu atau dua orang saja. Pengesahan RUU ini perlu dukungan yang kuat dari anggota parlemen lainnya," tuturnya.
Menurut Rieke, pengesahan RUU tersebut sangat mendesak karena hubungan antara majikan dengan PRT saat ini masih sangat mengedepankan kultur feodalisme.
Tampaknya terdapat tarik ulur kepentingan yang cukup kuat di dalam parlemen sehingga RUU tersebut tak kunjung dibahas dan disahkan.
Karena itu, melihat pentingnya RUU tersebut segera disahkan menjadi undang-undang, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendesak DPR periode 2014-2019 untuk memasukkan RUU PRT dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) serta segera mengesahkan menjadi undang-undang.
Pengesahan RUU tersebut dinilai mendesak karena masih banyak permasalahan yang dialami PRT terkait pemberian hak-haknya dan kasus kekerasan.
Pantauan Jala PRT melalui pendampingan dan pemberitaan media, pada 2014 terjadi 408 kasus kekerasan terhadap PRT. Sebanyak 90 persen merupakan multikasus mulai dari kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan perdagangan manusia, dengan pelaku majikan dan agen penyalur.
Dari seluruh kasus tersebut, 85 persen terhenti proses hukumnya di kepolisian. Hal itu dinilai tidak menimbulkan efek jera sehingga kekerasan terhadap PRT terulang.
"Pengesahan RUU PPRT sudah sangat mendesak. Selama ini PRT seringkali bekerja dalam situasi yang mengecualikan hak-haknya," kata Koordinator Jala PRT Lita Anggraini.
Lita mengatakan banyak PRT yang tidak mendapatkan upah layak. Dia mencontohkan ada PRT di Jakarta yang sudah bekerja selama tujuh tahun masih hanya menerima gaji Rp700 ribu dan tidak mendapatkan libur karena selama ini tinggal di rumah majikan.
Selain itu, PRT juga rentan terhadap kekerasan. Masih di Jakarta, terdapat kejadian PRT dipukuli dan diperintah majikan untuk menjilat susu yang tumpah ke lantai.
"Namun, kasus-kasus itu seringkali dihentikan oleh kepolisian atau ditolak oleh pengadilan. Karena itu, kami mendesak RUU PPRT disahkan setelah dua periode seolah sengaja diabaikan oleh DPR," tuturnya.
Sementara itu, pengacara publik dari LBH Jakarta Pratiwi Febry mengatakan pengesahan RUU PPRT akan banyak membawa perubahan, termasuk dalam menciptakan kemandirian anak dalam keluarga.
"Selama ini, PRT sering harus membantu anak menyiapkan baju seragam dan sepatu sekolah anak hingga menyusun buku-buku pelajarannya. Adanya UU PPRT akan bisa mendorong kemandirian anak," katanya.
Karena masih banyak permasalahan yang dialami PRT terkait pemberian hak-haknya dan kasus kekerasan, maka Jala PRT dan LBH Jakarta menilai pengesahan RUU PPRT.
Lita Anggraini mengatakan pemberian hak-hak PRT harus dilakukan dengan mengakui bahwa PRT adalah pekerja. Selama ini, PRT tidak dianggap sebagai pekerja sehingga hak-haknya diabaikan.
"PRT selama ini tidak mendapatkan hak-haknya, seperti upah yang layak dan hari libur, karena selama ini tidak diakui sebagai pekerja," kata Lita.
Hak lain yang selama tidak diperoleh PRT adalah jaminan sosial ketenagakerjaan. Karena tidak diakui sebagai pekerja maka selama ini PRT tidak mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan.
Karena itu, bila Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) disahkan, Jala PRT mendesak didalamnya mengatur keikutsertaan PRT dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
"Hak PRT untuk berkomunikasi dan berorganisasi juga selama ini tidak pernah diberikan. Masih banyak majikan yang melarang PRT untuk berorganisasi," tuturnya.
Hak lain yang selama ini seringkali diabaikan adalah hak PRT atas keamanan dan keselamatan kerja. Terjadi beberapa kasus PRT yang bekerja di apartemen dikunci di dalam oleh majikan ketika pergi.
"Tentu membahayakan bila terjadi kebakaran karena PRT tidak bisa keluar. Selama ini PRT juga tidak pernah mendapatkan pelatihan untuk menghadapi kebakaran dan sebagainya. Pekerjaan PRT masih dianggap tanpa risiko," katanya.
Legislator Tak Profesional
Sementara itu, Pratiwi Febry mengatakan anggota DPR di Komisi IX dan Badan Legislasi banyak yang tidak profesional dalam membahas RUU PPRT sehingga tak kunjung disahkan menjadi undang-undang.
"Mereka tidak menempatkan diri sebagai anggota DPR, tetapi majikan sehingga mereka berpikir RUU itu bisa berdampak kepada mereka untuk harus memberikan upah yang lebih besar," kata Pratiwi.
Hambatan lain dalam pengesahan RUU PPRT di DPR adalah adanya anggapan bahwa hubungan kerja antara majikan dengan PRT yang bersifat kekeluargaan. RUU PPRT dikhawatirkan bisa merusak kekeluargaan yang menjadi ciri Indonesia.
"Itu semua harus diubah. PRT harus diakui sebagai pekerja sehingga hak-haknya diberikan. Jangan karena dianggap sebagai relasi keluarga, lalu PRT tidak dibayar layak," tuturnya.
Padahal, Pratiwi mengatakan beberapa federasi pekerja sudah mengakui PRT sebagai pekerja dan mendesak pemberian upah berdasarkan jam kerja.
"PRT sekarang sudah tidak hanya bekerja di keluarga kelas menengah atas, tetapi juga keluarga menengah seperti buruh yang selama ini juga memperjuangkan upah layak," tukasnya.
Karena itu, Kepala Divisi Migrasi, Trafficking dan HIV/AIDS Nisaa Yura mengatakan diperlukan perubahan paradigma kolektif untuk mengakui PRT sebagai pekerja.
"Permasalahan yang dihadapi PRT selama ini adalah adanya paradigma kolektif yang belum mengakui PRT sebagai pekerja," kata Nisaa Yura.
Nisaa mengatakan masih banyak orang yang selama ini menganggap PRT bukan pekerjaan yang penting sehingga hak-haknya diabaikan. Padahal, majikan bisa bekerja dengan tenang di sektor publik karena di rumahnya sudah ada PRT yang mengerjakan pekerjaan rumah.
Paradigma kolektif yang menganggap PRT bukan pekerjaan penting tidak hanya berdampak pada PRT di Indonesia. Nisaa mengatakan hal itu juga berdampak pada pekerja migran yang bekerja di luar negeri sebagai PRT.
"Karena masih ada paradigma kolektif itu, diplomasi Indonesia juga belum memprioritaskan kasus-kasus yang membelit PRT migran di luar negeri," tuturnya.
Karena itu, selain mendesak DPR untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT (RUU PPRT), Solidaritas Perempuan juga mendesak pemerintah untuk meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) Nomor 189 tentang PRT.
"Presiden Indonesia termasuk yang mendukung Konvensi ini, tetapi Indonesia malah belum meratifikasi menjadi undang-undang, " ujarnya.
Dibahas Januari
Sementara itu, anggota Komisi IX dan Badan Legislasi DPR Rieke Diah Pitaloka mengatakan akan mengupayakan RUU PPRT masuk ke dalam Prolegnas dalam persidangan DPR pada Januari 2015.
"Sikap PDI Perjuangan tidak berubah. Dalam rapat kerja nasional, RUU PPRT tetap menjadi prioritas di parlemen," kata Rieke Diah Pitaloka.
Politisi PDI Perjuangan itu mengatakan RUU tersebut sudah ada dalam agenda DPR periode sebelumnya, tetapi saat itu dukungan anggota parlemen lainnya kurang kuat.
Karena itu, Rieke mengatakan dalam upaya mendapat dukungan lebih besar untuk mengesahkan RUU PPRT, dia akan melakukan koordinasi baik di Baleg maupun Komisi IX.
"Karena tidak bisa bila yang berjuang hanya satu atau dua orang saja. Pengesahan RUU ini perlu dukungan yang kuat dari anggota parlemen lainnya," tuturnya.
Menurut Rieke, pengesahan RUU tersebut sangat mendesak karena hubungan antara majikan dengan PRT saat ini masih sangat mengedepankan kultur feodalisme.
Oleh Oleh Dewanto Samodro
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014
Tags: