Indonesia di posisi kedua dunia soal BAB sembarangan
19 November 2014 17:37 WIB
Peluncuran Kampanye Tinju Tinja yang bertepatan dengan hari Toilet Sedunia di Jakarta, Rabu, (19/11). Dari kanan ke kiri Lilik Tamaya, Program WASH Unicef Indonesia; Melanie Subono, Duta Kampanye Tinju Tinja; Rafael Klavert, Social and Digital Media UNICEF Indonesia; dan Dr. Aidan Cronin, Ketua Program Water, Sanitation and Hygiene (WASH) UNICEF Indonesia. (ANTARA News/Okta Antikasari)
Jakarta (ANTARA New) - Hasil riset gabungan antara UNICEF dan WHO, Joint Monitoring Program 2014, sebanyak 55 juta orang di Indonesia melakukan Buang Air Besar Sembarangan (BABS) dan menempatkan Indonesia di posisi kedua tertinggi dunia setelah India.
Secara global, sebanyak 1,9 miliar orang telah memiliki akses terhadap sanitas baik sejak 1990. Namun, perkembangannya tidak sejalan dengan pertumbuhan populasi.
Sebanyak 82 persen dari satu miliar orang yang melakukan BABS ada di sepuluh negara, yakni India, Indonesia, Pakistan, Nigeria, Ethiopia, Sudan, Nigeria, Nepal, China, dan Mozambik.
"Memang jika dibandingkan antara pedesaan dan perkotaan, kondisi di pedesaan lebih parah," kata Lilik Trimaya, Program WASH UNICEF Indonesia.
"Di pedesaan di sekitar NTT masih cukup parah, lalu di kota besar seperti di Jakarta," katanya. "Kita lihat saja di bantaran sungai Cilwung dan sekitar Jakarta Utara juga masih parah."
Terlebih lagi kata Lilik masih banyak masyarakat Indonesia yang menganggap BABS merupakan budaya Indonesia untuk melestarikan lingkungan.
"Kami menemukan fakta cukup mencengangkan karena sebagian masyarakat Indonesia beranggapan BABS untuk melestarikan lingkungan," katanya lagi. "Sebagian masyarakat pun masih melihat sanitasi itu kurang penting."
"Itu juga diperparah dengan ketersedian air di beberapa tempat di Nusantara yang sulit," katanya lagi.
Ia menambahkan. "Atau masyarakat di sekitar sungai dan pantai yang memiliki banyak air, yang berpikir 'langsung saja BAB di sungai nanti juga hilang.'"
Akibat dari BABS ini, menurut WHO, yakni sebanyak 88 persen angka kematian anak akibat diare karena kesulitan mengakses air bersih dan keterbatasan sistem sanitasi.
Selain itu, memperbesar resiko terganggunya pertumbuhan fisik anak sehingga tidak optimal pada usianya.
"Kampanye ini tidak bisa selesai dengan hanya membuat toilet. Karena butuh keinginan dan kesadaran dari masyarakat. Di beberapa tempat kami bangun toilet, belum tentu mereka mau memakainya. Maka dari itu, kami ingin memulai dengan menumbuhkan kesadaran masyarakat."
Secara global, sebanyak 1,9 miliar orang telah memiliki akses terhadap sanitas baik sejak 1990. Namun, perkembangannya tidak sejalan dengan pertumbuhan populasi.
Sebanyak 82 persen dari satu miliar orang yang melakukan BABS ada di sepuluh negara, yakni India, Indonesia, Pakistan, Nigeria, Ethiopia, Sudan, Nigeria, Nepal, China, dan Mozambik.
"Memang jika dibandingkan antara pedesaan dan perkotaan, kondisi di pedesaan lebih parah," kata Lilik Trimaya, Program WASH UNICEF Indonesia.
"Di pedesaan di sekitar NTT masih cukup parah, lalu di kota besar seperti di Jakarta," katanya. "Kita lihat saja di bantaran sungai Cilwung dan sekitar Jakarta Utara juga masih parah."
Terlebih lagi kata Lilik masih banyak masyarakat Indonesia yang menganggap BABS merupakan budaya Indonesia untuk melestarikan lingkungan.
"Kami menemukan fakta cukup mencengangkan karena sebagian masyarakat Indonesia beranggapan BABS untuk melestarikan lingkungan," katanya lagi. "Sebagian masyarakat pun masih melihat sanitasi itu kurang penting."
"Itu juga diperparah dengan ketersedian air di beberapa tempat di Nusantara yang sulit," katanya lagi.
Ia menambahkan. "Atau masyarakat di sekitar sungai dan pantai yang memiliki banyak air, yang berpikir 'langsung saja BAB di sungai nanti juga hilang.'"
Akibat dari BABS ini, menurut WHO, yakni sebanyak 88 persen angka kematian anak akibat diare karena kesulitan mengakses air bersih dan keterbatasan sistem sanitasi.
Selain itu, memperbesar resiko terganggunya pertumbuhan fisik anak sehingga tidak optimal pada usianya.
"Kampanye ini tidak bisa selesai dengan hanya membuat toilet. Karena butuh keinginan dan kesadaran dari masyarakat. Di beberapa tempat kami bangun toilet, belum tentu mereka mau memakainya. Maka dari itu, kami ingin memulai dengan menumbuhkan kesadaran masyarakat."
Pewarta: Okta Antikasari
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2014
Tags: