Jakarta (ANTARA News) - Senin, 9 Desember 2013. Kecelakaan tragis terjadi di perlintasan kereta api Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan. Tabrakan antara Commuterline 1131 dan truk tanki BBM Pertamina merenggut tujuh nyawa. Puluhan lainnya luka berat dan ringan.

Perhatian publik tercurah pada drama di balik tragedi itu. Di luar empat orang penumpang di kereta perempuan yang meninggal dunia, tiga korban tewas lainnya adalah awak KRL 1131. Masinis Darman Prasetyo, Asisten Masinis Agus Suroto, dan Teknisi Sofyan Hadi.

Darman dan dua awak itu punya kesempatan untuk menyelamatkan diri. Tapi mereka memilih untuk tetap di kabin masinis, melakukan dua kali pengereman standar untuk mengurangi tingkat benturan dengan truk tangki.

Bisa saja mereka melakukan pengereman darurat. Tapi kala kereta berada di jalur lengkung menjelang perlintasan, pengereman darurat akan memunculkan daya sentrifugal yang bisa membuat seluruh rangkaian kereta terguling. Korban jatuh bisa sangat banyak.

Bisa saja mereka menyelamatkan diri dengan melompat keluar dari pintu kabin masinis. Tapi mereka memilih tetap di tempat tugas, berupaya hingga titik nafas terakhir.

Pada detik ketika bahaya sudah di depan mata, Sofyan Hadi masuk kereta perempuan. Dia meminta semua penumpang untuk bergegas ke kereta lebih belakang. Seorang saksi menuturkan dia sempat menggendong anak kecil, membawanya ke kereta kedua.

Selepas itu, Sofyan bukannya ikut menyelamatkan diri. Dia balik ke kabin masinis untuk membantu dua rekannya, Itu berarti menjemput maut. Kekerasan tumbukan dengan truk tangki memang bisa dikurangi. Tapi karena truk itu membawa 24 ribu kiloliter BBM, ledakan dahsyat tak terhindarkan. Tiga awak KRL itu tewas.

Direktur Utama PT KAI kala itu, Ignasius Jonan menyebut Darman, Agus, dan Sofyan sebagai syuhada. Nama ketiganya diabadikan sebagai nama Balai Pelatihan KAI di Bandung, Yogyakarta, dan Bekasi. "Agar semangat kepahlawanan ketiganya menginspirasi insan kereta api dari generasi ke generasi," kata Jonan.

Di luar soal drama, kecelakaan itu memantik diskusi dan perdebatan tentang keselamatan pada perlintasan sebidang kereta api dan jalan raya. Kecelakaan itu seolah tamparan keras yang menyadarkan banyak pihak. Media menyebutnya sebagai Tragedi Bintaro II.

Diiringi pro dan kontra siapa yang bertanggung jawab, semua pihak sepakat jalan keluar satu-satunya agar kecelakaan serupa tidak terulang adalah membangun under pass atau fly over di perlintasan sebidang.

Jika kita membuka kembali pemberitaan media massa pasca-peristiwa itu, para penentu kebijakan di Kementerian Perhubungan dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berulang kali menegaskan komitmen akan membangun under pass atau fly over di sejumlah perlintasan sebidang di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Baik Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama, menyatakan kesungguhannya untuk merealisasi rencana tersebut.

Sesuai dengan ketentuan undang-undang, pembangunan under pass atau fly over pada perlintasan sebidang jalur kereta api memang menjadi kewajiban pemerintah pusat dan daerah. Bukan kewajiban PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebagai operator.

Hingga satu tahun setelah tragedi itu, tidak satu pun pembangunan under pass/fly over di Jabodetabek terealisasi. Media massa dan publik secara umum pun cenderung terserang "sindrom ingatan pendek". Tidak ada yang mencoba mengingatkan, atau menggugah agar komitmen itu diwujudkan. Semua seolah lupa begitu saja.

Padahal angka berbicara, jumlah kecelakaan lalu lintas pada perlintasan sebidang di wilayah Jabodetabek cenderung meningkat dalam dua tahun terakhir.

Data PT KAI Daerah Operasi 1, tahun 2013 total terjadi 69 kecelakaan lalu lintas pada perlintasan sebidang. Tahun 2014 angka itu sudah terlampaui pada semester pertama. Persisnya, pada rentang Januari-Juni 2014 sudah terjadi 83 kecelakaan.

Kecelakaan lalu lintas pada perlintasan sebidang di Jabodetabek adalah yang tertinggi dibanding daerah lain. Hal itu tidak lepas dari padatnya frekuensi perjalanan kereta, dan masih banyaknya perlintasan sebidang yang tidak ditangani dengan benar.

Dari total 506 perlintasan yang tidak dilengkapi under pass/fly over, 186 adalah perlintasan resmi dan dijaga, 123 perlintasan resmi tapi tidak dijaga, dan 197 perlintasan liar. Dari 197 perlintasan liar, sebanyak 144 perlintasan tidak berpalang pintu.

Perlintasan liar cenderung terus bertambah, seiring dengan perkembangan kawasan yang dipicu oleh permukiman penduduk. Banyak permukiman dibangun tanpa mempertimbangkan akses transportasi yang layak bagi penghuninya. Akses jalan yang melintas rel kereta api, dibangun tanpa berkoordinasi dengan instansi terkait, sehingga statusnya menjadi perlintasan liar.

Khusus untuk Jabodetabek, situasi akan makin serius karena jumlah perjalanan Commuterline akan terus meningkat, seiring jumlah penumpang yang terus melonjak.

Mulai Senin, 8 Desember 2014, perjalanan kereta Commuterline Jabodetabek bertambah 31 kali menjadi total 728 kali per hari. Sebelum diberlakukan e-ticketing dan e-gate pertengahan 2013, jumlah penumpang rata-rata 393.884 orang per hari, dilayani 589 perjalanan KRL per hari.

Setahun kemudian, pertengahan 2014, jumlah penumpang melonjak hingga 617.014 orang per hari. Jumlah perjalanan KRL ditingkatkan menjadi 669 perjalanan per hari.

Itu artinya dalam setahun jumlah penumpang melonjak 56,6 persen, sedangkan jumlah perjalanan hanya bisa bertambah 13,5 persen. Tidak heran jika penumpang Commuterline selalu berimpitan di jam-jam sibuk.

Memasuki Desember 2014, jumlah penumpang sudah menyentuh 700 ribu di hari kerja. Penambahan 31 kali per jalanan per hari tidak akan mampu menampung peningkatan jumlah penumpang.

Selama 2014 PT KCJ membeli 176 unit atau 22 rangkaian KRL dari Jepang. 14 rangkaian sudah beroperasi. Bahkan jika di akhir tahun ini enam rangkaian sisanya bisa dioperasikan, belum akan membuat para penumpang Commuterline bisa lega di jam-jam padat. Tahun 2015 KCJ akan membeli lagi 120 unit KRL.

Dengan penambahan itu, bisa dipastikan frekwensi melintas KRL di perlintasan sebidang akan makin tinggi. Itu artinya potensi kerawanan juga makin tinggi.

Penyebab utama kecelakaan di perlintasan adalah ketidakdisiplinan dan ketidakpatuhan pengendara kendaraan bermotor pada rambu dan marka. Banyak kendaraan, motor atau mobil, nekad menerobos meskipun sirine sudah meraung dan palang perlntasan sudah bergerak turun. Itulah musabab tragedi Bintaro 9 Desember 2013.

Toh tragedi itu tidak membuat pengendara kendaraan bermotor jera. Angka 83 kecelakaan hingga pertengahan 2014 adalah buktinya. Bahkan di lokasi yang sama, 15 Oktober 2014, sebuah minibus Bluebird nekad menerobos palang yang mulai menutup. Tabrakan dengan KRL tak terhindarkan. Untungnya tidak ada korban tewas.

Bagi PT KAI, perlintasan yang mempertemukan rel kereta api dengan jalan angkutan darat lain adalah permasalahan pelik tersendiri. Tidak hanya di Jakarta, tapi juga di daerah-daerah sepanjang perlintasan kereta api, dari ujung barat hingga timur Pulau Jawa. Juga di lintasan KA di Sumatera.

Berita yang terkait dengan kecelakaan lalu lintas di perlintasan nyaris setiap hari ada di media massa. Korbannya tidak hanya masyarakat biasa. Pada kecelakaan di perlintasan sebidang di Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, 22 Oktober 2014, dua dari empat korban tewas adalah anggota Polri berpangkat Brigadir Kepala dan Brigadir.

Padahal di sisi lain, PT KAI sudah berhasil menekan angka kecelakaan kereta api hingga seminimal mungkin. Jika kecelakaan lalu lintas di perlintasan trend-nya terus meningkat, kecelakaan kereta api terus menurun.

Yang termasuk dalam kategori kecelakaan kereta api adalah tabrakan dan anjlokan. Tahun 2012 terjadi satu tabrakan antar-KA, tahun 2013 nihil. Tahun 2012 terjadi dua kali anjlokan, tahun 2013 juga dua peristiwa. Jumlah itu sudah menurun jauh dibanding lima tahun sebelumnya.

Sebagai mantan dirut KAI, Ignasius Jonan sadar betul bahaya di perlintasan sebidang. Oleh sebab itu, hanya sebulan setelah menjabat Menteri Perhubungan, ia mengirim surat kepada para gubernur, bupati, dan walikota yang ada jalur kereta api di wilayahnya. Isinya, mengingatkan agar mereka memperhatikan keselamatan lalu lintas di perlintasan sebidang.

Jika tidak memungkinkan membangun fly over atau under pass, perlintasan harus diberi palang pembatas dan dijaga oleh petugas.


Keselamatan Lalu Lintas

Dalam konteks keselamatan lalu lintas angkutan jalan (LLAJ), inisiatif Menhub Jonan bisa dikategorikan sebagai manajemen berkeselamatan (Safer Management). Pemerintah, pusat dan daerah, memegang peran kunci untuk menata, menjaga, dan mengawasi perlintasan sebidang agar tidak menjadi faktor yang membahayakan keselamatan perjalanan lalu lintas.

Kewenangan itu harus diwujudkan, antara lain, dalam bentuk prasarana yang mendukung keselamatan, penyelarasan dan koordinasi keselamatan melalui kemitraan multi-pihak, protokol kelalulintasan, sistem managemen keselamatan angkutan, regulasi keselamatan jalan, dan sistem informasi terpadu.

Tapi Safer Management hanya satu dari empat pilar keselamatan LLAJ. Pilar kedua adalah Safer Road, jalan yang berkeselamatan. Meliputi badan jalan yang mendukung keselamatan lalu lintas, perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan jalan, peningkatan standar kelaikan jalan, dan lingkungan jalan yang berkeselamatan. Porsi terbesar untuk implementasi safer road ada pada Kementerian Pekerjaan Umum dan dinas terkait di porovinsi dan kabupaten/kota.

Ketiga, kendaraan yang berkeselamatan (Safer Vehicle). Meliputi, antara lain, kepatuhan pengoperasian kendaraan, penyelenggaraan dan perbaikan prosedur uji berkala dan uji tipe, pembatasan kecepatan kendaraan, penanganan overloading, dan standar keselamatan kendaraan.

Safer vehicle ada di wilayah kewenangan Kemenhub, dinas perhubungan, dan Polri. Operator angkutan umum seperti perusahaan otobus dan perusahaan angkutan barang, juga berperan besar di sini.

Pilar keempat, Safer People, pengguna jalan yang berkeselamatan. Lebih menyangkut perilaku dan budaya masyarakat dalam berkendaraan. Polri sebagai institusi penegak hukum punya peran panting, di antaranya dalam hal pemeriksaan kondisi pengemudi, penyempurnaan prosedur uji SIM, dan penegakan hukum yang konsisten.

Pemerintah melalui Kemenhub dan Dinas Perhubungan juga punya peran untuk Safer People, misalnya dalam bentuk edukai berkendara yang aman dan berkeselamatan melalui kampanye yang efektif.

Ketika sebuah kecelakaan lalu lintas terjadi, seperti tragedi Bintaro 9 Desember 2013, penyebabnya bisa dirunut pada keempat pilar itu.

Dan tragedi itu bukan satu-satunya. Ada banyak tragedi di jalan raya, yang hari demi hari terjadi, merenggut nyawa manusia. Kecelakaan lalu lintas adalah pembunuh terbesar nomor tujuh.

Setahun setelah tragedi itu, ada baiknya kita serukan "perjuangan melawan lupa". Terus menerus mengingatkan, bahwa masyarakat pengguna kendaraan bermotor, penegak hukum, pemerintah, harus bersama-sama menjadi aktor utama dalam mewujudkan keselamatan transportasi, sesuai porsi masing-masing.

Pemerintah, pusat dan daerah, tidak boleh lupa tugas dan tanggung jawabnya dalam membangun pilar-pilar keselamatan lalu lintas. Jangan hanya berisik setelah sebuah peristiwa dramatis, setelah itu ikut-ikutan lupa.

* Wartawan