BI: fundamental kuat bisa tahan gejolak rupiah
15 Desember 2014 01:02 WIB
Persediaan Rupiah Selama Lebaran. Petugas menata uang rupiah di Cash Center Bank Mandiri, Jakarta, Rabu (23/7). Bank Mandiri menyiapkan Rp 33,97 triliun atau rata-rata Rp1,17 triliun per hari untuk memenuhi kebutuhan dana masyarakat menyambut Lebaran 2014. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
Surabaya (ANTARA News) - Direktur Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Solikin M Juhro mengatakan kondisi fundamental ekonomi yang baik dan stabil bisa menahan gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, yang terjadi sejak tahun lalu.
"Rupiah bisa menguat, apabila kondisi fundamental ekonomi kuat, antara lain pertumbuhan ekonomi sehat dan defisit transaksi berjalan tidak terlalu bengkak," katanya saat memberikan materi pelatihan wartawan di Surabaya, Minggu.
Solikin menjelaskan saat ini kurs rupiah sedang mengalami perlemahan, sejalan dengan sentimen global yang menekan hampir seluruh mata uang dunia negara berkembang. Untuk itu, dibutuhkan kebijakan yang "prudent" sebagai antisipasinya.
"Selain memperbaiki kondisi ekonomi, kita harus membuat pasar lebih dalam, adanya financial deepening sebagai bantalan, agar apabila terjadi outflow kita tidak khawatir," ujarnya.
Terkait defisit neraca transaksi berjalan, Solikin mengatakan, dalam jangka waktu dekat belum akan menurun, karena diprediksi impor masih tinggi terutama barang modal yang dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan investasi.
"Tahun 2015, pemerintah berencana membangun infrastruktur masif, impor masih bertambah. Tapi, tahun berikutnya (defisit transaksi berjalan) bisa lebih rendah, karena impor berkurang, sehingga rupiah bisa menguat lagi," ujarnya.
Defisit neraca transaksi berjalan mendekati akhir 2014 diperkirakan makin membaik, sejalan dengan penurunan harga minyak global serta angka perkiraan pada akhir tahun yaitu berada pada kisaran 2,5 persen hingga 3 persen terhadap PDB.
Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Jumat (12/12) sore, bergerak melemah sebesar 95 poin menjadi Rp12.445 dibandingkan posisi sebelumnya Rp12.350 per dolar AS.
Salah satu penyebabnya adalah data penjualan ritel dan klaim tunjangan pengangguran Amerika Serikat (AS) yang dirilis lebih bagus dari perkiraan, situasi itu menegaskan berlanjutnya pemulihan ekonomi sehingga membuat permintaan dolar AS meningkat.
Menurut analis Monex Investindo Futures Zulfirman Basir, membaiknya data ekonomi AS membuat investor khawatir menjelang pertemuan Federal Reserve (The Fed) pada 18 Desember mendatang, apalagi bank sentral AS itu memberi sinyal untuk menaikkan suku bunga lebih cepat.
Selain itu, ia mengatakan, investor juga terlihat waspada menjelang publikasi serangkaian data Tiongkok yang melambat pada November 2014. Data Tiongkok menegaskan ancaman berlanjutnya perlambatan ekonomi yang dapat menghambat ekspor Indonesia.
"Rupiah bisa menguat, apabila kondisi fundamental ekonomi kuat, antara lain pertumbuhan ekonomi sehat dan defisit transaksi berjalan tidak terlalu bengkak," katanya saat memberikan materi pelatihan wartawan di Surabaya, Minggu.
Solikin menjelaskan saat ini kurs rupiah sedang mengalami perlemahan, sejalan dengan sentimen global yang menekan hampir seluruh mata uang dunia negara berkembang. Untuk itu, dibutuhkan kebijakan yang "prudent" sebagai antisipasinya.
"Selain memperbaiki kondisi ekonomi, kita harus membuat pasar lebih dalam, adanya financial deepening sebagai bantalan, agar apabila terjadi outflow kita tidak khawatir," ujarnya.
Terkait defisit neraca transaksi berjalan, Solikin mengatakan, dalam jangka waktu dekat belum akan menurun, karena diprediksi impor masih tinggi terutama barang modal yang dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan investasi.
"Tahun 2015, pemerintah berencana membangun infrastruktur masif, impor masih bertambah. Tapi, tahun berikutnya (defisit transaksi berjalan) bisa lebih rendah, karena impor berkurang, sehingga rupiah bisa menguat lagi," ujarnya.
Defisit neraca transaksi berjalan mendekati akhir 2014 diperkirakan makin membaik, sejalan dengan penurunan harga minyak global serta angka perkiraan pada akhir tahun yaitu berada pada kisaran 2,5 persen hingga 3 persen terhadap PDB.
Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Jumat (12/12) sore, bergerak melemah sebesar 95 poin menjadi Rp12.445 dibandingkan posisi sebelumnya Rp12.350 per dolar AS.
Salah satu penyebabnya adalah data penjualan ritel dan klaim tunjangan pengangguran Amerika Serikat (AS) yang dirilis lebih bagus dari perkiraan, situasi itu menegaskan berlanjutnya pemulihan ekonomi sehingga membuat permintaan dolar AS meningkat.
Menurut analis Monex Investindo Futures Zulfirman Basir, membaiknya data ekonomi AS membuat investor khawatir menjelang pertemuan Federal Reserve (The Fed) pada 18 Desember mendatang, apalagi bank sentral AS itu memberi sinyal untuk menaikkan suku bunga lebih cepat.
Selain itu, ia mengatakan, investor juga terlihat waspada menjelang publikasi serangkaian data Tiongkok yang melambat pada November 2014. Data Tiongkok menegaskan ancaman berlanjutnya perlambatan ekonomi yang dapat menghambat ekspor Indonesia.
Pewarta: Satyagraha
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014
Tags: