2014 tahunnya musik digital
14 Desember 2014 21:41 WIB
Denny Sakrie, Pengamat Musik (paling kiri) berfoto bersama Hisma Pratanti, Brand Manager NESCAFE, Husain Haykal dari Outlaw Music Production dan band Marvells berfoto dalam jumpa pers NESCAFE Musik Asik is Back di Jakarta, Minggu (14/12). (ANTARA News/ Arindra Meodia)
Jakarta (ANTARA News) - Digital sudah menjadi bagian dari industri musik secara global selama tahun 2014, menurut pengamat musik Denny Sakrie.
"Industri musik secara global belakangan ini dipasarkan melalui media digital, banyak musisi Indonesia juga yang mendistribusikan karyanya melalui media streaming, seperti iTunes," katanya dalam acara "Nescafe Musik Asik is Back!", di Jakarta, Minggu.
Menurut Denny, era digital bukan mematikan industri musik, melainkan memperluas jangkauan karena tidak ada lagi hambatan dan batasan.
"Kita tidak bisa menghalangi kemajuan teknologi, sisi positifnya banyak sekali, musisi baru justru sangat tertolong dengan teknologi digital dan sosial media," kata Denny.
"Kata 'go internasional' sekarang sudah kadaluwarsa karena musisi bisa keluar negeri, bahkan banyak pihak luar yang meng-invite mereka," lanjutnya.
Dia mengakui era digital membawa dampak negatif bagi gerai-gerai musik.
"Gerai-gerai musik di Jakarta banyak yang bertumbangan, ukuran-ukuran terjual berapa juta keping hanya tinggal memori," kata pengamat musik tersebut.
Denny melihat tren musik kembali menggunakan distribusi fisik dalam hal ini piringan hitam atau vinyl.
"Di Amerika atau Inggris ada gerakan back to vinyl, record sales piringan hitam di inggris sepanjang 2014 sebesar 7,5 juta, sedangkan di Amerika 7.9 juta atau total 49 persen," ujar Denny.
"Ini merupakan hal yang harus kita cermati juga. Digital dan fisik sama saja sebenarnya, kembali kita pilih yang mana yang comfort, tapi masalahnya adalah ketika hak-hak kreator sering diambil oleh yang bukan berhak, seperti hak kekayaaan intelektual," kata Denny.
"Industri musik secara global belakangan ini dipasarkan melalui media digital, banyak musisi Indonesia juga yang mendistribusikan karyanya melalui media streaming, seperti iTunes," katanya dalam acara "Nescafe Musik Asik is Back!", di Jakarta, Minggu.
Menurut Denny, era digital bukan mematikan industri musik, melainkan memperluas jangkauan karena tidak ada lagi hambatan dan batasan.
"Kita tidak bisa menghalangi kemajuan teknologi, sisi positifnya banyak sekali, musisi baru justru sangat tertolong dengan teknologi digital dan sosial media," kata Denny.
"Kata 'go internasional' sekarang sudah kadaluwarsa karena musisi bisa keluar negeri, bahkan banyak pihak luar yang meng-invite mereka," lanjutnya.
Dia mengakui era digital membawa dampak negatif bagi gerai-gerai musik.
"Gerai-gerai musik di Jakarta banyak yang bertumbangan, ukuran-ukuran terjual berapa juta keping hanya tinggal memori," kata pengamat musik tersebut.
Denny melihat tren musik kembali menggunakan distribusi fisik dalam hal ini piringan hitam atau vinyl.
"Di Amerika atau Inggris ada gerakan back to vinyl, record sales piringan hitam di inggris sepanjang 2014 sebesar 7,5 juta, sedangkan di Amerika 7.9 juta atau total 49 persen," ujar Denny.
"Ini merupakan hal yang harus kita cermati juga. Digital dan fisik sama saja sebenarnya, kembali kita pilih yang mana yang comfort, tapi masalahnya adalah ketika hak-hak kreator sering diambil oleh yang bukan berhak, seperti hak kekayaaan intelektual," kata Denny.
Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014
Tags: