Pagi yang tenang di perbukitan di atas kota Hiroshima, dikejutkan oleh bunyi ledakan keras yang membuat Keiko Ogura, gadis cilik berusia delapan tahun, berlari keluar rumah untuk mencari tahu asal ledakan.

Ia tidak melihat apa pun untuk sesaat, tetapi lalu mencium bau terbakar, dan kemudian serombongan "mahluk" berjalan mendekatinya.

Mereka ternyata manusia, dengan rambut awut-awutan, baju compang camping dan sebagian tubuh luka terbakar dengan beberapa bagian kulit dan daging yang meleleh menggelambir.

"Tolong beri saya air."

"Air...air..." suara mereka mengiba seperti dituturkan Keiko Ogura yang saat ini berusia 77 tahun, di hadapan sejumlah wartawan dari media di Asia Pasifik yang sedang mengunjungi Hiroshima, Jepang pada akhir November 2014.

"Saya berlari mengambil air kemudian memberi minum mereka."

Beberapa orang terlihat tersenyum bahagia setelah minum, tetapi kemudian memejamkan mata untuk selama-lamanya.

"Orang-orang yang lain memandang saya dengan tatapan yang aneh, mereka juga meninggal," ujar Keiko Ogura yang mengaku sempat merasa senang bisa memenuhi permintaan terakhir para korban ledakan bom atom.

Bom Atom yang dijatuhkan oleh pasukan Amerika Serikat di Hiroshima dan kota Nagasaki di Jepang itu membuat Jepang menyerah kalah dan menghentikan Perang Dunia II.

"Di Jepang ada kepercayaan bahwa kami tidak boleh memberi minum kepada orang yang terluka parah karena hal itu akan membuat mereka langsung meninggal," tutur Ogura yang rumahnya terletak sekitar 2,4 km dari pusat jatuhnya bom atau disebut sebagai hypocenter.

Oleh sebab itu, Keiko Ogura kemudian bungkam seribu basa mengenai pengalamannya itu selama puluhan tahun. Sebagai gadis kecil, ia memendam rasa takut bahwa para korban itu meninggal karena air minum pemberiannya.

Ia tidak menceritakannya kepada ibunya, juga kepada kakak laki-laki dan ayahnya yang ketika itu sibuk mengkremasi jasad ribuan korban bersama para penyintas lain.

"Saya sering mendapat mimpi buruk, tetapi tetap bungkam lebih dari 20 tahun," kata Ogura yang sejak 1984 mendirikan perkumpulan relawan sebagai Penerjemah Perdamaian Hiroshima, juga menerbitkan buku Panduan Taman Perdamaian Hiroshima dan Buku Pegangan Hiroshima.

Lebih dari 25 orang wartawan media cetak, online, televisi dan radio dari negara-negara Asia-Pasifik yang diundang Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross -- ICRC) terdiam hening mendengarkan kisah Keiko Ogura, seorang saksi mata petaka Hiroshima yang berbicara di museum perdamaian.

Bom atum pertama di dunia
Amerika Serikat menjatuhkan bom atum pertama untuk menyerang manusia di kota Hiroshima, pada pagi hari pukul 8.15, tanggal 6 Agustus 1945, disusul kemudian bom kedua yang dijatuhkan di kota Nagasaki.

Ledakan bom atum itu memusnahkan kehidupan ratusan ribu penduduk, meluluh lantakkan bangunan, pepohonan dan mahluk hidup lainnya, disusul dengan "hujan hitam" dan mengembuskan radiasi yang luas.

Sampai dengan Desember 1945 tercatat lebih dari 140.000 orang yang meninggal termasuk mereka yang terluka parah dan terdampak radiasi.

Jumlah mereka masih bertambah hingga beberapa tahun kemudian termasuk kisah gadis cilik Sadako Sasaki yang meninggal akibat kanker darah sebagai dampak dari radiasi, pada 25 Oktober 1955 dalam usia 12 tahun.

"Ada tiga macam korban, yaitu mereka yang meninggal seketika oleh ledakan bom, mereka yang meninggal karena sakit sebagai akibat ledakan, misalnya cedera dan radiasi, serta janin-janin yang lahir abnormal," kata Keiko Ogura.

Penderitaan penyintas dan keluarga korban belum berakhir, sebab banyak orang Jepang yang kemudian bersikap diskriminatif, menghindari penyintas.

Para gadis Hiroshima sulit mencari jodoh, sehinga banyak orang yang kemudian pindah ke kota lain dan tidak mengungkap asal-usul mereka.

"Hingga kini masih banyak penyintas yang enggan berbicara dan tampil di depan umum karena ada stigma tersebut," ujar Keiko yang menikah dengan Kaoru Ogura, mantan direktur Museum Kenangan Perdamaian Hiroshima.

Keiko menjalani kehidupan normal sebagai ibu rumah tangga dengan memiliki dua putra, sampai ia berusia 42 tahun.

Enam bulan setelah suaminya meninggal, banyak orang mendesak Keiko agar ia tampil untuk berbicara mengenai tragedi Hiroshima, karena ia adalah penyintas dan mempunyai banyak informasi terkait kedudukan suaminya yang juga menjadi sekjen Yayasan Budaya Perdamaian Hiroshima.

"Akhirnya saya berbicara dan terus berbicara untuk membuka mata dunia, betapa kejinya senjata nuklir dan untuk mendorong perdamaian di dunia," ujar perempuan bertubuh mungil yang fasih berbahasa Inggris itu.

Keiko lulus dari universitas Jogakuin Hiroshima pada tahun 1959, kini kerap tampil di panggung dunia untuk bersaksi dan sejak 2011 menjadi utusan resmi penyintas bagi yayasan Budaya Perdamaian Hiroshima dengan tugas membagi pengalamannya dalam bahasa Inggris bagi orang asing.

"Saya senang berbicara kepada media, karena melalui media tragedi ini bisa diketahui oleh lebih banyak orang dan mendorong kampanye perdamaian serta penghapusan pemakaian senjata nuklir," katanya lalu tersenyum.

"Itu adalah pernyataan yang luar biasa dari seorang penyintas bencana sementara banyak penyintas lain menutup diri," kata Augustine Anthuvan, redaktur pada Chanel News Asia, Singapura.

"Saya tidak bisa menahan air mata, petaka ini sungguh menyedihkan," kata Marilou Manar, pembawa berita dari DXND, Filipina, sambil mengusap matanya.